Sabtu, 15 September 2018

Selamat Jalan Pak Kiai, Engkaulah Cahaya Perubahan



KH Majduddin Busyrol Karim, sumber: akun instagram @buntetpesantren


Kaget bercampur sedih. Seperti itulah perasaan saya saat mendapat kabar bahwa KH Majduddin Busyrol Karim, Pengasuh Pondok Al-Hikmah K-1 Buntet Pesantren Cirebon wafat. Saya mendapat kabar dari Kang Najih Mubarok, putra beliau yang meneruskan perjuangan mengasuh santri di sana. Kiai Dud, demikian ulama kharismatik itu disapa, merupakan guru sekaligus orangtua saya selama empat tahun nyantri.

Ketika mendapat kabar duka tersebut, saya sedang berasyik-masyuk mendengar ceramah Kiai Muhammad Ainun Najib di Kenduri Cinta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Beberapa saat setelah itu, saya bergegas kembali ke Bekasi, ke Sekretariat IPNU Kota Bekasi untuk menuliskan kenangan berharga yang saya alami bersama Pak Kiai Dud.

Saya memang dikenal sebagai santri mbeling kala mondok di Buntet. Berbagai permasalahan kerap datang, bahkan saya hampiri, hingga kemelut batin seringkali hadir. Namun, tak jarang pula kelembutan Pak Kiai melunturkan hati saya yang hampir membeku. Kalimat yang dikemukakan beliau adalah nasihat yang penuh kelembutan, hingga siapa saja yang mendengarnya tak mungkin tidak luluh.

Saya nyantri di Buntet sejak 2009 hingga 2013. Sekitar tahun 2011, kenakalan saya memuncak. Pembaca yang santri, tentu paham bagaimana kenakalan-kenakalan santri semasa di pondok, maka saya tak perlu banyak ceritakan itu di dalam tulisan ini.

Ketika kenakalan saya tak terbendung, usai mengaji Al-Qur’an bakda magrib, Pak Kiai dengan suara yang sangat lembut, sebagai ciri khasnya, memanggil saya untuk masuk ke dalam kamarnya yang ada di pondok. Jujur, ada perasaan takut yang membatin. Namun, keyakinan saya terhadap kelembutan dan kesantuanan Pak Kiai, meruntuhkan berbagai rasa takut itu.

Saya duduk di lantai (seperti duduk diantara dua sujud) dengan wajah menunduk, sedangkan Pak Kiai lungguh di bangku yang ada di hadapan saya. Sedetik pun saya tak berani menatap wajah beliau yang bercahaya itu. Barangkali, seperti itu budaya takzim santri kepada kiai atau gurunya.

Satu hal yang menjadi ciri khas Pak Kiai setiap kali hendak mendudukkan tubuh adalah mengucap ‘Allahuakbar’ dengan sangat lirih, hampir tak terdengar. Dari situ kemudian saya berpikir bahwa Pak Kiai sesungguhnya sedang mengajarkan kepada santri betapa besarnya Allah dibanding kuasa manusia. ‘Allahuakbar’ berarti kalimat yang harus diucapkan sebagai bentuk pengakuan bahwa manusia kecil di hadapan Allah, bahwa manusia tak berdaya, hanya Allah-lah yang Maha Besar.

Di dalam ruangan itu, Pak Kiai memberi nasihat kepada saya. Beliau katakan, bahwa santri bakal memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan zaman, saat telah turun ke masyarakat. Maka, memperbaiki diri sejak dini harus dilakukan agar mampu menjadi orang yang memiliki derajat tinggi di tengah kehidupan di luar pesantren.

Pak Kiai kemudian mengelaborasi makna ayat Al-Qur’an, bahwa hanya ada dua golongan yang dijanjikan oleh Allah akan diangkat derajatnya. Yakni yang beriman kepada Allah dan orang-orang yang memiliki ilmu. Saya hanya mengangguk sembari mengucap ‘enggih’ sebagai pembenaran atas kalimat menyejukkan yang dilontarkan Pak Kiai.

Dari komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, yang dilakukan Pak Kiai itulah, hati saya tersentuh. Jiwa yang semula hampir kering, terbasahi kembali. Alam bawah sadar saya berkali-kali memerintahkan bibir untuk bergerak, dan lirih saya mengucap: astaghfirullah al-‘adzhim. Pak Kiai serupa malaikat yang sedang berupaya mempengaruhi pikiran untuk segera memperbaiki diri.

Sejak itu, saya seperti mendapat angin segar untuk menginsyafi diri, mengubah lelaku ke arah yang lebih baik. Minadzh-dzhulumati ilannur. Pak Kiai adalah cahaya kebaikan yang tetap terpatri dalam jiwa. Selamanya. Dan semenjak saya boyong dari Buntet, cahaya kelembutan itu seperti menjadi karib di sepanjang langkah yang berderap.

Kini, cahaya yang menjadi pelecut semangat untuk tetap melakukan peningkatan kebaikan itu, menjadi ruang tak terbatas. Cahaya itu menyatu dengan cahaya yang berada di atas cahaya. Ia bercampur, menyinari jiwa-jiwa yang juga tak memiliki batas.

Pak Kiai Dud, jasadnya telah diistirahatkan. Akan tetapi, lembut tutur katanya senantiasa melekat di telinga siapa saja yang pernah mendengar. Fisik Pak Kiai telah tiada, tapi ruhnya justru akan selalu setia menemani para santri. Kita mungkin merasa kehilangan sosok yang penuh dengan kesantunan, kala bersikap dan bertutur itu, tapi sungguh kita takkan pernah kehilangan. Bahkan justru akan semakin dekat dan lekat dengannya.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Kiai itu milik Allah, kini beliau telah kembali; berpulang dengan teriring doa yang tak berbatas. Allahuakbar, kalimat yang seringkali diperdengarkan Pak Kiai itulah yang saat ini telah mewujud. Bahwa kuasa dan kemahabesaran Allah melampaui segala hal.

Selamat jalan, Pak Kiai. Jasa besarmu sungguh tak bisa terhitung. Pak Kiai telah menjadi bagian dari perjuangan perubahan yang tetap terkenang selamanya di dalam hidup ini, menjadi pelita yang terus bersinar; menyinari kegelapan dan kepekatan dunia.

Al-Fatihah...


Previous Post
Next Post

0 komentar: