Minggu, 11 Februari 2018

Video Kampanye di Unisma Bekasi dan Nilai Keislaman


Sumber gambar dari Blog LDK Al-Ukhuwah Unisma Bekasi



Sudah sepekan, kasus video kampanye di dalam Kampus Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi mengemuka. Menjadi buah bibir dan perbincangan berbagai kalangan, baik lokal maupun nasional. Media massa telah banyak mencatat tentang kejadian memalukan itu. 


Selama hampir satu minggu, banyak pihak yang membincangkan hal tersebut kepada saya. Mulai dari pembodohan, penjatuhan mental dan karakter, serta cara untuk mengusut aktor politik yang berada di belakang layar. Sebagian ada yang merasa tertipu, dibohongi, dan dibodohi; terutama sekali kalangan mahasiswa. Kemudian, juga beberapa pihak (kalangan dosen) mengaku telah merasa dipermalukan. Seperti diperkosa, kemudian ditinggalkan begitu saja. 


Tak jarang pula, ada saja yang mengatakan bahwa sebenarnya saya mendukung pasangan calon lain; yakni wali kota petahana. Semua persepsi, argumentasi, dan friksi-friksi saya terima tanpa tendensi apa pun. Sebab, saya juga tidak punya kepentingan sama sekali dengan kontestasi politik atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun ini. Seluruh cibiran yang berkembang itu, saya anggap sebagai bunga yang bermekaran di tengah dinamika yang sedang berlangsung.




Hal yang mesti digarisbawahi bersama adalah tentang bagaimana independensi sebuah lembaga pendidikan dan netralitas terhadap keberlangsungan Pilkada di sebuah daerah. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari Surat Edaran Rektor Unisma Bekasi Nandang Najmulmunir. Bahwa, terdapat pelarangan untuk berkampanye di institusi pendidikan, rumah ibadah, dan instansi pemerintahan. 


Posisi saya jelas berada pada moderasi keberpihakan. Tidak condong ke kiri dan kanan. Laa Syarqiyyah wa Laa Gharbiyyah. Tidak ke barat atau pun timur. Sependek pemikiran saya, seperti itulah sikap mahasiswa yang seharusnya. Tidak terjebak pada politik praktis, sehingga menimbulkan percikkan karena berpihak pada satu pilihan. Mahasiswa mesti menjadi garda terdepan untuk berperan sebagai motor pergerakan melawan kebodohan, pembodohan, penindasan, dan ketertindasan.


Karenanya, saat ini Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (Amunisi) sedang melakukan pendampingan korban penggusuran di Pekayon bersama Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB). Mereka menuntut Wali Kota Rahmat Effendi untuk bertanggungjawab terhadap penggusuran yang telah dilakukan sejak setahun lalu itu. Saya mengapresiasi langkah mahasiswa yang dengan lantang menyuarakan perlawanan atas penindasan.


Kembali ke persoalan video kampanye di lingkungan kampus, Amunisi tidak tinggal diam. Sebab yang dilakukan aktor politik dengan berkampanye mendukung Nur Supriyanto dengan lokasi di lembaga pendidikan itu dinilai sebagai pembodohan dan mencoreng nama baik kampus. Surat Edaran yang dikeluarkan rektor pun belum menjadi solusi yang tepat untuk menangkal berkembangnya kampanye terselubung di waktu mendatang. 


Ketiadaan organisasi tertinggi bernama Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) di kampus rupanya menjadi angin segar bagi para dosen dan terlebih aktor politik untuk memperbodoh mahasiswa. Parahnya, pejabat kampus saat ini justru seperti menjadi peran utama dalam memecah-belah persatuan mahasiswa. Karenanya, untuk sama-sama mencari solusi demi kebaikan keberlangsungan pendidikan di Unisma Bekasi, Amunisi mengajak seluruh mahasiswa dari setiap organisasi untuk melakukan konsolidasi di Aula Fakultas Ekonomi (FE), hari ini (11/2) siang.


Semua harus ditegaskan. Pemberian sanksi terhadap seluruh jajaran kampus yang terlibat dalam video, mesti dilakukan. Tidak hanya berupa selembar kertas yang hanya akan menjadi angin lalu di kemudian hari. Efek jera harus segera dimunculkan. Tujuannya agar perbuatan menjijikkan itu tidak terulang. Aktor politik mesti diusut keberadaan dan identitasnya. Hal itu dimaksudkan supaya seluruh pihak yang merasa dibohongi, tertipu, dan tidak sengaja (bahasa pembelaan) menjadi kentara kejujurannya.


Mungkinkah ada dosen yang notabene berpendidikan tinggi dan kemudian merasa sebagai korban pembodohan atau pembohongan? Memangnya tidak ada daya nalar yang tinggi untuk mempertanyakan sebelum dijadikan artis video kampanye yang sudah viral itu? Lalu, untuk apa ijazah, skripsi, tesis, disertasi, dan modul yang bertumpuk? Untuk apa pula diturunkan ayat pertama dalam Al-Quran dengan kalimat perintah untuk membaca kalau tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata?


Kita jangan sampai lupa bahwa Unisma Bekasi merupakan kampus yang membawa embel-embel Islam. Berdosalah kita semua yang berada di dalamnya kalau menafikan nilai-nilai keislaman. Pertanyaan dan pernyataan itu terlintas di benak saya. Berkembang menjadi satu. Berbaur di tengah perenungan yang tengah dilakukan.


Terkait itu, seorang Pelukis Legendaris Ki Joko Wasis singgah di Laboratorium Teater Korek pada Kamis (8/2) malam. Ia banyak memberi cerita dan pengalamannya selama melakukan lelaku atau perjalanan selama ini. Dari hasil obrolan saya dengannya, ada beberapa hal yang bertautan dengan perkembangan isu video kampanye. Meskipun Ki Joko sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada kasus besar yang terjadi di Unisma Bekasi.




Selama perjalanannya, Ki Joko Wasis terinspirasi dari ungkapan Syekh Siti Jenar yang selalu mengatakan, "Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah." Menurut pria kelahiran Yogyakarta pada tahun 1960 ini, pernyataan kontroversi Syekh Siti Jenar tersebut merupakan kristalisasi dari komitmen tauhid, yakni Laa Ilaaha Illallah. 


"Laa Ilaaha Illallah itu kan berarti tidak ada siapa dan apa kecuali Allah. Semua adalah Allah. Segala hal yang terjadi di dunia ini karena Allah. Karenanya, semua terawasi oleh Allah," katanya.


Hal demikian, menurut hemat saya, manusia memang tidak terpisah dari Allah. Kita merupakan bagian terkecil dari kebesaran Penguasa Semesta itu. Akan tetapi, manusia tentu berbeda dari makhluk lainnya karena diciptakan dengan sempurna (ahsani taqwiim). Memiliki akal dan nurani. Kalau tetumbuhan dan hewan, semuanya sudah menjadi ketetapan Allah. Sementara manusia, tidak. Manusia mendapat kesempatan untuk turut serta dalam memilih takdir. Yakni yang dinamakan sebuah ikhtiar.


Misal, sepasang suami istri tidak mungkin hanya mengandalkan takdir untuk bisa mendapatkan keturunan kalau tanpa perbuatan (sensor) agar tercipta takdir yang baik. Atau juga, seorang jomblo tidak bisa hanya mengandalkan takdir agar mendapat kekasih kalau tanpa proses pencarian yang wajib dilakukannya.


Dengan begitu, saya rasa tepat sekali Allah menurunkan ayat pertama dalam al-Quran dengan kalimat perintah untuk membaca (Iqra). Teks pada ayat tersebut, Allah tidak menjelaskan ihwal apa yang mesti dibaca. Dia tidak menempatkan objek setelah kalimat Iqra. Maka, menurut penadabburan saya, Allah memerintahkan manusia untuk membaca keseluruhan; baik teks maupun konteks. Membaca peristiwa misalnya. Tidak terpaku pada pembacaan teks berupa huruf-huruf, alfabet, atau tulisan latin di buku-buku.


Karenanya, saya merasa aneh kalau ada pengakuan dosen (sebagai kaum terpelajar) yang mengaku tertipu dan tidak tahu apa-apa soal video kampanye. Memangnya tidak punya daya nalar dan kepekaan rasa terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya kalau berbuat demikian? Begitu pula halnya dengan aktor politik di balik layar. Apakah tidak membaca bagaimana dampak negatif berupa pencemaran nama baik kampus atas perbuatannya itu? Mungkinkah keberadaannya terpisah dari Allah sehingga gerak-gerik yang dilakukan sudah merasa tanpa pengawasan? Di kampus Islam ini, saya berduka-cita atas kematian akal sehat dan nurani. 


Kalau akal sehat dan nurani sudah mati, ke mana hendak kita kubur keduanya? Politik memang seksi. Ia menawarkan keuntungan kalau segala kepentingan berjalan mulus tanpa hambatan. Namun, nilai luhur Islam yang selama ini dibangga-banggakan, mau dikemanakan? Singkatnya, atas kejadian kampanye di lingkungan kampus itu, kini Unisma Bekasi sudah jauh meninggalkan nilai-nilai keislaman. Miris.








Wallahu A'lam



Laboratorium Teater Korek, 11 Februari 2018



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: