Senin, 24 September 2018

Pengurus IPNU Berpolitik Praktis, Pilih Mundur atau Diberhentikan?


Sumber gambar: jabarnews.com


Tahun politik kali ini sangat seru, sekaligus menyedihkan. Seru, karena kita dapat melihat anak-anak muda dengan wajah baru tampil di muka untuk mendapatkan kursi legislatif. Menjadi anggota dewan, nampaknya merupakan sebuah prestise yang patut dibanggakan. Mengangkat status sosial di lingkungan masyarakat seraya dengan pongah mengangkat kepala tanda jemawa.

Sedangkan hal yang menjadi kesedihan adalah karena banyaknya kader muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mencoba peruntungan di ranah politik. Belakangan ini, NU memang sedang naik daun lantaran pimpinan tertingginya, KH Ma’ruf Amin, menjadi pendamping dari presiden petahana di Pilpres 2019.

Karena dirasa mendapat tugas yang lebih besar lagi, Kiai Ma’ruf akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Rais ‘Aam PBNU. Kita sudah selayaknya mengapresiasi langkah bijak cicit dari Syaikh Nawawi Al-Bantani itu. Ia rela mundur dari jabatan tertinggi ormas Islam terbesar di Indonesia, demi mewakafkan diri untuk negeri ini.

Namun, langkah Kiai Ma’ruf terjun ke politik praktis membuat seluruh generasi muda NU menjadi centil dan ganjen. Terutama organisasi badan otonom NU yang paling bawah, yakni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Banyak kader IPNU yang “ikut-ikutan” mencemplungkan diri ke kubangan politik praktis.

Kalau Kiai Ma’ruf bersedia menjadi cawapres karena semata-mata karena kecintaannya pada negeri, lantas apa yang melatarbelakangi kader atau bahkan pengurus IPNU yang terjun payung ke gedung DPRD masing-masing daerahnya? Jawabannya pasti hanya untuk keren-kerenan. Iya kan?

Dari mulai Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Cabang (PC) di kabupaten/kota, saya yakin banyak caleg karbitan yang unyu-unyu. Menurut saya, mereka jelas bangga karena merasa akan menjadi elit yang bakal dihormati banyak orang. Ini sungguh menggelikan.

Padahal cita-cita IPNU didirikan bukan sebagai wadah pembentukan calon kasta elit dalam masyarakat. Melainkan untuk membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat. Kurang lebih seperti itu yang diungkapkan Pendiri IPNU, KH Tholhah Mansur dalam Muktamar IV IPNU di Yogyakarta tahun 1961.

Jika para pengurus dan kader IPNU yang menjadi caleg itu beranggapan bahwa dirinya merupakan manusia berilmu dan akan dekat dengan masyarakat setelah menjadi anggota dewan nanti, maka asumsi itu sangat jelas tak berdasar.

IPNU semestinya membentuk karakter pelajar agar menjadi generasi yang cemerlang di kemudian hari, menjadi generasi yang tidak haus kekuasaan, tidak centil dan ganjen untuk bersyahwat di dalam lingkaran politik praktis.

Lagi pula, berilmukah sebagai pengurus organisasi jika melanggar konstitusi organisasi yang telah disepakati bersama? Mari kita bedah Peraturan Rumah Tangga (PRT) hasil dari Kongres IPNU XVIII di Boyolali, Jawa Tengah.


PRT IPNU. Silakan baca dan pahami.

Di dalam PRT BAB XI dimaktubkan aturan main soal rangkap jabatan. Khususnya di Pasal 25 yang berbunyi: (1) Pengurus dilarang melibatkan diri dan/atau melibatkan organisasi dalam kegiatan politik praktis. (2) Bagi pengurus yang mengikuti kegiatan politik atau mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, diwajibkan untuk mundur. (3) Jika ayat (2) tidak terpenuhi, maka pengurus tersebut dapat diberhentikan oleh pengurus yang bersangkutan atau tingkat kepengurusan diatasnya. (4) Pengisian kekosongan jabatan akibat pemberlakuan ayat (3) dilakukan dengan mekanisme yang berlaku.

Semuanya sudah jelas. Mulai dari tingkatan pusat hingga cabang, jika kedapatan pengurus yang melibatkan diri ke dalam kegiatan politik praktis, maka diwajibkan mundur. Apabila tidak mundur, maka harus diberhentikan. Kalau tidak mau mundur dan tidak bersedia diberhentikan, lantas untuk apa ada organisasi bernama IPNU dengan peraturan-peraturannya yang telah ditetapkan secara musyawarah mufakat?

Kalau tidak suka dengan tulisan ini, sila siapkan waktu dan tempat untuk kopdar dengan kesediannya diangkat pembicaraannya di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Atau minimal, kalau tidak suka dengan tulisan ini, bikin tulisan tandingan.

Gitu saja kok repot. Mau mundur atau diberhentikan? Pilih salah satu dong. Biar marwah IPNU tetap terjaga. Kalau tidak pilih keduanya, maka sekali lagi saya tanya: untuk apa ada organisasi bernama IPNU? Atau jangan-jangan hanya untuk batu loncatan menuju berbagai hal yang lain, yang lebih menarik, dan lebih menguntungkan diri secara praktis? KH Ma'ruf Amin saja mundur dari jabatan di NU. Ini kok pengurus IPNU tidak mencontoh.

Kalau begitu, mari bersama-sama kita doakan KH Tholhah Mansur agar tenang di alam sana. Al-Fatihah...



Aru Elgete


Wakil Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi

Previous Post
Next Post

0 komentar: