Kamis, 30 Agustus 2018

Benarkah Kemesraan itu Menjadi Petaka bagi HTI?


Sumber: Akun Instagram Presiden Jokowi

Kemesraan itu ditepuk-riuh oleh ribuan orang yang memadati venue pertandingan Pencak Silat Asian Games 2018, di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (29/8).

Hanifan Yudani Kusumah berlarian mengitari lapangan dengan berbalut kain berwarna merah dan putih, sesaat setelah mengalahkan Nguyen Tai Linh, pesilat asal Vietnam, dengan skor 3-2, usai mengalami perlawanan yang cukup sengit.

Ia kemudian berlari ke arah tribun, menaiki anak tangga satu persatu, mendatangi para tokoh bangsa yang menyaksikan laga finalnya. Semuanya disalami dengan senyum bahagia bercampur haru.

Di sana ada Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla, Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo, dan tentunya Presiden RI Joko Widodo. 

Sebagai atlet di bawah naungan IPSI, Hanifan tentu berpelukan dengan Prabowo. Dengan Presiden, sebagai simbol pemerintahan, juga tak luput dari pelukannya. Karena posisi Presiden dan Ketum IPSI berdekatan, Hanifan mengambil momentum sangat indah. Ia memeluk keduanya dengan balutan bendera merah-putih yang masih menempel di bahunya.

Ungkapan terima kasih, haru, bangga, dan apresiasi bercampur-baur. Emas ke-29 dipersembahkan Hanifan untuk sebuah negara yang telah membesarkan namanya. Kini, ia telah berhasil mengharumkan nama negara dan bangsa Indonesia.

Seluruh hadirin bertepuk girang melihat momen langka seperti itu. Para wartawan tak luput untuk mengabadikannya, baik berupa video maupun foto. Momen itu kemudian viral di media sosial, menembus dimensi kebahagiaan manusia Indonesia yang haus persatuan. 

Ya, karena politik, lebih tepatnya kontestasi politik praktis, negeri ini antah-berantah, hancur-lebur, dan berantakan. Manusianya bertengkar satu sama lain hanya karena berbeda pilihan. Masing-masing pendukung saling membenarkan diri dan menyalahkan yang lain.

Namun, Hanifan memberi kesejukan. Seperti memberi setetes air di padang pasir yang sedang diterpa kemarau panjang. Betapa dahaga itu lepas landas. Keteduhan dapat dirasakan seluruh bangsa Indonesia. Itulah sesungguhnya Pancasila yang kalau diperas menjadi Trisila dan apabila diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong-Royong.

Gotong-Royong adalah rasa kebersamaan. Sebuah perasaan saling memiliki, sehingga mau tidak mau, persatuan menjadi mutlak yang harus diwujudkan. Membangun negeri tak bisa jika perpecahan yang senantiasa ditonjolkan.

Kebahagiaan karena momentum saling peluk itu dikomentari oleh warganet di dunia maya. Bahkan menjadi headline di media cetak, online, dan elektronik. Semua membicarakan hal itu. Bahagia melalui persatuan dan kesatuan, menjadi barang langka saban tahun politik tiba.

Namun, ada asumsi menarik yang terlontar dari ucapan salah seorang sahabat saya: bagaimana gerombolan eks-HTI melihat fenomena itu? Apa pernyataan dari kelompok oposisi setelah menyaksikan momentum persatuan itu? Benarkah persatuan menjadi sebuah petaka bagi mereka?

Namun, saya tidak mau terlalu jauh mengomentari soal itu. Sebab kata Hanifan, sebagaimana wawancara yang dilakukan wartawan salah satu media televisi nasional kepadanya, bahwa olahraga jangan pernah dicampur dengan politik. Karena akan berdampak pada kemerosotan prestasi.

Biarlah Prabowo Subianto sebagai Ketum IPSI dan Jokowi sebagai Presiden RI, serta Hanifan sebagai pendekar silat dari Indonesia bermesraan. Jangan dibawa ke ranah politik praktis. Kalau toh, keadaan politik negeri ini membaik karena peristiwa itu, maka hal tersebut menjadi sebuah bonus yang harus tetap dilestarikan.

Dan kalau ternyata keadaan tetap memanas, kita dapat pastikan bahwa ada sekelompok orang yang memang tidak menyukai dan mengamini negeri ini bersatu. Bagaimana menurut anda?


Wallahua'lam...

Rabu, 29 Agustus 2018

Orasi Bang Aru untuk Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin




Pak Jokowi tidak perlu mengaku dirinya seorang santri karena memang tidak pernah mondok.

Tapi Pak Jokowi memiliki karakter santri. Yakni taat beragama, tegas, lugas, dan dekat dengan masyarakat.

Hari Santri Nasional, Liga Santri Nasional, Santripreneurship dan Pesantreneurship adalah bukti nyata kedekatannya dengan para santri.

Sementara KH Ma'ruf Amin. Siapa yang tak kenal beliau? Pimpinan tertinggi NU dan MUI. Beliau itulah Panglima Kiai. Cicit dari Syaikh Nawawi Al-Bantani yang karya-karyanya lekat dengan para santri di pondok pesantren.

Soal ekonomi syari'ah dan kemaslahatan umat, Kiai Ma'ruf Amin tak bisa diragukan lagi.

Maka, pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin ini sangat cocok untuk menjadi pemimpin Indonesia.

Jokowi-Ma'ruf Amin dalam bahasa Arab: Ja'a (telah datang) qowiyyun (orang yang kuat), ma'rufun (terkenal), wa aminun (dan dapat dipercaya). 

Hari ini, kita melihat bahwa pemberitaan di media sosial penuh dengan hoaks dan ujaran kebencian. Maka dari itu, marilah kita berselancar di media sosial dengan bijak. Yakni dengan mengangkat kebaikan-kebaikan Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin ke permukaan media sosial.

Kita tidak perlu menjelekkan yang lain. Cukuplah dengan memublikasikan segala hal yang telah dibukti-nyatakan oleh Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf selama ini.

Dunia sudah dalam genggaman kita, alangkah baiknya menggunakan media sosial dengan tidak melulu soal percintaan. Sebagai kaum generasi milenial, marilah bersama-sama, kita bahu-membahu memuat karya-karya kedua orang baik itu.

Bagaimana?


Itulah secuplik orasi yang dikemukakan pada Deklarasi Santri Jokowi, di Gedung Toton Baho, Pekayon, Kota Bekasi, pada Ahad (26/8).

Selasa, 28 Agustus 2018

Suara NU Kultural yang Sangat Menyejukkan


KH Subhan Hafidz (kiri)

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Karenanya, NU menembus di berbagai lini kehidupan. Pengaruh dan kontribusi yang diberikan merasuk hingga ke lapisan paling bawah.

Di negeri ini, peran NU tak bisa terbantahkan. Walau demikian, NU sebagai organisasi tidak menutup diri terhadap berbagai kemungkinan, seperti misalnya istilah struktural dan kultural.

Di tataran struktural, bisa dikatakan NU sudah matang. Mulai dari level tertinggi kepengurusan hingga ke paling bawah satu komado, tak bisa tidak.

Pengkaderan dan pengorganisasian telah dilakukan dengan sebaik mungkin demi menciptakan iklim organisasi yang baik, sehingga dapat terkristalisasi dengan sangat indah dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai organisasi Islam yang sudah berskala nasional, tentu ujung tombak pergerakan NU adalah masyarakat di akar rumput. Di sana terdapat berbagai pemikiran, amalan-amalan, dan ajaran yang jika tidak dipagari akan liar seperti tak bertuan.

Maka tak jarang, sering kita dengar istilah NU dengan banyak varian rasa. NU rasa FPI, NU rasa Wahabi, hingga NU rasa PKS pun ada. Ini yang seharusnya menjadi fokus utama NU. Bahwa jangan sampai NU terkontaminasi oleh paham-paham yang tak berkesesuaian dengan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

Selasa (28/8) siang menjelang sore, beberapa saat sebelum azan asar berkumandang, saya tiba di sebuah bangunan pondok pesantren yang di dalamnya juga terdapat sekolah dari SD hingga SMK.

Bangunan itu dilabeli Pondok Pesantren Tahfidz Daru Tartila, di bawah naungan Yayasan Nur Jamilah yang juga menjadi nama sekolah di sana.

KH Subhan Hafidz adalah seorang pimpinan tertinggi dari lembaga pendidikan Islam yang berlokasi di Jalan Bintara Raya, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat. Ia merupakan sosok kiai muda jebolan Pesantren Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.

Usai menamatkan pengembaraan ilmu di Gontor, ia terbang ke Mesir. Tepatnya di Universitas Al-Azhar, di Kota Kairo. Sebuah perguruan tinggi tertua di dunia, yang mulanya hanya bangunan masjid yang didirikan pada puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah sekitar tahun 970-972 Masehi.

Kiai Subhan, demikian ia akrab disapa, menceritakan bahwa sepulangnya dari Al-Azhar, sekitar tahun 2003, ia mendirikan Pondok Pesantren Tahfidz Daru Tartila. Kemudian pada 2010, pesantren itu berkembang menjadi dwifungsi: ada sekolah, ada pula pesantren.

Kini, sudah ada sekitar 300 santri yang bermukim dan 800 siswa-siswi yang memilih untuk bersekolah di sana. Selama ini, ia hanya mengurusi santri dan muridnya, sehingga kurang aktif di dalam jaringan ke-NU-an. Namun, jiwa dan karakter, bahkan pemikirannya, tidak bisa diragukan lagi. Ia adalah warga Nahdliyin yang peduli terhadap NU.

“Saya selama ini kurang aktif di NU. Tapi Alhamdulillah amaliyah tetap NU. Bahkan untuk mengcounter wahabi, saya adakan kegiatan Nur Jamila Bertahlil. Semua ikut tahlilan. Santri, murid, hingga guru dan para ustadz, ikut tahlilan. Gesekan NU-Wahabi di sini cukup kencang," katanya.

Ia bersyukur, pesantren miliknya tetap berdiri kokoh. Bahkan, disambut baik oleh masyarakat luas. Beberapa ulama pernah berdatangan ke sana. Diantaranya KH Abdullah Syafi'i dan KH Noer Ali. Selain itu, sudah banyak orangtua yang mempercayakan anak-anaknya bersekolah di sana.

"Jadi, walaupun saya tidak punya Kartu Tanda Anggota NU (Kartanu), saya ini tetap NU," tuturnya dengan santai dan sesekali berseloroh.


Beberapa tahun terakhir, ada dua orang santri yang telah diwisuda usai mengkhatamkan dan menghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Keduanya berangkat umroh.

Uniknya, pemberangkatan umroh tersebut bukan dilakukan atau dibiayai oleh pihak pesantren. Kiai Subhan mengaku hanya punya modal do’a untuk menyemangati para santri agar memiliki kemauan menghafal kitab suci.

“Sejak mereka baru masuk ke sini, saya sudah bilang bahwa kalau hafal 30 Juz, maka akan saya berangkatkan umroh. Di situ saya nekat saja, hanya mengharap ada keberkahan dari Al-Qur’an dan cita-cita saya terwujud," jelasnya, dalam suasana hiruk-pikuk para siswa bermain bola di lapangan sekolah, tepat di depan rumah, tempat kami mengobrol.

Bahkan, ia melanjutkan, "Almarhumah ibu saya terheran-heran, karena memang tidak punya biaya untuk memberangkatkan santri ke tanah suci".

Tiba-tiba, lanjutnya, beberapa hari kemudian setelah santri tersebut diwisuda, ada pihak yang memberikan biaya untuk santri yang hafal Al-Qur’an 30 Juz ke tanah suci.

Saat mendengar kabar itu, Kiai Subhan bahagia bukan main. Ia kian yakin bahwa Al-Qur’an menjadi washilah dari perjuangan dan cita-cita yang dimiliki. Bahkan menurutnya, seperti itulah cara merawat NU agar tetap lestari.

“Saya memilih untuk memperjuangkan NU melalui jalur kultural. Karena perjuangan dan pengorbanan lebih terasa di dalam posisi ini,” katanya, seraya mempersilakan saya meminum air mineral kemasan yang disuguhi di atas meja.

Sebelum menutup perbincangan, ia menegaskan bahwa "Seperti itulah cara saya merawat NU di tataran kultural. Membendung pemahaman anak-anak dari kontaminasi pemikiran radikal ala wahabi".

Setelah itu, saya mengecup punggung tangan Kiai Subhan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang yang berilmu, dan kemudian pamit pulang. 

Hari sudah sore, sementara saya tetap berjibaku pada imajinasi tentang bagaimana merawat tradisi ke-NU-an agar tidak pernah luntur, sekalipun di era modern dan di tengah kehidupan perkotaan.

“Seperti itu rupanya suara dari para kiai kultur, yang barangkali selama ini tidak pernah terdengar dan mungkin saja tak pernah terangkat ke media mainstream maupun media sosial. Suara-suara itu, sungguh menyejukkan dan mengetuk pintu hati untuk senantiasa mencintai NU lahir batin,” kata saya dalam hati, sembari mengendarai motor, menuju Sekretariat IPNU Kota Bekasi, di Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan.