Senin, 19 Februari 2018

Berpecah dan Bersatu karena Tiga Hal Ini


Saya dan Ammar saat merayakan kebahagiaan Syakir diwisuda


Sejak awal perencanaan manusia diciptakan, beberapa kalangan malaikat banyak yang tak suka dengan keputusan Tuhan. Pasalnya, manusia kerap berbuat kerusakan di bumi. Meskipun, pada akhirnya mereka yang menolak itu mati kutu ketika Tuhan mengatakan; "Aku lebih tahu terhadap segala yang tidak kalian tahu".

Benar saja, terjadi pertumpahan darah yang dilakukan kedua putra Nabi Adam. Barangkali hal tersebut dipicu karena urusan sepele. Soal cinta. Kita seperti diingatkan, bahwa fanatisme cenderung berpotensi membuat siapa pun berperilaku anarkis dan radikalis. Semua orang menjadi galak, kala berhadapan dengan cinta.

Jauh-jauh hari, seluruh umat manusia mesti belajar dari kejadian itu. Maka saat perseteruan terjadi kekinian, saya merasa ada yang kurang dalam mengaji dan mengkaji. Mungkin, manusia zaman now hanya senang mempelajari segala hal dari kulit luarnya saja. Semua berebut definisi, tanpa memikirkan bagaimana substansi. Terlebih, efek yang ditimbulkan dari sebuah pengkultusan definisi.

Di era digital, seolah kita semua adalah pakar. Mempelajari agama, misalnya, tak perlu berlama-lama menelan ilmu pengetahuan di pesantren. Mengkaji sepak bola, tidak mesti susah-payah belajar di organisasi kesepakbolaan. Lebih-lebih, banyak yang enggan belajar poltik tapi seolah merasa paling paham dengan kontestasi politik yang akan dan sedang terjadi.

Tiga hal itu, menurut saya, menjadi pemicu perseteruan yang tak pernah menemui kesepahaman. Agama, Sepak Bola, dan Politik. Di linimasa atau beranda media sosial, semua saling serang komentar. Tanpa tatap muka, siapa pun menjadi pemberani. Rupanya, kemajuan teknologi berbanding lurus dengan kemunduran mental penggunanya. Mencibir, mencaci, dan memaki seenaknya sudah menjadi hal yang sangat wajar.

Akhirnya, kita berpecah-belah. Menjadi antah-berantah. Hancur berkeping karena kepentingan yang berbeda. Syair Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma, "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" menjadi barang usang yang tak perlu diingat, apalagi dihafal. Dasar negara Pancasila yang dirujuk langsung dari karya besar Nabi Muhammad hanya menjadi pengulangan-pengulangan saja saat upacara dilaksanakan.

Politik ala Belanda masih sangat kentara. Devide et Impera, namanya. Identitas saling ditonjolkan, tanpa mempedulikan pentingnya sebuah personalitas. Orang-orang di era digital saat ini seperti berebut kebenaran. Bahkan tak jarang, ada pula yang bangga memamerkan kebodohan di hadapan publik. Semua itu, karena ketidaktahuan; bahasa pembelaannya adalah wajar dan pemakluman. 

Pengetahuan dan pengalaman yang minim, menjadi senjata untuk menyerang siapa pun demi melancarkan kepentingannya. Hal tersebut, saya tegaskan kembali, adalah karena pengejawantahan cinta yang berlebihan. Potensi permusuhan, pergolakan, dan perseteruan akan muncul belakangan. Politik, Agama, dan Sepak Bola misalnya. Ketiga itulah, mari kita kaji bersama.


Saya, Ammar, dan Syakir 

Sewaktu Aliyah, saya adalah anak nakal nan bodoh. Tidak tahu apa-apa. Ilmu tak seberapa. Menjadi bulan-bulanan caci-maki siapa pun. Keterpurukan saya rasakan. Saat itu, hidup seperti telah tidak bermakna. Rapuh. Saya memasang muka tembok tahan malu ke mana pun langkah kaki bergerak. Dengan begitu, bukan berarti saat ini saya merasa sudah pintar atau cerdas. Pengalaman pengetahuan lah yang membuat siapa pun mengalami perluasan cakrawala di lingkar otaknya.

Saat sedang terpuruk itu, saya bertemu dua orang kerabat yang mampu membawa perubahan dalam diri. Muhammad Ammar dan Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza. Pertemuan dan keakraban kian tercipta saat kami sama-sama menjadi Penyiar Radio Komunitas Buntet Pesantren Cirebon 107,7 Best FM. Mengudara saban hari, menjadikan kami mengenal kepribadian masing-masing; satu sama lain.

Syakir penyuka bola. Maksudnya, ia sering saya lihat sangat lihai memainkan si kulit bundar di lapangan futsal sekolah. Ammar juga penyuka bola, tapi bukan pemain. Ia lebih senang menjadi pendukung atau simpatisan Persija Jakarta. Saya pun, demikian. Sebelum menginjakkan kaki di Buntet, saya adalah NJ (North-Jakarta) Mania, loyalis Persitara Jakarta Utara. Ke mana pun Laskar si Pitung tanding, saya selalu hadir. Hampir sama dengan Ammar, tidak suka bermain bola. 

Namun, untuk tetap mempererat jalinan silaturrahim dan persaudaraan, kami selalu mencari titik kesamaan yang pas. Yakni, sama-sama penyuka bola meski tidak fanatik. Bagi kami, sepak bola adalah olahraga rakyat yang mesti lestari sampai kapan pun. 

Kemudian, meski agama (Islam) dan jalan keberagamaan (Nahdlatul Ulama) kami sama, tapi cara berpikir dan gaya pandang tentu berbeda. Hal ini saya dapat dan bisa disimpulkan saat kami telah memboyong diri ke luar dari arena pesantren.

Syakir, cara atau pandangan keagamaannya sangat luas. Ia punya banyak literatur, baik kitab klasik maupun modern. Kuning dan putih. Tradisi pesantren sangat erat di tubuh, jiwa, dan kepalanya. Saya belajar banyak darinya. Terakhir, saya banyak mencontoh gaya penulisan dan nilai yang terkandung dalam tulisannya di Website NU Online.

Sementara Ammar, menurut pembacaan saya tentu memiliki perbedaan dengan Syakir. Ia lebih modern dalam berpikir. Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jakarta Pusat ini, selalu mengkaji pengalaman yang dirasakan. Ia kurang suka membaca buku. Lebih senang mendengar, merasa, dan memperhatikan keadaan yang ditangkap indera. 

Sementara saya, juga punya perbedaan dari mereka. Saya pernah beragama dengan sangat liberal. Keluar dari jalur dan tradisi kepesantrenan. Identitas dan personalitas santri, tak lagi melekat dalam diri. Semua yang haram menjadi halal, segala yang halal seolah terharamkan.

Namun, hal tersebut saya jadikan sebuah anugerah. Karena dengan begitu, saya seperti menemukan gerbang untuk lebih bisa berpikir secara sistemik dan universal. Dalam beberapa hal, saya lebih suka mengkaji sesuatu dengan memecah-pisah konteks. Budaya, agama, sosial, politik, dan ekonomi misalnya. Untuk mengetahui bagaimana kondisi yang terjadi dan pemecahan solusi, kita mesti paham dan kaji peristiwa dari berbagai perspektif.

Selain itu, kami punya pandangan politik yang berbeda meski ada beberapa kemiripan dan kesamaan juga. Ammar menyukai gaya politik strategis. Ia punya segudang cara untuk menata diri agar bisa menempati puncak kekuasaan. Ammar punya kemampuan gaya komunikasi yang baik. 

Lain lubuk, lain ikannya. Syakir, tak suka dengan apa yang Ammar suka. Pria berkacamata yang satu ini, lebih suka berada di balik layar. Ia konseptor. Merancang strategi dan kemudian melancarkan sesuatu melalui mulut atau tangan orang lain. Ia menjadi admin dari beberapa media online keislaman. Salah satunya Website Buntet Pesantren. Beberapa tokoh diwawancarai dan tulisan yang dihasilkan adalah sesuatu yang juga ia sepakati. Kira-kira seperti itu kerja jurnalis atau wartawan.

Syakir dan Ammar punya pandangan dan gaya politik sendiri. Saya pun demikian. Cara dan gaya politik Ammar kerap saya gunakan. Begitu pun yang dilakukan Syakir, saya lakukan juga. Terkadang, saya berperan sebagai konseptor. Namun tak jarang, saya pula yang menjadi eksekutor. Saya tak suka berpura-pura. Siapa pun yang tertindas, asal masih bergaris lurus dengan nilai kerakyatan, saya akan membelanya.

Ah, saya tak perlu berlama-lama menerjemahkan siapa saya. Silakan, anda lakukan dan buat kerangka berpikir sendiri bagaimana saya bertindak dan berperilaku. Saya tak berkeberatan diklaim, dituduh, dan dituding macam-macam. 

Politik, agama, dan sepak bola terkadang menjauhkan kita. Namun, ketiganya itulah yang juga berperan untuk mengeratkan persaudaraan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Salah satunya dengan tidak berlebih dalam memperlakukannya.


Terpecah 

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan karena Piala Presiden 2018. Di final, Persija Jakarta keluar sebagai juara karena menang telak 3-0 melawan Bali United. Opini dan pendapat simpang siur tak berdasar, hadir di media sosial. Semuanya beranggapan bahwa argumentasi yang dikeluarkan adalah kebenaran sejati yang tak bisa diganggu-gugat.

Ada yang bilang, Persija Jakarta bisa juara karena gubernurnya seorang yang beragama Islam. Korelasi antara sepak bola sebagai olahraga yang kompetitif dan Islam sebagai agama dipersandingkan. Aneh, memang. Tapi seperti itulah opini yang sudah terlanjur berkembang di tengah otak masyarakat.

Kemudian, perseteruan tercipta dan menjadikan media sosial gaduh adalah ketika Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) melarang Gubernur Anies Baswedan turun ke lapangan untuk turut serta mengapresiasi kemenangan Persija. Namun, opini dan argumentasi yang berkembang sungguh mengganggu daya nalar berpikir saya.

Kait-mengait dilakukan. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya dipersilakan turun dan memberi apresiasi kepada Persija. Sementara Gubernur Anies saat ini, dilarang. Ada apa? Semua mengaitkannya dengan kontestasi Pilpres 2019. Semua orang bicara politik. Seolah pakar yang punya kapasitas untuk berbicara. 

Kalau memang tidak mengerti titik permasalahannya, silakan tanya kepada orang atau pakar yang lebih paham. Tidak membuat opini sehingga masyarakat terpengaruh dan ikut serta menebar kebencian. Sepak bola yang mestinya menjadi simbol kegembiraan rakyat, dikaitkan dengan politik yang penuh intrik untuk mengelabui masyarakat. Hal tersebut sungguh merupakan pelanggaran serius. 

Maka jangan mencampur-baurkan agama, politik, dan sepak bola. Dikombinasikan sebagai bagian dari harmoni dan keselarasan, silakan saja. Tapi kalau dicampur-campur demi kepentingan dan kekuasaan, itu yang salah. 

Jadi, sebenarnya bisakah ketiga itu menjadi titik temu untuk menciptakan kemaslahatan dan kegembiraan bersama? Bisa. Cari kesamaannya. Jangan memperkeruh keadaan dengan membaurkan kepentingan sendiri atau kelompok.


Wallahu A'lam

Rawasari, 19 Februari 2018

Aru Elgete
Bukan Politisi 

Minggu, 11 Februari 2018

Video Kampanye di Unisma Bekasi dan Nilai Keislaman


Sumber gambar dari Blog LDK Al-Ukhuwah Unisma Bekasi



Sudah sepekan, kasus video kampanye di dalam Kampus Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi mengemuka. Menjadi buah bibir dan perbincangan berbagai kalangan, baik lokal maupun nasional. Media massa telah banyak mencatat tentang kejadian memalukan itu. 


Selama hampir satu minggu, banyak pihak yang membincangkan hal tersebut kepada saya. Mulai dari pembodohan, penjatuhan mental dan karakter, serta cara untuk mengusut aktor politik yang berada di belakang layar. Sebagian ada yang merasa tertipu, dibohongi, dan dibodohi; terutama sekali kalangan mahasiswa. Kemudian, juga beberapa pihak (kalangan dosen) mengaku telah merasa dipermalukan. Seperti diperkosa, kemudian ditinggalkan begitu saja. 


Tak jarang pula, ada saja yang mengatakan bahwa sebenarnya saya mendukung pasangan calon lain; yakni wali kota petahana. Semua persepsi, argumentasi, dan friksi-friksi saya terima tanpa tendensi apa pun. Sebab, saya juga tidak punya kepentingan sama sekali dengan kontestasi politik atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun ini. Seluruh cibiran yang berkembang itu, saya anggap sebagai bunga yang bermekaran di tengah dinamika yang sedang berlangsung.




Hal yang mesti digarisbawahi bersama adalah tentang bagaimana independensi sebuah lembaga pendidikan dan netralitas terhadap keberlangsungan Pilkada di sebuah daerah. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari Surat Edaran Rektor Unisma Bekasi Nandang Najmulmunir. Bahwa, terdapat pelarangan untuk berkampanye di institusi pendidikan, rumah ibadah, dan instansi pemerintahan. 


Posisi saya jelas berada pada moderasi keberpihakan. Tidak condong ke kiri dan kanan. Laa Syarqiyyah wa Laa Gharbiyyah. Tidak ke barat atau pun timur. Sependek pemikiran saya, seperti itulah sikap mahasiswa yang seharusnya. Tidak terjebak pada politik praktis, sehingga menimbulkan percikkan karena berpihak pada satu pilihan. Mahasiswa mesti menjadi garda terdepan untuk berperan sebagai motor pergerakan melawan kebodohan, pembodohan, penindasan, dan ketertindasan.


Karenanya, saat ini Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (Amunisi) sedang melakukan pendampingan korban penggusuran di Pekayon bersama Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB). Mereka menuntut Wali Kota Rahmat Effendi untuk bertanggungjawab terhadap penggusuran yang telah dilakukan sejak setahun lalu itu. Saya mengapresiasi langkah mahasiswa yang dengan lantang menyuarakan perlawanan atas penindasan.


Kembali ke persoalan video kampanye di lingkungan kampus, Amunisi tidak tinggal diam. Sebab yang dilakukan aktor politik dengan berkampanye mendukung Nur Supriyanto dengan lokasi di lembaga pendidikan itu dinilai sebagai pembodohan dan mencoreng nama baik kampus. Surat Edaran yang dikeluarkan rektor pun belum menjadi solusi yang tepat untuk menangkal berkembangnya kampanye terselubung di waktu mendatang. 


Ketiadaan organisasi tertinggi bernama Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) di kampus rupanya menjadi angin segar bagi para dosen dan terlebih aktor politik untuk memperbodoh mahasiswa. Parahnya, pejabat kampus saat ini justru seperti menjadi peran utama dalam memecah-belah persatuan mahasiswa. Karenanya, untuk sama-sama mencari solusi demi kebaikan keberlangsungan pendidikan di Unisma Bekasi, Amunisi mengajak seluruh mahasiswa dari setiap organisasi untuk melakukan konsolidasi di Aula Fakultas Ekonomi (FE), hari ini (11/2) siang.


Semua harus ditegaskan. Pemberian sanksi terhadap seluruh jajaran kampus yang terlibat dalam video, mesti dilakukan. Tidak hanya berupa selembar kertas yang hanya akan menjadi angin lalu di kemudian hari. Efek jera harus segera dimunculkan. Tujuannya agar perbuatan menjijikkan itu tidak terulang. Aktor politik mesti diusut keberadaan dan identitasnya. Hal itu dimaksudkan supaya seluruh pihak yang merasa dibohongi, tertipu, dan tidak sengaja (bahasa pembelaan) menjadi kentara kejujurannya.


Mungkinkah ada dosen yang notabene berpendidikan tinggi dan kemudian merasa sebagai korban pembodohan atau pembohongan? Memangnya tidak ada daya nalar yang tinggi untuk mempertanyakan sebelum dijadikan artis video kampanye yang sudah viral itu? Lalu, untuk apa ijazah, skripsi, tesis, disertasi, dan modul yang bertumpuk? Untuk apa pula diturunkan ayat pertama dalam Al-Quran dengan kalimat perintah untuk membaca kalau tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata?


Kita jangan sampai lupa bahwa Unisma Bekasi merupakan kampus yang membawa embel-embel Islam. Berdosalah kita semua yang berada di dalamnya kalau menafikan nilai-nilai keislaman. Pertanyaan dan pernyataan itu terlintas di benak saya. Berkembang menjadi satu. Berbaur di tengah perenungan yang tengah dilakukan.


Terkait itu, seorang Pelukis Legendaris Ki Joko Wasis singgah di Laboratorium Teater Korek pada Kamis (8/2) malam. Ia banyak memberi cerita dan pengalamannya selama melakukan lelaku atau perjalanan selama ini. Dari hasil obrolan saya dengannya, ada beberapa hal yang bertautan dengan perkembangan isu video kampanye. Meskipun Ki Joko sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada kasus besar yang terjadi di Unisma Bekasi.




Selama perjalanannya, Ki Joko Wasis terinspirasi dari ungkapan Syekh Siti Jenar yang selalu mengatakan, "Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah." Menurut pria kelahiran Yogyakarta pada tahun 1960 ini, pernyataan kontroversi Syekh Siti Jenar tersebut merupakan kristalisasi dari komitmen tauhid, yakni Laa Ilaaha Illallah. 


"Laa Ilaaha Illallah itu kan berarti tidak ada siapa dan apa kecuali Allah. Semua adalah Allah. Segala hal yang terjadi di dunia ini karena Allah. Karenanya, semua terawasi oleh Allah," katanya.


Hal demikian, menurut hemat saya, manusia memang tidak terpisah dari Allah. Kita merupakan bagian terkecil dari kebesaran Penguasa Semesta itu. Akan tetapi, manusia tentu berbeda dari makhluk lainnya karena diciptakan dengan sempurna (ahsani taqwiim). Memiliki akal dan nurani. Kalau tetumbuhan dan hewan, semuanya sudah menjadi ketetapan Allah. Sementara manusia, tidak. Manusia mendapat kesempatan untuk turut serta dalam memilih takdir. Yakni yang dinamakan sebuah ikhtiar.


Misal, sepasang suami istri tidak mungkin hanya mengandalkan takdir untuk bisa mendapatkan keturunan kalau tanpa perbuatan (sensor) agar tercipta takdir yang baik. Atau juga, seorang jomblo tidak bisa hanya mengandalkan takdir agar mendapat kekasih kalau tanpa proses pencarian yang wajib dilakukannya.


Dengan begitu, saya rasa tepat sekali Allah menurunkan ayat pertama dalam al-Quran dengan kalimat perintah untuk membaca (Iqra). Teks pada ayat tersebut, Allah tidak menjelaskan ihwal apa yang mesti dibaca. Dia tidak menempatkan objek setelah kalimat Iqra. Maka, menurut penadabburan saya, Allah memerintahkan manusia untuk membaca keseluruhan; baik teks maupun konteks. Membaca peristiwa misalnya. Tidak terpaku pada pembacaan teks berupa huruf-huruf, alfabet, atau tulisan latin di buku-buku.


Karenanya, saya merasa aneh kalau ada pengakuan dosen (sebagai kaum terpelajar) yang mengaku tertipu dan tidak tahu apa-apa soal video kampanye. Memangnya tidak punya daya nalar dan kepekaan rasa terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya kalau berbuat demikian? Begitu pula halnya dengan aktor politik di balik layar. Apakah tidak membaca bagaimana dampak negatif berupa pencemaran nama baik kampus atas perbuatannya itu? Mungkinkah keberadaannya terpisah dari Allah sehingga gerak-gerik yang dilakukan sudah merasa tanpa pengawasan? Di kampus Islam ini, saya berduka-cita atas kematian akal sehat dan nurani. 


Kalau akal sehat dan nurani sudah mati, ke mana hendak kita kubur keduanya? Politik memang seksi. Ia menawarkan keuntungan kalau segala kepentingan berjalan mulus tanpa hambatan. Namun, nilai luhur Islam yang selama ini dibangga-banggakan, mau dikemanakan? Singkatnya, atas kejadian kampanye di lingkungan kampus itu, kini Unisma Bekasi sudah jauh meninggalkan nilai-nilai keislaman. Miris.








Wallahu A'lam



Laboratorium Teater Korek, 11 Februari 2018



Aru Elgete

Jumat, 09 Februari 2018

Nasihat Ki Joko Wasis di Laboratorium Teater Korek


Ki Joko Wasis 


Dalam menjalani kehidupan, perlu ada tiga hal yang harus menjadi penopang. Yakni, bersikap sabar, berlaku jujur, dan berpasrah pada kehendak Tuhan (tawakkal). Ketiganya akan membawa seseorang menuju kebahagiaan yang sejati.

Hal tersebut disampaikan Pelukis Jalanan Ki Joko Wasis saat singgah di Laboratorium Teater Korek, Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, Kamis (8/2) malam. Pria asal Yogyakarta kelahiran tahun 1960 ini mengaku telah menanam benih untuk bekal di kemudian hari. 

"Setiap pergerakan adalah benih. Benih itu yang kemudian melakukan proses hingga menciptakan akar yang kuat hingga tumbuh menjadi pohon yang tidak bisa diruntuhkan. Proses itu adalah sabar. Maka, itu menjadi langkah awal dari kebahagiaan," kata pria bernama asli Mohli Ridyanto ini. 

Bersikap sabar itu, lanjutnya, harus dijadikan kunci awal. Kepada siapa pun, bahkan terhadap musuh, sikap sabar sangat dibutuhkan. Maka, ia mengutip istilah dari para Bijak Bestari, yakni 'lindungi dan sayangilah musuh-musuhmu, maka kamu akan selamat'.

"Sebab, kalau musuh tidak diselamatkan, kehancuran dan kegaduhan bakal tercipta. Sabar kepada musuh, melindungi dan menyayangi mereka, itu wajib. Agar ketenangan dapat dirasakan. Nah, ketenangan itu lah yang disenangi Tuhan. Maka Tuhan bilang, Yaa Ayyatuhannafsul-muthmainnah," katanya.

Setelah sabar, ia melanjutkan, berlaku jujur kepada setiap orang. Di setiap perjalanan yang ditempuhnya, Ki Joko Wasis tidak pernah berkata bohong. Semua diungkapkan apa adanya. Hal itulah yang menjadikannya selalu bahagia dan hidup tenang.

"Kalau ada yang meminjam uang dan kita tidak ingin meminjamkannya, katakan saja tidak. Jangan bertele-tele. Kalau sudah begitu, nanti jatuhnya malah berbohong," tegasnya, sembari menghisap rokok kretek kesukaannya.

Ia berkisah, suatu ketika ada seorang teman yang hendak berhutang kepadanya. Padahal saat itu, Ki Joko tidak punya cukup banyak uang. Dengan kejujurannya, ia justru mengajak temannya itu melakukan kerja sama.

"Saat itu, dompet saya menipis. Akhirnya saya katakan ke dia begini; minus dengan minus sama dengan plus, bagaimana kalau kita kerja sama? Kita ke Malioboro, melukis di sana, duit kita yang tinggal sedikit ini dijadikan modal awal untuk membeli keperluan melukis," kisahnya. 

Gayung bersambut. Berkat kejujurannya itu, ia mendapat keuntungan besar. Uang hasil melukis, dibagi dua dengan temannya. Bahkan, beberapa kali karyanya itu dilirik oleh wisatawan asing dan dihargai dengan nominal yang sangat besar.

"Itu sabar dan jujur. Harus dilakukan. Kemudian tawakkal. Ini yang perlu dan harus menjadi penutup dari setiap perbuatan atau proses yang telah kita kerjakan. Kita mesti memasrahkan segala sesuatu kepada Tuhan. Melakukan dan berbuat sesuatu juga karena Tuhan," ungkapnya.

Dirinya berkisah pernah diminta keluarga Keraton Yogyakarta untuk membuatkan lukisan dan dihadiahkan kepada Sultan. Karena kecintaannya kepada pimpinan tertinggi kerajaan, ia menyanggupinya. Dalam hati Ki Joko Wasis, hanya ada rasa bagaimana Tuhan akan memberikan balasan di masa mendatang.

"Saya buatkan lukisan untuk Sultan. Tidak dibayar. Saya memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Saya menganggap bahwa di dunia ini tidak ada siapa dan apa pun kecuali Tuhan. Semua adalah Tuhan dan peristiwa yang terjadi disebabkan karena Tuhan," katanya.

Kemudian, ia mengutip ungkapan Syekh Siti Jenar. "Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah, itu kan berarti sebuah komitmen tauhid yaitu Laa Ilaaha Illallah. Artinya, tidak ada siapa-siapa dan apa pun, kecuali Allah, kecuali semuanya berasal dari Allah, dan telah diatur oleh Allah," tandasnya.

Ki Joko Wasis adalah seorang Pelukis yang hobinya jalan-jalan ke mana pun ia kehendaki. Terakhir, dirinya hidup selama hampir tiga tahun di hutan, di Tulangbawang, Lampung. Di Teater Korek, ia juga pernah menanam benih kebaikan bersama mendiang Ane Matahari, Penyair Irman Syah, dan beberapa pegiat kesenian di Kota Bekasi.

Ia juga pernah melukis sketsa wajahnya sendiri dan hingga kini lukisannya itu ditempel di dinding Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi. "Saya datang ke sini lagi (Laboratorium Teater Korek), selain bermaksud untuk menjalin silaturrahim, juga ingin melihat dan merasakan benih yang telah saya tanam dulu," pungkasnya.

Kamis, 08 Februari 2018

Artis Video Kampanye Unisma Bekasi Tak Berprinsip


Artis Video Kampanye di Unisma Bekasi 


Dalam hidup, manusia harus memegang prinsip sebagai sebuah kekuatan untuk tetap bertahan pada sesuatu hal. Fungsi prinsip adalah untuk tidak mudah tergoda kepada kemungkinan-kemungkinan lain. Seseorang atau kelompok yang tidak memiliki prinsip, maka ia akan mudah digoda oleh segala hal yang dianggap baik dan asik; padahal sebenarnya menjerumuskan.


Salah satunya, kita bisa ambil contoh, peristiwa menggelikan di lingkungan kampus tertua di Bekasi; Universitas Islam "45" (Unisma). Mulai dari wakil rektor hingga petugas kebersihan turut serta menjadi artis dan model video kampanye. Dengan begitu, mereka tentu sudah mendapat "jatah" dari pasang calon Wali Kota yang mereka dukung.


Terlepas si calon yang jebolan Unisma Bekasi atau bukan, yang jelas orang-orang yang wajahnya nongol di video sama sekali menunjukkan bahwa mereka tak punya prinsip dalam hidup. Keimanan mereka telah hancur berkeping-keping. Sumpah serapah dan racauan dari seluruh mahasiswa yang mengutuk perbuatan busuk itu macam-macam. Ada yang katakan 'Unisma Bekasi sakit', 'Dosen Penjilat', 'Dosen Pelacur', dan lain sebagainya. Seperti itulah kiranya balasan setimpal bagi orang-orang yang tak punya prinsip.


Setelah videonya viral, sebagian besar mengakui kesalahan dengan gaya yang seolah-olah perilaku itu dilakukan atas nama kekhilafan. Padahal menurut guru ngaji saya, khilaf itu berarti perbuatan yang dilakukan dengan tanpa sadar. Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khilaf adalah kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja. Pertanyaannya, mungkinkah video itu dibuat karena unsur ketidaksengajaan?


Sebagian lagi ada yang murka. Mereka menganggap bahwa perbuatan saya dan kawan-kawan yang telah memviralkan video adalah perbuatan yang jahat. Dengan mengatakan seperti itu, mereka berarti seperti peribahasa 'menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri'. Maksud hati untuk mencari kesalahan orang lain, eh malah kesalahan sendiri kian jelas terlihat. Bahkan bukan lagi kesalahan yang terlihat jelas, melainkan mereka seperti sedang mempertontonkan kebodohan.


Pada tulisan kali ini, saya mesti sampaikan bahwa hukuman terberat bagi perilaku amoral semacam kelakuan penjilat di kampus Unisma Bekasi itu adalah hukuman sosial. Mereka harus ditertawakan, dicibir habis-habisan, dicaci-maki, dan kalau sudah sangat menggelikan; baiknya dijauhi. Hukuman-hukuman seperti itu berguna agar para pelaku jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Kalau memang mereka benar-benar mengakui kesalahan dan memohon maaf kepada seluruh pihak yang telah dirugikan, barulah kita 'rangkul' kembali.


Ini kok, mengakui kesalahan saja belum malah ingin mengorek kesalahan orang lain? Aneh sekali. Saya dibilang menyebarkan aib. Padahal aib itu dibuat sendiri dengan rasa gembira dan bahagia. Diunggah ke facebook dan bahkan dibuzzer. Maka, pesan saya untuk artis video kampanye, jangan sembarangan menuduh sebelum introspeksi diri. Jangan pula menuduh orang lain dengan menyitir teks-teks keagamaan. Memangnya saya bodoh?




Mereka sama sekali tak berprinsip. Melakukan gerak saja tidak terkendali. Asal-asalan. Akhirnya ketahuan. Memalukan. Mereka mempermalukan kampus Unisma Bekasi, tapi justru mereka yang marah karena menganggap dipermalukan. Aneh. Orang-orang zaman now, memang aneh-aneh dan lucu-lucu. Makanya berprinsip. Supaya tidak gampang digoda. Punya keimanan yang teguh. Selain itu, juga tidak menyitir teks keagamaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.


Kepada seluruh pembaca, saya ungkapkan terima kasih. Saya menulis sama sekali tidak ada yang membayar. Saya memang suka dengan menulis. Tulisan ini dan tulisan-tulisan sebelumnya bermaksud agar mereka, para artis video kampanye, itu malu. Saya juga tidak punya kepentingan apa-apa dalam kontestasi pesta demokrasi Juni mendatang.


Saya menulis karena resah. Saya menulis agar hidup sepanjang masa. Saya menulis untuk mempertegas prinsip. Bahwa saya berdiri di atas dua kaki; kaki kanan untuk berteman, kaki kiri untuk melawan. Juga, saya menulis untuk mempertegas bahwa saya memiliki dua tangan; tangan kanan untuk merangkul, tangan kiri untuk memukul. Semua orang saya anggap guru, sahabat, dan teman. Namun, kalau mereka salah dan keliru dalam bertindak, maka sungguh tidak ada ampun sedikit pun. Memangnya saya bodoh?





Wallahu A'lam



Kaliabang Nangka, 8 Februari 2018




Aru Elgete
Ketua Teater Korek Unisma Bekasi 

Rabu, 07 Februari 2018

Politik


Sumber gambar: hallobogor.com


Oleh: Andam Rukhwandi Rakhman


Politik?
aku tak mengenalnya dengan baik
karena itu, aku tak banyak kritik
Ya, cuma bisa melirik keseruan mereka adu taktik

Politik?
yang aku tau hanya ada orang licik
persaingannya banyak menimbulkan intrik yang bakal buat lawan panik

Politik?
kayaknya orangnya pura-pura baik demi mendapat simpatik
ah, itu klasik
mereka juga pintar membidik siapa yang akan mendukungnya nanti di balik bilik
tak terkecuali orang-orang berpendidik

Politik?
apa yang membuatnya menarik?
hingga semua orang tertarik dan membuat segala trik biar kelihatan paling nyentrik
asik
tapi jika sudah dilantik pasti usaha buat modal bisa balik
uh, bukan cuma balik tapi juga banyak harta lebih jadi hak milik

Lalu,
jika satu pihak berhasil jadi yang terbaik, akan ada orang yang sirik
nah, kalo mau berpolitik, lakukanlah dengan cantik, buat masyarakat nyaman dan sejahtera agar mereka tidak mengusik
tapi, jangan berlebihan mengkritik, nanti diculik



Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi

Hati-Hati, Barisan Sakit Hati Unisma Bekasi Menyitir Teks Suci


Sebelah kiri, Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan Unisma Bekasi, M Ilyas Sikki dalam video kampanye. 


Viralnya video kampanye yang melibatkan banyak civitas akademika Universitas Islam "45" Bekasi dengan durasi 4.33 menit, menyisakan banyak kelucuan yang tak perlu ditertawakan. Hal yang paling pertama adalah dikeluarkannya Surat Edaran dari Rektor Unisma Bekasi Nandang Najmulmunir tentang larangan berkampanye di lingkungan kampus. Rektor asal Bogor itu mengutip UU Pemilu dan Perppu.

Memangnya, apa hubungannya pemilu dengan keberlangsungan lembaga pendidikan di kampus tertua di Bumi Patriot itu? Seharusnya, bukan argumentasi UU Pemilu dan Perppu yang dicantumkan dalam surat. Sebab, kalau keduanya dijadikan argumentasi untuk melarang berlangsungnya praktik kampanye, itu berarti pembuatan video dilakukan dengan sangat sengaja untuk mendukung salah satu Paslon Wali Kota Bekasi.


Kenapa Pak Rektor tidak mengeluarkan dengan berdasarkan argumentasi UU Sisdiknas dan peraturan dari Kemristekdikti? Karena yang menjadi persoalan bukan soal pemilu atau dukung-mendukung. Namun, mengenai lembaga pendidikan yang dijadikan alat kampanye. Hal tersebut tentu mencederai dan melukai kesucian akademik yang mesti netral dari hiruk-pikuk politik. Mestinya, kita fokus pada perkembangan dan pengembangan kualitas kampus. Salah satunya menitikfokuskan pada peningkatan nilai akreditasi.

Tapi bagaimana mungkin bisa meningkatkan nilai akreditasi kalau orang-orang di sana yang dianggap guru mempertontonkan perilaku konyol dan menggelikan? Kini, sebagian besar mahasiswa yang "tercerahkan" turut serta menertawai kelakuan para dosen yang melakukan kampanye itu. Namun bagi saya, hal-hal konyol itu adalah lelucon yang sangat tidak perlu kita tertawakan.

Itu yang pertama. Kedua, saya menduga bahwa admin fanpage Sahabat Nur Supriyanto yang awalnya mengunggah video kampanye di kampus Unisma Bekasi (yang kemudian dihapus, dan saya unggah di akun pribadi saya) adalah bagian dari Unisma Bekasi. Hal tersebut dapat saya duga dari komentar-komentarnya yang menyudutkan. Dengan identitas anonim, admin menyerang saya dengan kalimat, "Anda mahasiswa Unisma Bekasi kan? Kalau iya, seharusnya jaga nama baik. Tidak membawa isu ini keluar apalagi sampai mengundang wartawan."

Membaca kalimat itu, saya tidak gentar sama sekali. Justru tertawa sembari guling-gulingan. Menggelikan sekali. Kemudian, admin mengeluarkan kutipan tanpa sanad, leterlek sekali, mirip seperti kaum khawarij pada zaman Khalifah Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Begini kalimatnya, "Seorang ulama bernama Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan: “Seorang mukmin akan menutupi aib saudaranya dan menasihatinya. Adapun orang yang jahat akan membongkar aibnya dan mempermalukannya.” Mempermalukan dan atau mengorbankan seseorang dalam aib adalah sebuah kejahatan. Na'udzubillahi min dzalik."

Mari berpikir logis. Ini serius. Berpikir secara rasional itu berat. Kalian yang menjadi relawan OK Siip dan yang wajahnya ada di dalam video bakalan tidak kuat. Biar saya saja.

Senin (5/2) lalu, saya dan kawan-kawan menemukan video itu di akun fanpage Sahabat Nur Supriyanto. Berbondong-bondong kami mengomentari postingan itu. Maksudnya biar viral. Sebab kami tidak rela kampus tercinta dijadikan ajang untuk berpolitik praktis. Lha wong, mahasiswanya saja dilarang keras bersentuhan dengan politik. Ini kok dosen, sebagai guru, eh ada Warek juga, ngajarin konyol.


Setelah kami ramai-ramai mengomentari postingan itu, secara cepat, komentar kami dihapus. Menjadi daftar spam. Sigap sekali admin bekerja. Namun, saya tidak mau terlalu capek berkomentar. Akhirnya, saya unduh videonya dan membuat tulisan di blog pribadi. Maka, menulislah agar hidup sepanjang masa.

Sepanjang pengetahuan saya, postingan video kampanye itu dipromosikan. Artinya, dibuzzer. Bersponsor. Jadi, siapa pun bisa melihat. Termasuk kawan saya yang menemukan video menggelikan itu di beranda. Setelah diserang habis-habisan dengan komentar pedas kami, tak lama berselang, video lenyap. Dihapus. 

Malamnya, saya unggah video itu. Tujuannya agar teman-teman mahasiswa bisa melihat orang-orang yang dikenalnya berkampanye. Kikuk-kikuk. Ada Warek 1, Warek 3, dekan/wakil dekan, dosen, karyawan, mahasiswa, Office Boy (OB), hingga kuli bangunan diajak kampanye. Gokil. Lucunya, tapi jangan ditertawakan, ada bungkus Jco disamping Warek 1. 

Oke kembali lagi kepada teks suci yang diarahkan kepada saya tadi. Entah itu hadits atau maqolah ulama, saya tidak paham. Yang jelas, secara leterlek (mirip khawarij bagen dah), ada dua kategori di dalamnya. Yakni orang mukmin dan orang jahat. Mukmin adalah yang menjaga aib, sedangkan orang jahat merupakan orang-orang yang membongkar aib serta mempermalukan.

Jelas, teks itu ditujukannya kepada saya. Karena saya dengan bantuan kawan-kawan (yang tidak terima kampus dijadikan alat kampanye) yang dengan massif membuat semua jadi terang-benderang. Dengan begitu, siapa sebenarnya penyebar aib dan orang yang memalukan? Sekali lagi saya tekankan, berpikir logis itu berat. Mereka yang ada di video gak bakal kuat. Biar saya saja.

Membuat video, pasti dengan persiapan. Tidak mungkin tanpa disengaja. Banyak yang terlibat. Semuanya dalam keadaan sadar.Tidak mungkin juga dalam keadaan kobam. Eh, maksudnya mabok. Diedit. Video dijadikan satu. Diberi latar musik. Musiknya gak nyambung sih. Kemudian, diunggah di fanpage Sahabat Nur Supriyanto. Mengunggahnya pun tidak mungkin dalam keadaan tertidur. Pasti dalam keadaan bangun, segar bugar, dan sehat wal 'afiyat.

Setelah diunggah, dipromosikan (dibuzzer), postingannya jadi ada tulisan "Bersponsor". Tentu, pengelola fanpage adalah orang yang sehat jasmani. Entah kalau ruhaninya. Sudah hampir seharian video itu nangkring di beranda facebook. Banyak yang menyukai (itu karena dibuzzer), komentar positif disambut hangat. Bahkan ada yang minta videonya dikirim melalui WhatsApp. Disambut, kemungkinan besar dikirim. Sementara komentar bernuansa kritik yang kami layangkan, dihapus seketika. Sampai-sampai videonya pun hilang. 

Kemudian, saya unggah lagi ke Facebook. Saya bantu agar artis dan model dalam video menjadi terkenal. Sebab video di fanpage Sahabat Nur Supriyanto sudah dihapus. Hingga hari ini, video di akun saya mencapai 1000 tayangan dan 20 kali dibagikan. Saya juga membagikan melalui WA, saat ada yang minta. Termasuk Rektor Unisma Bekasi.

Nah, pertanyaannya benarkah video itu adalah aib? Kalau aib kenapa sedari awal senyum-senyum mesam-mesem, dirancang sedemikian rupa, diedit, diposting, dibuzzer? Jadi, siapa yang pertama kali menyebarkan aib dengan persiapan yang sangat berencana? Siapa pula yang dipermalukan dan mempermalukan? Jawabannya tentu mereka semua yang ada di video itu. Karenanya, tidak perlu mengeluarkan teks suci untuk menakut-nakuti atau agar mendapat simpati dari orang banyak.

Tugas saya adalah "Qulil haq walau kaana murron". Itulah tugas seorang jurnalis. Pencatat segalanya. Jujur. Mengatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya walaupun pahit rasanya. Kemudian, benar kata Allah, "faman ya'mal mitsqoola dzarrotin syarron yaroh." Jadi, segala perbuatan buruk walau sekecil biji dzarroh bakal mendapat balasan setimpal. Mau politisasi ayat nih? Ayo. 

Kawan-kawan Unisma Bekasi, siapa pun anda yang membaca tulisan ini; saya ingin mengatakan bahwa kita sudah harus hati-hati. Sebab, telah banyak kaum sakit hati di Unisma Bekasi yang mulai menyitir teks suci untuk menyerang dan mendapat simpati. 

Kemudian teruntuk kaum sakit hati itu, silakan agendakan kopdar dan diskusi dengan saya. Japri, ya. Terima kasih.




Wallahu A'lam


Kaliabang Nangka, 7 Februari 2018

Aru Elgete
Mahasiswa Unisma Bekasi, Konsentrasi Jurnalistik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa.

Selasa, 06 Februari 2018

Politisasi Kampus dan Demoralisasi Pendidikan di Unisma Bekasi


Penolakan terhadap Politisasi digencarkan. 


Kemarin (5/2), masyarakat Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi dihebohkan dengan temuan video yang diunggah melalui akun fanpage Sahabat Nur Supriyanto, salah satu Calon Wali Kota Bekasi dalam gelaran Pilkada Serentak 2018. Saya melihat detik per detik dari setiap tayangan video itu. Banyak orang-orang yang saya kenal. Mulai dari Wakil Rektor 1 dan 3, petinggi fakultas, dosen, mahasiswa, hingga OB Unisma Bekasi tersenyum ramah dan meneriakkan jargon OKSiip.


Kemudian video itu saya unduh, karena khawatir admin fanpage Sahabat Nur Supriyanto bakal menghapusnya. Sebab, berbondong-bondong aktivis mahasiswa mengomentari postingan itu. Betul saja, video tersebut dihapus setelah saya menulis di blog pribadi dan mencantumkan link untuk langsung menuju postingan yang dimaksud.




Sore, saya posting tulisan. Malamnya, saya unggah video di facebook. Beberapa teman saya menghubungi mahasiswa yang terlibat di dalamnya. Dari sekian banyak mahasiswa yang dimintai keterangan, semua menjawab tertipu atau tidak tahu apa-apa. Saya punya alat bukti yang cukup untuk melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwenang. Misalnya, Kemristekdikti mengenai adanya politisasi kampus. 


Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan kronologis pembodohan salah satu mahasiswa yang dilakukan karyawan atau staf yang bekerja di Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DIKA).


Mahasiswa itu, sebut saja bernama Rere. Sekitar jam 1 siang, ia ke sekretariat organisasinya mengambil Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) hasil kegiatan yang telah rampung dilaksanakan. Rere bergegas ke gedung biru (Kantor Rektorat Unisma Bekasi) untuk meminta tanda tangan rektor. Setibanya di gedung biru, ia menghampiri Ibu Satpam (Satpam ini juga ada di dalam video).


Terjadi percakapan. Dirinya menelepon ketua organisasi. Menanyakan perihal LPJ mesti ditandatangani rektor atau langsung diberikan saja ke DIKA. Tak lama, ia mendapat keterangan bahwa LPJ sudah tidak perlu dibawa ke rektor. 


Kemudian, Rere ke ruang DIKA. Pintu, dalam keadaan terkunci. Ibu Satpam mengatakan, "orangnya lagi keluar". Karena dikejar waktu, Rere tak terlalu memperdulikan itu. Ia bergegas ke atas, lantai 2 gedung biru karena ada urusan lain.


Namun baru beberapa langkah kaki digerakkan, ada suara pintu terbuka. Orang dari balik pintu yang terkunci tadi, keluar. Memanggil Rere dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan. Memang dasar Rere, mahasiswi semester 5 yang polos, ia ikuti saja kemauan pekerja DIKA itu.


Di dalam, Rere diceramahi dan diberi nasihat. Layaknya orang tua dan anak. Diberi petuah soal kinerja organisasi. Panjang lebar. Akhirnya, Rere izin keluar karena merasa urusannya telah selesai. 


Baru beranjak sebentar, orang DIKA langsung menahan dirinya. Rere diajak untuk membuat video.


"Video untuk apa?"
"Buat video doang, kok."
"Ngapain, Pak?"
"Nanti kalian bilang OkeSiip OkeSiip OkeSiip ya. Tiga kali."
"Ih buat apa, Pak?"
"Ini buat disimpan doang."
"Pak, saya gak mau ah. Saya gak mau terkenal."
"Udah gak kenapa-kenapa."


Rere terus menyudutkan dengan berbagai pertanyaan yang dimaksudkan untuk menolak. Ia pun tidak diberi izin keluar ruangan kalau menolak. Karena ada ancaman itu, ia akhirnya mengalah. 


"Akhirnya gue divideoin. Muka gue setengahnya, gue tutupin LPJ. Jadi, cuma kelihatan matanya aja. Setelah itu, gue keluar ruangan," katanya, saat dimintai keterangan melalui pesan aplikasi WhatsApp, Senin (5/2).


Peristiwa tersebut, jelas tindakan politisasi kampus. Karena kepentingan politis, mereka rela menghalalkan cara dengan melakukan pembodohan terhadap mahasiswa. Perilaku yang seperti itu, yang dilakukan di kampus, merupakan bentuk demoralisasi pendidikan. Menggadaikan moralitas demi mendapat jatah dari Calon Wali Kota Bekasi.


Di kelas-kelas, para dosen sangat ceriwis memberitahu mahasiswa agar tidak ikut-ikutan ke dalam lingkaran politik praktis. Kepada mahasiswa yang mengikuti Program Kuliah Kerja Nyata (KKN), ibu-bapak dosen mengatakan agar tidak turut serta dalam kampanye. Asupan gizi berupa akhlak dan moral ditingkatkan melalui ceramah dan petuah dosen. Tapi? Hehehehe


Unisma Bekasi sudah tidak pantas menjadi lembaga atau institusi pendidikan. Kini, telah berubah bentuk menjadi posko pemenangan Nur Supriyanto. Moral dan akhlak para dosen digadaikan demi meraup keuntungan dari Calon Wali Kota. Membohongi dan membodohi mahasiswa dengan iming-iming nonton bioskop. Ehh, di dalam bioskop teriak lagi OkeSiip dengan pekik takbir. 


Masih banyak bukti yang saya dapat. Untuk sementara itu dulu. Dengan semangat perjuangan, saya bersama Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (Amunisi) menolak keras praktik politisasi kampus yang dilakukan para Wakil Rektor dan para dosen.


Untuk melihat dan menonton video menjijikkan itu, silakan Klik disini. Kalian akan menemukan wajah para dosen yang berhasil menjadi penjilat dan membodohi mahasiswa. Selamat menonton. 



Wallahu A'lam








Kaliabang Nangka, 6 Februari 2018

Aru Elgete
Mahasiswa Unisma Bekasi angkatan 2014

Senin, 05 Februari 2018

Unisma Bekasi Jadi Alat Kampanye



Wakil Rektor I, Yayat Suharyat Dalam Video Kampanye Mendukung Salah Satu Pasangan Calon Pilkada Kota Bekasi 



Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dilangsungkan pada Juni mendatang. Diselenggarakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Kota Bekasi termasuk wilayah yang akan diberlangsungkan Pilkada Serentak. Semua berbenah, merancang strategi, dan mempropagandakan pilihannya. 



Segala cara dilakukan, mulai dari kampanye melalui media massa hingga di media online. Melibatkan pejabat tinggi daerah sampai kepada masyarakat akar rumput yang tidak tahu apa-apa. Praktis, semua demi kepentingan. Entah mendapat jatah atau tidak, kampanye dengan menghalalkan segala cara merupakan kewajiban yang mesti dituntaskan.



Namun, yang perlu kita ketahui adalah soal independensi lembaga pendidikan. Bahkan, bukan cuma itu. Semua lembaga, melarang kader atau anggotanya untuk membawa atribut dalam berkampanye. Mengenai hak politik dan suara, sudah barang tentu menjadi hak setiap warga negara.



Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi, salah satu lembaga pendidikan yang ada di Bumi Patriot. Telah tersebar di media sosial terkait keterlibatannya dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu. Pendidikan yang mestinya haram bersentuhan secara langsung dengan politik praktis, kini diarahkan untuk kepentingan salah satu pasang calon di Pilkada Kota Bekasi.



Hal tersebut tentu menjadi persoalan serius. Sebab mulai dari dosen, staf, karyawan, hingga mahasiswa dilibatkan dalam berkampanye dan meneriakkan OKSiip. Jumat (2/2) pekan lalu, saya melihat beberapa orang, termasuk salah satu staf yang bekerja di Direktorat yang ada di Kampus Unisma Bekasi, mengenakan kaus bertuliskan OKSiip. Lucu. Barangkali ada yang mesti dikorek dari otak orang-orang yang melibatkan Unisma Bekasi untuk kampanye.



Dengan begitu, maka sudah terang-benderang bahwa sebagian besar pejabat kampus tidak mengerti bagaimana mengelola lembaga pendidikan dengan baik. Barangkali yang mereka tahu hanya sekadar mendapat jatah atau kue yang dibagi-bagikan oleh pasangan calon. Kalau sudah kebagian jatah, maka sudah tentu masuk kantong pribadi. 



Demikianlah, pemikiran-pemikiran picik pejabat kampus. Hanya mementingkan keuntungan dan memanfaatkan lembaga pendidikan yang seharusnya netral untuk dijadikan tameng untuk berpolitik praktis. Kalau tidak paham bagaimana menetralisasikan posisi lembaga pendidikan, maka lebih baik mundur dari jabatan. Daripada harus membawa marwah pendidikan yang suci ke dalam kubangan penuh intrik bernama politik.



Kalau memang ingin berpolitik, silakan untuk tidak membawa nama lembaga Unisma Bekasi. Silakan manfaatkan hak politik sebagai warga negara dengan membawa nama pribadi. Dan, mereka itulah yang barangkali sudah terhasut bisikan iblis untuk mencari celah dan cara agar meraup keuntungan.



Sejujurnya, saya menulis atas nama kepedulian. Secara hak politik dalam Pilkada Kota Bekasi, saya tidak punya. Karena saya masih ber-KTP DKI Jakarta. Demi nama baik Unisma Bekasi, silakan kita adakan kopdar untuk mengkaji bagaimana semestinya kita berpolitik dengan baik tanpa melibatkan Unisma Bekasi.



Di bawah ini adalah video yang terlihat jelas ada keterlibatan Unisma Bekasi di dalamnya. Silakan ditonton sampai habis.








Wallahu A'lam





Laboratorium Teater Korek, 5 Februari 2018





Aru Elgete

Mahasiswa semester akhir jurusan Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi