Kamis, 08 Februari 2018

Artis Video Kampanye Unisma Bekasi Tak Berprinsip


Artis Video Kampanye di Unisma Bekasi 


Dalam hidup, manusia harus memegang prinsip sebagai sebuah kekuatan untuk tetap bertahan pada sesuatu hal. Fungsi prinsip adalah untuk tidak mudah tergoda kepada kemungkinan-kemungkinan lain. Seseorang atau kelompok yang tidak memiliki prinsip, maka ia akan mudah digoda oleh segala hal yang dianggap baik dan asik; padahal sebenarnya menjerumuskan.


Salah satunya, kita bisa ambil contoh, peristiwa menggelikan di lingkungan kampus tertua di Bekasi; Universitas Islam "45" (Unisma). Mulai dari wakil rektor hingga petugas kebersihan turut serta menjadi artis dan model video kampanye. Dengan begitu, mereka tentu sudah mendapat "jatah" dari pasang calon Wali Kota yang mereka dukung.


Terlepas si calon yang jebolan Unisma Bekasi atau bukan, yang jelas orang-orang yang wajahnya nongol di video sama sekali menunjukkan bahwa mereka tak punya prinsip dalam hidup. Keimanan mereka telah hancur berkeping-keping. Sumpah serapah dan racauan dari seluruh mahasiswa yang mengutuk perbuatan busuk itu macam-macam. Ada yang katakan 'Unisma Bekasi sakit', 'Dosen Penjilat', 'Dosen Pelacur', dan lain sebagainya. Seperti itulah kiranya balasan setimpal bagi orang-orang yang tak punya prinsip.


Setelah videonya viral, sebagian besar mengakui kesalahan dengan gaya yang seolah-olah perilaku itu dilakukan atas nama kekhilafan. Padahal menurut guru ngaji saya, khilaf itu berarti perbuatan yang dilakukan dengan tanpa sadar. Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khilaf adalah kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja. Pertanyaannya, mungkinkah video itu dibuat karena unsur ketidaksengajaan?


Sebagian lagi ada yang murka. Mereka menganggap bahwa perbuatan saya dan kawan-kawan yang telah memviralkan video adalah perbuatan yang jahat. Dengan mengatakan seperti itu, mereka berarti seperti peribahasa 'menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri'. Maksud hati untuk mencari kesalahan orang lain, eh malah kesalahan sendiri kian jelas terlihat. Bahkan bukan lagi kesalahan yang terlihat jelas, melainkan mereka seperti sedang mempertontonkan kebodohan.


Pada tulisan kali ini, saya mesti sampaikan bahwa hukuman terberat bagi perilaku amoral semacam kelakuan penjilat di kampus Unisma Bekasi itu adalah hukuman sosial. Mereka harus ditertawakan, dicibir habis-habisan, dicaci-maki, dan kalau sudah sangat menggelikan; baiknya dijauhi. Hukuman-hukuman seperti itu berguna agar para pelaku jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Kalau memang mereka benar-benar mengakui kesalahan dan memohon maaf kepada seluruh pihak yang telah dirugikan, barulah kita 'rangkul' kembali.


Ini kok, mengakui kesalahan saja belum malah ingin mengorek kesalahan orang lain? Aneh sekali. Saya dibilang menyebarkan aib. Padahal aib itu dibuat sendiri dengan rasa gembira dan bahagia. Diunggah ke facebook dan bahkan dibuzzer. Maka, pesan saya untuk artis video kampanye, jangan sembarangan menuduh sebelum introspeksi diri. Jangan pula menuduh orang lain dengan menyitir teks-teks keagamaan. Memangnya saya bodoh?




Mereka sama sekali tak berprinsip. Melakukan gerak saja tidak terkendali. Asal-asalan. Akhirnya ketahuan. Memalukan. Mereka mempermalukan kampus Unisma Bekasi, tapi justru mereka yang marah karena menganggap dipermalukan. Aneh. Orang-orang zaman now, memang aneh-aneh dan lucu-lucu. Makanya berprinsip. Supaya tidak gampang digoda. Punya keimanan yang teguh. Selain itu, juga tidak menyitir teks keagamaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.


Kepada seluruh pembaca, saya ungkapkan terima kasih. Saya menulis sama sekali tidak ada yang membayar. Saya memang suka dengan menulis. Tulisan ini dan tulisan-tulisan sebelumnya bermaksud agar mereka, para artis video kampanye, itu malu. Saya juga tidak punya kepentingan apa-apa dalam kontestasi pesta demokrasi Juni mendatang.


Saya menulis karena resah. Saya menulis agar hidup sepanjang masa. Saya menulis untuk mempertegas prinsip. Bahwa saya berdiri di atas dua kaki; kaki kanan untuk berteman, kaki kiri untuk melawan. Juga, saya menulis untuk mempertegas bahwa saya memiliki dua tangan; tangan kanan untuk merangkul, tangan kiri untuk memukul. Semua orang saya anggap guru, sahabat, dan teman. Namun, kalau mereka salah dan keliru dalam bertindak, maka sungguh tidak ada ampun sedikit pun. Memangnya saya bodoh?





Wallahu A'lam



Kaliabang Nangka, 8 Februari 2018




Aru Elgete
Ketua Teater Korek Unisma Bekasi 
Previous Post
Next Post

0 komentar: