Minggu, 30 Juni 2019

Lima Cara Praktis Gabung Organisasi


Kader IPNU Kota Bekasi yang bergabung secara tidak praktis

Cara praktis gabung organisasi itu ada banyak cara. Namanya praktis, berarti tidak membutuhkan waktu lama untuk berproses sebelum terlabeli sebagai bagian dari organisasi tertentu. 

Begini, organisasi itu kan sebuah wadah perkumpulan yang di dalamnya terdapat sesuatu yang terstruktur, geraknya pun sistematis, dan punya visi agar 'doktrin' organisasi dapat menyebar secara masif. 

Jadi terstruktur, sistematis, dan masif itu harus seiring-sejalan dalam mencapai tujuan bersama. Nah, tujuan bersama atau katakanlah visi itu dapat dicapai karena ada misi; sebuah cara agar, misalnya, menambah ketertarikan orang lain kepada organisasi, sehingga roda kaderisasi tetap jalan, atau bisa juga agar dapat meraup banyak keuntungan.

Keuntungan-keuntungan yang didapat dalam organisasi pun beragam. Seperti misalnya keuntungan materi berupa uang atau harta, dan pengalaman yang tak didapat dari luar organisasi.

Kemudian, selain itu, kita juga akan mendapat keuntungan jaringan sosial yang lebih luas dan bisa jadi mendapat keuntungan lain; katakan saja seperti keuntungan biologis. Kasarnya, dapat jodoh berkat washilah organisasi. 

Karena itu, saya sering katakan kepada teman-teman yang gandrung terhadap organisasi bahwa beruntunglah orang-orang yang berkumpul dan berhimpun dalam organisasi. Terlebih, bagi mereka yang menghidup-hidupi organisasi. 

Memang, berorganisasi akan banyak menyita waktu, tenaga, bahkan harta. Tetapi hasilnya, tidak seketika itu juga kita dapatkan. Melainkan di hari tua. Percaya saja. Toh, banyak tokoh aktivis organisasi yang sukses karena punya kapasitas dan kemampuan di bidangnya masing-masing. 

Di setiap organisasi, kita pasti punya sosok atau tokoh yang diidolakan sebagai rule model untuk melecut diri agar punya semangat untuk menghidupi organisasi. Tapi percayalah, bahwa siapa pun yang tidak pernah mempelajari sejarah atau jejak langkah tokoh dalam organisasi, maka akan kesulitan mencari bentuk. 

Bentuk, maksudnya, adalah patokan atau jalur agar mampu berjalan sesuai koridor. Yakni sesuai cita-cita pendiri, misalnya, atau tokoh besar dalam organisasi.

Nah, orang-orang yang kehilangan bentuk dalam berorganisasi itulah, saya yakin seratus ribu persen bahwa mereka pasti masuk atau bergabung dalam organisasi secara praktis, instan, dan tidak melalui tahap proses sebagaimana mestinya. 

Saya pernah ngobrol dengan salah seorang teman, bahwa dalam organisasi terdapat dua bentuk agar calon kadernya itu dapat secara serius (lebih-lebih tulus) mengurusi organisasi. 

Pertama, apakah kita mesti menciptakan kenyamanan-kenyamanan secara nonformal terlebih dulu, baru kemudian diajak berorganisasi secara serius?

Kedua, apakah kita lakukan terlebih dulu kesengsaraan, penggojlogan, dan penggemblengan, baru kemudian memberikan kenyamanan-kenyamanan?

Bagi saya, jika poin pertama yang diterapkan, maka yang terjadi adalah kader penerus kita itu akan malas-malasan, tidak serius berorganisasi, bahkan melunjak. Kenapa? Karena di awal sudah diberi kenyamanan-kenyamanan. 

Maksud saya kenyamanan-kenyamanan itu adalah kedekatan emosional atau membangun keakraban pra-perekrutan. Maka ketika diajak serius untuk berorganisasi, jiwa mereka tidak akan pernah bisa menerima. Ini hukum alam. 

Tetapi dalam poin kedua, menurut saya, akan terjadi sebuah dinamika dalam batin seorang calon kader bahwa berorganisasi itu memang dibutuhkan keseriusan, tidak main-main. Sebab, organisasi adalah amanah. Lebih jauh, amanah bersama yang harus dilakukan secara bersama-sama.

Seleksi alam akan berperan. Menyortir orang-orang yang serius dan tidak. Mereka yang hanya bermain-main saja, akan dengan sendirinya, secara hukum alam, pergi dan bahkan hilang dengan sendirinya. 

Bahayanya, ada banyak pula cara-cara praktis untuk bergabung ke dalam organisasi. Tetapi, ini adalah penyakit. Saya menyebut sebagai benalu organisasi, dan sering terjadi.

Berikut ini adalah lima cara praktisnya:

Pertama, orang kaya.
Organisasi tentu saja membutuhkan biaya operasional agar perekonomian tetap berjalan, sehingga organisasi bisa terus hidup. Nah biasanya, orang-orang kaya yang dikenal dari temannya teman dalam organisasi ini diajak hanya untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sialnya, si orang kaya ini mau. Kemudian dia menjadi pengurus tanpa terlebih dulu mengikuti pelatihan-pelatihan atau diklat kepemimpinan dan keorganisasian. Dia tidak pernah tahu bagaimana budaya organisasi yang ada, sehingga bisa seenaknya saja mengatur lantaran punya banyak uang. 

"Sebenarnya, orang kaya itu sudah tidak ada yang dicari lagi selain tahta atau kedudukan," kata saya kepada teman suatu ketika, mendoktrin maksudnya. 

Kedua, trah baik atau darah biru. 
Benar saja jika Imam Ghazali pernah mengatakan, "Jika kau bukan anak dari seorang raja dan ulama besar, maka menulislah!"

Kalimat mutiara itu bukan hanya bisa dimaknai sebatas dari keahlian menulis saja. Tetapi juga di segala aspek. Tafsir bebas saya begini: "Jika kau bukan anak dari seorang terkemuka, jangan harap bisa mendapatkan kedudukan tanpa berdarah-darah."

Ini juga penyakit. Karena tidak mungkin, kita menyuruh anak kiai atau tokoh publik yang punya pengaruh kuat untuk mengikuti tahap proses kaderisasi. Mustahil dilakukan, kecuali jika memang ada kesediaan dan kerelaan dari dirinya sendiri untuk berproses. 

Kalaupun diadakan proses-proses kaderisasi atau keorganisasian, itu bukan semata untuk membuka pengetahuannya tentang organisasi. Melainkan hanya untuk pemenuhan syarat administratif agar bisa dengan leluasa menduduki posisi. 

Ketiga, punya kenalan orang dalam.
Biasanya ketika sesaat usai pemilihan ketua, dibentuk sebuah tim formatur untuk melakukan restrukturisasi organisasi. Nah, dalam proses restrukturisasi itu tak jarang, tim formatur kekurangan orang untuk dimasukkan ke dalam kepengurusan. Nah, di sinilah cara praktis dimainkan. 

Mereka akan mencari orang, teman dekat, keluarga, saudara, dan bahkan tetangga yang sefrekuensi (punya semangat dan sudut pandang yang sama atau sepemahaman) untuk menduduki jabatan. Ini juga penyakit karena tidak melalui tahap proses kaderisasi sebelum menjadi pengurus organisasi sebagaimana mestinya.

Ke depan, orang-orang ini akan menjadi benalu karena merasa punya tameng untuk berlindung, yaitu orang yang dikenalnya sebelum masuk organisasi. Profesionalisme organisasi jadi terabaikan karena sudah ada kedekatan emosional sebelumnya.

Keempat, punya incaran lawan jenis. 
Ini bahaya dan sering terjadi. Banyak orang yang ikut organisasi hanya karena ada seseorang yang dikaguminya berkecimpung di dalam organisasi. Dia akan rela berkorban mengikuti segala peraturan yang ada dalam rangka menarik perhatian lawan jenis. 

Seolah dialah organisatoris paling kompeten sehingga pada suatu ketika target atau incarannya itu jatuh hati. Semangat pun akan terpompa lebih ketika dua sejoli ini, yang saling cinta, berada dalam satu organisasi. 

Tapi ketika terjadi konflik percintaan, mereka akan sulit untuk membedakan antara urusan organisasi dan pribadi, sehingga menjadi bias tak punya bentuk. Walhasil, salah satu diantara keduanya atau bahkan kedua-duanya menghilang dari peredaran. 

Kelima, ikut-ikutan.
Sebelum masuk ke dalam organisasi, tentu saja kita sudah punya kelompok kecil. Bisa kita sebut itu adalah geng. Kelompok kecil ini akan selalu bersama-sama ke mana pun pergi. 

Maka jika salah satu diantaranya memang punya kompetensi organisasi, yang lainnya akan ikut karena tidak ingin berpisah lantaran kesibukan yang berbeda. 

Akibatnya, orang-orang yang berorganisasi hanya karena ikut-ikutan ini tidak tahu bagaimana organisasi itu berjalan. Bahkan bahayanya, mereka tidak tahu sejarah, budaya, dan komunikasi yang ada dalam organisasi. 

Mereka akan menjadi benalu karena ketidaktahuannya. Dan sungguh celaka apabila mereka tidak mau mempelajari segala sesuatu yang harus mereka pelajari dalam organisasi. Lho kenapa tidak mau? Jawabannya karena mereka hanya ikut-ikutan. 

Itulah lima cara praktis untuk bergabung ke dalam organisasi tanpa mengikuti proses terlebih dulu. Pertanyaannya, sepraktis apakah kita dalam berorganisasi?

Atau justru, setelah berorganisasi kita kemudian dihadapkan pada segala sesuatu yang praktis sehingga setelah itu menjadi malas untuk menghidupi organisasi.

Realistis perlu. Tapi idealisme organisasi harus terus dijalankan selama kita masih menjadi bagian dari organisasi. Kalau kita memang sudah tidak ingin memperjuangkan idealisme, mencapai cita-cita atau visi bersama, dan merasa lelah lantaran tidak mendapatkan apa-apa karena kapasitas diri tidak berkembang; atau tidak mau mengembangkan potensi diri, maka lebih baik mundur saja. 


Wallahua'lam...

Sabtu, 29 Juni 2019

Ngobrol dengan Pak Prabowo di Rumahnya


Jokowi, Prabowo, Ahok

Tak lama setelah Pak Prabowo menyampaikan pernyataan melalui konferensi pers usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan final, malam itu juga saya langsung bergegas untuk bersilaturahmi ke kediamannya di Jalan Kartanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Walau putusan MK tentu saja mengecewakan, tetapi saya tetap memuji Pak Prabowo sebagai ksatria sejati. Dia adalah sosok yang mampu menjadi suri teladan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Saya bahagia sekali, saat mata kami saling bertatap, Pak Prabowo langsung menyuruh saya beserta rombongan untuk masuk ke dalam rumah. Ada banyak buku-buku yang terpampang di lemari yang tidak akan muat jika ditaruh di kamar saya. 

Pak Prabowo adalah pribadi yang hangat. Dia mampu memecahkan suasana. Bahkan, sanggup menutupi kesedihannya dengan sesekali tertawa lepas. Di luar sana, sosok yang satu ini seringkali dicap sebagai seorang yang bengis, pembunuh, otoriter, dan kejam. Padahal sesungguhnya, tidak demikian. 

Saat kami mulai dipersilakan duduk di sofa ruang tamu yang sangat empuk, saya memulai pembicaraan. Mulanya, saya buka dengan mengaku bahwa saya adalah pendukung setia Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. 

"Pak, sudahlah. Yang lalu biar berlalu. Bapak masih punya banyak impian untuk kemudian diterjemahkan melalui gerak para kader di bawah," demikian saya berceloteh. 

Kemudian Pak Prabowo menimpali, "Saya juga tidak masalah, kok. Saya bahagia karena tidak terpilih lagi sebagai presiden. Sebab jika saya terpilih, belum tentu juga saya mampu memimpin negara besar yang kaya-raya ini."

"Amanah menjadi orang nomor satu di negeri ini sangat luar biasa. Saat ini sudah waktunya saya beristirahat, menikmati hari tua dengan segelas teh atau kopi sembari membaca buku-buku kesukaan saya," kata Pak Prabowo melanjutkan. 

Obrolan pun berlanjut, mengalir, dengan sangat hangat dan penuh keakraban. Tak ketinggalan, di tengah-tengah obrolan kami yang sedang seru, Pak Prabowo memperkenalkan kami dengan kucing kesayangannya yang berbulu lembut dan lebat, seraya mengelus-elus dengan penuh kasih sayang.

Dalam hati saya bergumam, "Pak Prabowo ini penyayang sekali rupanya. Dengan kucing saja sebegitu sayangnya. Apalagi dengan rakyat Indonesia."

Saat sedang asyik melamun, Pak Prabowo mengagetkan saya dengan sebuah pertanyaan, "Selama masa kampanye, apa yang kamu dapat dari pendukung 01? Kamu kan penyusup, hehehe." 

Pertanyaan itu membuat saya kaget setengah mati. Rupanya Pak Prabowo tahu bahwa selama ini, saya berpura-pura menjadi pendukung 01 untuk kemudian membocorkan hal-hal yang janggal kepada tim pemenangan Prabowo-Sandi. 

"Saya tidak melihat dan mendapat apa-apa kecuali ketulusan, sama seperti bapak dan para pendukung Prabowo-Sandi yang rela turun demi Indonesia," kata saya, menjawab apa adanya. 

Tak hanya itu, saya juga mengatakan banyak hal yang telah saya lihat selama berpura menjadi pendukung 01. Tetapi respon Pak Prabowo hanya tersenyum dengan sangat lebar dan manggut-manggut tanda mengerti. 

Selama obrolan kami itu, saya tidak mendengar sepatah kata pun keluar dari lisan Pak Prabowo menyebut Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Yakni Bapak Haji Joko Widodo dan Bapak Kiai Haji Ma'ruf Amin. 

Entahlah, mungkin Pak Prabowo masih menyimpan kekecewaan dan sakit hati mendalam. Saya mengerti itu. Maka, sejak awal bertemu tadi, saya tidak pernah menyinggung soal kemenangan paslon 01 yang secara otomatis pasca-putusan MK yang menolak seluruh permohonan Tim Pemenangan Prabowo-Sandi. 

Saya tidak berani menyentuh pembicaraan ke arah itu. Biarlah mengalir saja. Apa adanya. Sebab, kedatangan saya dan teman-teman ke rumah Pak Prabowo tak lain hanyalah untuk menghiburnya. Tak lebih. 

"Saya tidak akan memberikan ucapan selamat kepada Jokowi selama di dalam dada rasa sakit hati ini masih sangat terasa," kata Pak Prabowo dengan suara serak-serak basah ciri khasnya. 

"Lho kenapa, Pak?"

"Presiden kamu itu pernah menjadi anak didik saya. Tapi prestasinya saat ini sudah melebihi kemampuan yang saya punya. Saya tidak bisa terima. Dia saya didik untuk mengangkat elektabilitas saya di 2014 agar bisa jadi presiden. Tapi ternyata yang terjadi bukan begitu. Dia malah jadi presiden dan sekarang menang lagi. Saya kecewa sekali," tutur Pak Prabowo. 

Mendengar penuturan tersebut, hati saya serasa terbakar tapi tidak bisa berkata apa-apa. Mulut seperti terkunci rapat. Saya hanya melihat ketulusan dari wajah Pak Prabowo yang mulai keriput dimakan usia. Wajah lelah seorang ksatria itu sudah semestinya beristirahat, tetapi dia lebih memilih untuk bekerja dan mengabdi pada Indonesia.

Saya memahami bagaimana kondisi atau gejolak batin Pak Prabowo. Dia telah dikecewakan oleh Pak Jokowi. Tentu itu sangat menyakitkan. Tetapi itulah kenyataannya. 

Jujur, saya juga tidak bisa menerima sosok idola yang selama ini saya agungkan, merasa tersakiti oleh anak didiknya sendiri.

"Kurang ajar betul Pak Jokowi telah melawan gurunya sendiri," batinku. 

Pak Prabowo kemudian menyambung penuturannya yang tadi, "Tapi anak didik saya bukan hanya Jokowi. Saat itu, di Pilgub DKI, saya masih ingat sekali, dia saya pasangkan dengan anak didik saya yang paling giat bekerja. Yaitu Basuki Tjahaja Purnama, Ahok."

Saya manggut-manggut saja, tanpa membalas dengan kata-kata sedikit pun. 

"Ahok itu anak didik saya. Tapi dia juga kurang ajar. Berani menentang dan melawan saya, bahkan berani keluar dari partai. Sok mempertahankan idealisme. Akhirnya masuk pesantren kan dia gara-gara mulutnya tidak bisa dijaga," kata Pak Prabowo melanjutkan ungkapan sebelumnya. Sementara saya masih diam, serius mendengarkannya. 

"Ahok sekarang sudah lebih baik. Mulutnya sudah tidak sembarangan bicara. Saya mengikutinya di youtube. Dia sekarang jadi vlogger," kata Pak Prabowo yang kemudian dilanjutkan dengan tawa pecah. Kami pun ikut tertawa sejadi-jadinya. 

"Hari ini, Ahok ulang tahun. Tanggal 29 Juni," kata Pak Prabowo.

"Lho bapak masih ingat?"

"Bapak, bapak. Ini abang lu, Ru, Nisfu! Bangun buruan. Ngigonya parah lu. Hahahahahaa."

"Lah Pak Prabowo mana?"

"Di Den Haag kayaknya, lagi ke Mahkamah Internasional."

"Ya Allaaaaaaah. Jadi daritadi gue ngobrol sama elu, Mas? Bukan sama Pak Prabowo?"

"Bukan! Hahahahaa. Ayo kita ucapin ulang tahun buat Ahok. Eh BTP sekarang. Pemimpin Jakarta yang paling jujur dan bersih."

"Duh, ya Allaaaaah."

Jumat, 28 Juni 2019

Deddy Corbuzier dan Keberhasilan Dakwah Islam Indonesia


Deddy Corbuzier bersama Gus Miftah dan Ustadz Yusuf Mansur sowan ke Kiai Ma'ruf Amin

Sepekan lalu, pada Jumat, 21 Juni 2019, kita dihebohkan oleh seorang magician ternama negeri ini, Deddy Corbuzier, yang memutuskan untuk memeluk agama Islam. 

Dia mengucapkan syahadatain, syahadatullah wa syahadaturrasul atau dua kalimat syahadat, dibimbing oleh ulama muda Nahdlatul Ulama, Gus Miftah Maulana Habiburrahman di Masjid Al-Mbejaji, Pondok Pesantren Ora Aji, Yogyakarta. 

Tapi sesungguhnya, yang menarik dari pilihan Deddy Corbuzier untuk memeluk Islam adalah sosok Gus Miftah. Dia adalah seorang pendakwah, yang menurut saya, telah mampu mengikuti jejak kenabian dan walisanga dalam memasarkan Islam dengan penuh kelembutan. 

Ulama muda nyentrik ini, muncul di jagat media sosial ketika dia berdakwah di lokalisasi. Dia mengajak perempuan-perempuan pekerja seks untuk bersholawat dan bermunajat kepada Allah. 

"Orang baik punya masa lalu, orang belum baik punya masa depan," demikian ungkapan Gus Miftah yang sangat populer diperdengarkan ke masyarakat. 

Gus Miftah sudah berhasil menerjemahkan perintah Allah untuk mengajak orang lain ke jalan-Nya dengan cara-cara yang santun dan teladan yang baik. 

Dalam Surat An-Nahl ayat 125, Allah berbicara kepada Kanjeng Nabi Muhammad, "Ajaklah (orang-orang kafir) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan teladan yang baik, serta bantahlah mereka dengan argumentasi yang santun."

Sudah hampir setahun, kita bisa lihat di akun youtube Deddy Corbuzier, Gus Miftah membimbing presenter tayangan galawicara di salah satu stasiun televisi itu dengan penuh kelembutan. Hal itu dapat kita rasakan, karena mereka seringkali berdialog dengan dibumbui gelak tawa dan penuh candaan. 

Deddy Corbuzier pun banyak bertanya seputar Islam, sedangkan Gus Miftah menjawabnya dengan sungguh-sungguh. Namun, sering juga Gus Miftah menyampaikan kepada lawan bicaranya itu bahwa, "Fa man syaa-a fal-yu'min, wa man syaa-a fal-yakfur."

Bahwa sesungguhnya, Allah memberikan keleluasaan bagi hamba-Nya untuk beriman atau memilih menjadi kafir. Inilah yang kemudian selalu memantik rasa penasaran bagi Deddy Corbuzier mengenai ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Kepada lawan bicaranya yang belum Islam itu, Gus Miftah memaparkan bahwa dalam Islam tidak ada sama sekali paksaan kepada orang lain untuk memeluk Islam. Itulah yang difirmankan Allah pula, "Laa ikraha fiddin."

Puncaknya, sesama umat beragama, seorang muslim harus menyadari bahwa terdapat batas-batas yang mesti dipahami, yakni sebuah ungkapan populer yang telah diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad, "Lakum diinukum wa liyadiin."

Bahkan, Gus Miftah memberikan salah satu definisi Islam yang juga pernah diungkapkan Kanjeng Nabi. Bahwa seorang muslim yang baik adalah mereka yang tidak pernah mencederai orang lain dari bahaya tangan dan lisannya. 

Karena muslim atau tidaknya seseorang merupakan hak prerogatif Allah. Tidak ada yang bisa memastikan atau memaksa orang lain agar mau beriman kepada Allah. 

Saya rasa, inilah sesungguhnya dakwah yang harus diterjemahkan ke dalam keindonesiaan kita yang punya budaya welas asih dan tepa slira. Islam yang mampu berdialog dengan budaya, sehingga yang disajikan bukanlah ketakutan, tetapi mampu menciptakan rasa aman dan nyaman.

Sebab, memang seperti itulah mesin dakwah Islam di Indonesia bekerja. Bertugas untuk mengislamkan orang-orang kafir, bukan justru mengkafirkan sesama Islam. 

Masuknya Deddy Corbuzier ke dalam agama Islam itu, menjadi salah satu tolok ukur dari keberhasilan dakwah Islam Indonesia.

Meskipun jauh dari sumber Islam, jauh dari Tanah Arab, Mekkah dan Madinah, tetapi umat Islam di Indonesia lebih mampu mengejawantahkan pesan-pesan kenabian.

Islam di Indonesia adalah Islam yang benar-benar telah menjalankan konsep rahmatan lil alamin. Yakni Islam yang menampilkan wajah ramah, penuh kelembutan, dan mampu menghargai keragaman.

Islam di Indonesia sangat kontras dan berbeda sekali dengan Islam di belahan dunia lain. Di wilayah asy-syarqul awsath (Timur Tengah), misalnya, kita akan melihat wajah Islam yang sangat politis, peperangan, dan perebutan kekuasaan yang merenggut banyak korban jiwa.

Kemudian, di wilayah maghrib (barat) Afrika dan sekitarnya, mayoritas penduduk adalah muslim. Namun, dengan segudang permasalahan sosial dan ekonomi, Islam tampak tertinggal dan terbelakang.

Di Asia Selatan, seperti Pakistan, Afghanistan, dan India terjadi konflik yang tak kunjung berhenti. Seolah-olah hal itu sudah menjadi ciri umat Islam di sana. 

Tapi mari kita lihat (dan syukuri) Islam di Indonesia dan di Tanah Melayu pada umumnya. Bahwa Islam nampak begitu damai. Masyarakatnya hidup dalam kerukunan, semuanya bebas menjalankan ibadah, dan setiap orang diperkenankan untuk selalu mempertahankan atau bahkan mengekspresikan keimanannya.

Karenanya, dakwah Islam yang harus dilakukan dewasa ini, haruslah dilakukan kepada kelompok-kelompok eksternal yang belum mengenal Islam. Tidak melulu mendakwahi umat Islam yang kemudian saling bersitegang lantaran berbeda penafsiran tentang pemikiran keislaman. 

Umat Islam di Indonesia harus terus memperbaiki metode dakwahnya dengan baik. Yakni dakwah dengan lebih mengedepankan substansi dari kandungan Islam itu sendiri, bukan justru menampakkan sisi luar saja sehingga yang timbul adalah perselisihan tanpa henti.

Sebab jika kita terus-menerus menggali ajaran Islam yang paling inti, kita akan menemukan sebuah kenyamanan yang dapat melahirkan kecintaan lebih terhadap Islam. 

Seperti itulah Islam. Agama yang secara etimologis (asal-usul kata) saja, sudah mengandung makna kedamaian dan keselamatan. Maka, apa yang menyebabkan Islam itu sendiri saling berpecah satu sama lain? 

Terakhir, saya sampaikan bahwa sebagai bagian dari Islam, bahkan bagian terkecil dari agama yang sangat besar itu, mari kita sama-sama bahu-membahu untuk membesar-besarkan Islam dengan cara tidak merasa lebih besar dari Islam. 

Karena dengan itulah, orang-orang yang belum Islam akan melihat Islam besar. Kebesaran Islam akan nampak dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan dengan konflik dan peperangan di dalam tubuh Islam itu sendiri.

Gus Miftah telah berhasil dalam menjalankan metode dakwah Islam Indonesia yang ramah, sampai-sampai Deddy Corbuzier pun tertarik untuk beragama Islam. Lantas, bagaimana dengan kita?

Wallahua'lam...


(Tulisan ini juga diterbitkan di surat kabar harian Koran Bekasi, edisi Jumat 28 Juni 2019)

Jangan Ada Rekonsiliasi Diantara Kita



Perjalanan panjang Pemilu 2019, akhirnya selesai juga. Melelahkan, sekaligus menjengkelkan. Bagaimana tidak, hanya karena Jokowi atau Prabowo, Kiai Ma'ruf atau Sandiaga Uno, hubungan kekerabatan jadi hancur.

Semalam, setelah dibacakan hasil putusan, selama kurang lebih 10 jam, Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak secara keseluruhan laporan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi atas tuduhan kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif). 

Dengan demikian, secara otomatis, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin telah resmi terpilih sebagai pemimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Sebab, putusan MK itu bersifat mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat.

Pertanyaannya kemudian, situasi dan kondisi apa yang harus kita ciptakan pasca-putusan MK?

Kepada masyarakat awam yang berada di akar rumput, tentu saja kita berikan maklumat untuk kembali bersatu lagi. Tetapi berbeda halnya seruan yang seharusnya kita lontarkan kepada para tokoh dan elit politik negeri ini.

Karenanya, saya menolak untuk diadakan semacam forum atau pertemuan dalam rangka melakukan rekonsiliasi nasional. Halah. Rekonsiliasi tidak akan pernah bisa tercipta. Percaya deh.

Sebab memilih demokrasi berarti telah bersedia untuk menerima kondisi, dimana kita harus selalu bertemu dengan suasana konflik, saling sinis, dan berseberangan.

Namun sesungguhnya, kalaupun sikap saling sinis dan berseberangan serta konflik itu tercipta, karena toh hal itulah yang menciptakan tradisi check and balances. Maka, rekonsiliasi adalah istilah paling buruk dalam seni berpolitik.

Dalam demokrasi, setiap orang bebas mengekspresikan ketidaksukaannya, termasuk terhadap berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 

Nah, orang-orang cerdas akan mengekspresikan ketidaksukaan itu dengan cara mengkritik, menulis, dan melakukan audiensi untuk membuka dialog dengan pemegang kebijakan. 

Tetapi jika kritik itu dilancarkan dengan brutal, merusak fasilitas umum, mengancam stabilitas negara, bahkan mengganggu eksistensi ideologi Pancasila, maka jangan salahkan jika pemerintah bersama perangkat-perangkatnya mengambil tindakan

Suasana demokrasi yang penuh keterbukaan ini harus kita syukuri. Semua orang diberi kebebasan untuk berbicara, bertindak, berdiskusi, bertukar pikiran, berorganisasi, dan berlagak sok pintar sekalipun. Asal dengan catatan, tidak menganggu ketertiban umum dan stabilitas negara. 

Namun celakanya, bagi bangsa yang sedang tumbuh dewasa di alam demokrasi sejak tahun 1998 ini, demokrasi adalah ruang untuk mengekspresikan segala hal dengan bebas tanpa batas. Kita telah banyak menyaksikan berbagai peristiwa mengerikan yang terjadi karena demokrasi; lebih spesifik karena berbeda preferensi politik.

Nah demokrasi sesungguhnya mengajarkan kita agar mampu terbuka dengan keterbukaan yang menyeluruh, tapi dengan tanpa ada baper di dalamnya. Bahwa selain siap untuk menang tetapi juga harus siap menerima kekalahan. 

Para bijak bestari mengatakan, orang-orang yang menang janganlah menjatuhkan atau menghina-hina mereka yang kalah, sedangkan mereka yang kalah hendaklah menerima dengan lapang dada tanpa amuk. 

Maka pertanyaannya adalah siapa yang menang dan siapa yang berhasil dikalahkan? Saya rasa, terlalu sempit juga jika dijawab bahwa pemenangnya adalah paslon nomor satu beserta pendukungnya dan paslon nomor dua bersama pendukungnya kalah. 

Bagi saya, pemenang kontestasi Pemilu 2019 ini adalah rakyat. Bukan para elit politik yang kerap menjadi dalang kerusuhan di kalangan akar rumput. Rakyat berhasil memenangkan ini karena mampu menjadi objek aktif dalam menyuarakan keberpihakannya. 

Inilah sesungguhnya demokrasi. Dimana keberisikan, hiruk-pikuk, dan keramaian adalah suatu keniscayaan untuk saling mengingatkan; bukan meniadakan satu sama lain. 

Kritik-autokritik tetap harus dilakukan. Jangan menjadi penjilat karena telah duduk di lingkaran kekuasaan, tetapi juga jangan menjadi pembenci hanya karena tidak masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. 

Hanya saja, bagi orang-orang yang duduk di lingkaran kekuasaan akan melancarkan kritik dengan tidak keras lantaran objek yang harus dikritiknya sudah sangat dekat.

Berbeda dengan oposisi yang harus terus bekerja ekstra menjadi penyeimbang, agar keorganisasian Republik Indonesia ini tetap berjalan seru dan penuh dinamika. 

Oleh karena itu, rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang harus segera dilakukan. Tidak. Bahkan jangan sampai rekonsiliasi itu tercipta atau terselenggara. Sebab saya khawatir, momentum rekonsiliasi menjadi ajang lobi-lobian mencari posisi jabatan strategis. 

Dan pada akhirnya, kalau demikian, rekonsiliasi justru menjadi penyebab kekacauan negeri ini karena akan berjalan tidak seimbang, lantaran ketiadaan unsur atau elemen yang menjadi alarm untuk mengingatkan kekeliruan.

Sampai di sini paham? Sekali lagi, rekonsiliasi tidak perlu dilakukan karena sesungguhnya rekonsiliasi hanya untuk mengamankan posisi agar panggung tak segera rubuh. 

Karenanya, bagi penguasa dan oposisi selamat mengambil jarak. Jangan sampai bersentuhan, bahaya. Bisa-bisa idealisme tergadaikan. Maka, jangan sampai ada rekonsiliasi diantara kita. Hahahaha~

Wallahua'lam...

Rabu, 19 Juni 2019

Tiga Pemuda Bertemu Jin Goblok


Ilustrasi. Sumber gambar: konsultasisyariah.com

Rohman, Amat, dan Sodik adalah tiga serangkai. Mereka bersahabat sejak kecil. Kini, ketiganya beranjak menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan tampan.

Mereka selalu bersama, ke mana pun pergi. Namun, tentu saja, ketiganya punya kebiasaan yang berbeda.

Kebiasaan Rohman adalah main perempuan. Wajar saja, karena dia punya wajah yang sangat menawan dan tubuh yang tegap nan gagah.

Sedangkan Amat, menyukai minuman keras. Dari mulai jamu orangtua, hingga minuman termahal yang diimpor dari luar negeri, dia suka. Apa pun jenis dan merknya. Mabuk-mabukan sudah seperti minum air putih saja, setiap hari.

Sementara Sodik adalah perokok berat. Sejak kelas 5 SD, dia sudah sering merokok. Kini, segala jenis rokok, mulai dari yang filter hingga kretek, Sodik pasti doyan.

*****

Nah, suatu ketika, mereka sedang berjalan-jalan tanpa tujuan. Memang seperti itulah kebiasaan bersama yang sudah dilakukan sejak mereka remaja. 

Tak terasa, mereka sedang berjalan di tengah pemakaman. Karena lelah, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak, di bawah pohon asem yang sangat rindang.

Tidak disengaja, mata Rohman melihat sebuah benda aneh. Benda itu sejenis teko sebagaimana di film Aladin. Karena penasaran, Rohman mengambil teko itu. Lantas, teko yang sudah sangat usang penuh debu itu, digosok-gosokkan dengan tangannya.

Sejurus kemudian, keluar asap dari corong teko itu. Perlahan tapi pasti, asap itu mewujud menjadi satu makhluk yang menyeramkan. Yakni, sesosok jin yang ganas. 

"Hahahahaahaha," tawa jin itu, sebelum memulai pembicaraan. 

"Akulah Jin Ifrit," lanjutnya, dilanjut dengan tertawa kembali. 

Sementara itu, terpancar wajah ketakutan dari ketiga sahabat yang tangan mereka saling berpegangan agar hilang rasa takut. Mereka panik bukan main.

Melihat ketiga manusia muda itu ketakutan, Jin Ifrit kemudian melakukan klarifikasi. 

"Tenang saja, anak muda. Aku justru ingin berterima kasih kepada kalian. Kalian telah membebaskanku dari teko itu. Maka, aku akan mengabulkan apa saja permintaan kalian," jelas Jin Ifrit kepada ketiga pemuda yang semakin lama rasa ketakutannya menjadi hilang.

Rohman, Amat, dan Sodik menjadi gembira bukan main. Mereka lantas termenung dan berpikir tentang peluang serta kemauan masing-masing. Mungkin saja, dikabulkan. 

"Aku mau perempuan-perempuan muda dari berbagai bangsa di seluruh dunia dan letakkan kami di dalam sebuah gua tertutup. Dan jangan ganggu kami, selama setahun," kata Rohman. 

Dalam sekejap, jin itu menyempurnakan permintaan tersebut. Rohman pun menikmati permintaan yang telah dikabulkan itu, di dalam gua yang tertutup.

Kini, giliran Amat. Dengan santai dia mengatakan, "Aku mau semua jenis arak dari seluruh dunia. Letakkan aku di dalam sebuah gua tertutup selama setahun. Dan, jangan ganggu."

Dalam sekejap, jin itu menyempurnakan permintaan tersebut. Amat pun menikmati permintaan yang telah dikabulkan itu di dalam gua yang tertutup.

Lantas, Sodik pun tak ingin kalah dari kedua sahabatnya itu. Dia juga meminta kepada Jin Ifrit, "Aku mau semua jenis rokok dari seluruh dunia untuk bekal selama setahun. Letakkan dalam sebuah gua tertutup dan jangan sampai ada yang ganggu."

Dalam sekejap, jin itu menyempurnakan permintaan tersebut. Sodik pun menikmati permintaan yang telah dikabulkan itu di dalam gua yang tertutup.

*****

Setelah genap setahun, Jin Ifrit itu mendatangi ketiga gua tertutup tadi. Kemudian dibuka pintunya masing-masing sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Maka, jin itu pergi untuk membuka pintu gua yang dihuni oleh Rohman. Saat dibuka, keluarlah Rohman dengan tubuh lunglai, kurus-kering, dan bahkan berdiri pun tidak bisa karena tak sanggup menggerakkan lutut. 

Hal itu didera Rohman lantaran sehari-hari hanya diisi untuk memuaskan nafsu seorang perempuan dari seluruh dunia. 

Tiba-tiba, Rohman jatuh. Mati. Innalillahi...

Setelah itu, jin mendatangi gua yang dihuni oleh Amat. Ketika dibuka, keluarlah Amat dengan perut yang sangat buncit karena hari-harinya hanya diisi untuk mabuk-mabukan.

Dia jalan terhuyung-huyung. Tiba-tiba, Amat jatuh. Mati. Innalillahi...

Terakhir, Jin Ifrit pergi ke gua yang dihuni Sodik. Pintu gua lalu dibuka. Tetiba, keluarlah Sodik dari dalam dengan keadaan sehat wal 'afiyat. 

Tak diduga, Sodik menampar Jin Ifrit seraya memaki, "JIN GOBLOK, KOREKNYA MANA?!"

Selasa, 18 Juni 2019

Benarkah Poligami Diperbolehkan dalam Islam?


Sumber gambar: jawapos.com

Poligami memang merupakan hal yang sangat diinginkan bagi sebagian kaum adam. Terlebih, lantaran Al-Quran (seolah) memberikan anjuran untuk berpoligami. Dengan kata lain, poligami dianggap diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Kini, sedang ramai diperbincangkan Kelas Poligami Nasional yang diadakan oleh Forum Poligami Indonesia. Kelas tersebut diselenggarakan dua kali. Di Jakarta, pada 6 Juli mendatang. Kemudian di Surabaya, pada 3 Agustus 2019.

Komentar dari Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, Mas Ulil Abshar Abdalla di twitter, cukup menarik. Sehingga memantik saya untuk membahas soal poligami ini.

"Kelas poligami seperti ini perlu dilarang. Menimbulkan kesan seolah-olah Islam menganjurkan poligami. Selain itu, kelas (ini) seperti menyakiti perempuan secara publik. Saya usul, Kementerian Agama buat aturan untuk melarang acara promosi poligami secara terbuka seperti ini," demikian kicauan Mas Ulil, di twitter, pada Senin, 17 Juni 2019.





Dus, meski saya belum pernah menikah, apalagi poligami, saya jadi tertarik untuk mengulas tentang poligami ini. Benarkah, poligami diperbolehkan dalam Islam? Sungguh, bagi saya, sampai kapan pun, poligami akan menjadi isu yang debatable. Tapi, begitulah kira-kira pemikiran manusia. 

Saya kok justru merasa bahwa terdapat hal yang keliru dalam sudut pandang mengenai keterbolehannya poligami dalam Islam. Lebih menarik, saya pernah mendengar seorang khutoba (penceramah) mengatakan, "Seorang perempuan atau istri jika ingin mendapatkan tempat paling indah di surga, maka harus bisa merelakan suaminya untuk berpoligami."

Kemudian, sang ustadz itu merincikan argumentasinya dengan dalil-dalil yang tak bisa dipatahkan oleh orang-orang awam di akar rumput, termasuk, barangkali, saya.

Saya juga pernah menemukan sebuah postingan yang beredar di media sosial, yang menuliskan bahwa, "Seorang istri harus bisa mencegah suaminya dari bahaya zina. Salah satunya adalah dengan memberikan izin sang suami untuk melakukan poligami."

Omaicrooot...

Kenapa selalu perempuan yang dikambinghitamkan? Kenapa selalu menempatkan perempuan sebagai objek, bukan subjek yang berperan, misalnya agar bagaimana pasangannya itu tidak selingkuh dan berpoligami. Atau, kenapa tidak kita menitikberatkan pada suami yang harus setia pada satu istri? 

Barangkali, dugaan saya, suami-suami yang ngebet untuk menikah lagi atau berpoligami itu adalah laki-laki yang memang hanya berlandaskan nafsu. Kemudian nafsu itu dibalut dengan landasan-landasan agama. Kelar hidup lo!

Poligami, sekuat apa pun argumentasi yang dikeluarkan, pasti akan melukai hati sang istri. Tidak mungkin, tidak. Lagi-lagi, sebagian besar orang yang mengatasnamakan dalil agama untuk poligami itu menyuruh perempuan harus ikhlas lantaran poligami adalah anjuran Allah, yang termaktub dalam kitab suci.

"Kalau menentang poligami atau menentang kehendak suami, itu berarti telah tidak patuh terhadap ketentuan Allah," kata penceramah tadi.

Saya yakin, Allah tidak suka dengan hamba-Nya yang menyakiti hati orang lain. Terlebih menyakiti hati perempuan yang tercipta dengan penuh kelembutan. Pertanyaannya kemudian, benarkah Allah menyukai hamba-Nya yang membungkus firman-Nya untuk mengelabui agar nafsu syahwat terpenuhi? Alasannya, agar tidak zina. Halah, bulshit!

Karena itu, mari kita kupas firman Allah dalam kitab suci yang paling banyak dibaca di dunia: Al-Quran dan Al-Kitab. Keduanya, seolah, memberi anjuran berpoligami atau cerita tokoh-tokoh terdahulu. Bahkan, para nabi pun melakukan poligami.

Allah dalam Surat Annisa ayat 3 berfirman: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Itulah ayat yang seringkali dipakai sebagai rujukan untuk poligami agar mendapat persetujuan.

Tak sampai di situ, masih di ayat dan surat yang sama, Allah memerintahkan kepada pelaku poligami agar bisa berbuat adil. Maksudnya, perlakuan yang proporsional; setara; dan rata; dalam meladeni istri. 

Lantas, Kementerian Agama RI, memberi catatan untuk dalil tadi, bahwa Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.

Bahwa sesungguhnya, sebelum ayat itu turun pun, tradisi poligami sudah ada. Pernah pula dilakukan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Kemudian ayat itu membatasi poligami (untuk Nabi Muhammad) sampai empat saja.

Namun, masih di Surat Annisa, pada ayat ke-128, difirmankan oleh Allah bahwa jika seorang istri yang dipoligami merasa takut kalau-kalau suaminya berlaku tidak adil, maka istri boleh melakukan perdamaian. 

Yang dimaksud perdamaian, barangkali adalah perundingan. Komitmen bersama agar suami dapat berlaku adil yang seadil-adilnya dalam memperlakukan istri-istrinya, kelak. Atau, melakukan dialog untuk menuntut hak-haknya. 

Nah, di ayat setelahnya, ke-129, menurut penafsiran saya, Allah seperti tidak percaya bahwa seorang hamba-Nya dapat berlaku adil jika melakukan poligami.

Singkatnya, secara tersirat, poligami sesungguhnya dilarang meski di awal seolah dianjurkan. Tapi toh, syarat dan ketentuan untuk berbuat adil itu, kata Allah, para pelaku poligami jelas tidak bisa melakukannya. Terlebih hanya berstatus sebagai manusia biasa, tanpa embel nabi dan rasul.

Lagipula, tidak mengimani salah satu dari ribuan ayat Al-Quran, tidak akan melunturkan keislaman seorang muslim, kok. Jadi, jika ada yang beranggapan bahwa poligami adalah anjuran Allah yang telah dicantumkan dalam kitab suci, sementara saya tidak mengimani itu; maka bukan berarti saya telah gugur sebagai muslim. 

Lebih lanjut, dalam Perjanjian Lama di Al-Kitab, tertuang anjuran untuk para raja agar harus memiliki istri satu. Atau, ada juga ayat yamg memerintahkan seorang raja (bisa juga ditafsirkan untuk semua kalangan), yang membolehkan berpoligami tapi hanya dibatasi dua saja. Jika lebih, maka dianggap sudah melanggar aturan Allah.

Di sana, terdapat pula banyak kisah yang bertutur tentang para imam dan nabi yang berpoligami. Daud, misalnya, yang memiliki banyak istri dan gundik. (Lihat 2 Samuel 15:16, 19:5, 20:3).

Pada mulanya, dia  (Daud) mempunyai sekurang-kurangnya dua istri, yakni Abigail dan Abinoam dari Yizreel, serta Mikhal yang diberikan Saul kepada Palti. (Lihat 1 Samuel 25: 42-44).

Apabila Saul terbunuh, Allah akan memberikan Daud segala yang dimiliki Saul, termasuk semua istrinya. (Lihat 2 Samuel 12:8). Dan, masih banyak kisah tentang poligami yang dilakukan orang terdahulu. Salomo dan Abraham, misalnya. 

Di Islam pun, sama. Nabi Muhammad juga melakukan poligami. Hal itulah, yang barangkali menjadi bahan rujukan atau dasar bagi sebagian laki-laki yang berkeinginan untuk poligami.

"Kalau poligami dianggap sunnah karena mengikuti jejak Nabi Muhammad, silakan baca lagi kisah perjalanan hidup beliau. Siapa yang pertama kali dinikahi? Janda kaya, yang usianya terpaut jauh. Sebelum Sayyidah Khadijah itu wafat, Rasulullah tidak pernah menikah lagi," kata seorang teman saya, yang tidak anti-poligami, tapi juga tidak mendukung praktik poligami yang disalahfungsikan.

Sependek pemikiran saya, Nabi Muhammad melakukan poligami juga karena beliau ingin menolong orang lain yang kesusahan. Bukan karena nafsu birahi, yang kemudian dibungkus dengan argumentasi keagamaan agar diperbolehkan. 

Intinya, menurut saya, yang hanya benar-benar mampu melakukan praktik poligami hanyalah para utusan Allah. Sedangkan kita, manusia biasa, sudah pasti tidak akan mampu. Allah pun menyangsikan kemampuan manusia biasa mampu berpoligami.

*****

Dikutip dari Portal NU Online, pada 20 April 2014, dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah, menyebutkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah melamar seorang putri dari Abu Jahal bin Hisyam. Lalu, Bani Hisyam bin Al-Mughirah meminta restu kepada Nabi Muhammad tentang hal itu.

Namun, Rasulullah SAW tidak memberikan restu kepada mereka. Maka, keluarlah beliau dalam keadaan marah sehingga orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah, beliau bersabda:

"Bani Hisyam bin Al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Tapi aku tidak mengizinkannya, kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku. Maka, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya. Sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya. Namun sesungguhnya, tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya."

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapa saja, mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa awal Islam. Selain itu juga karena posisi Abu Jahal dalam surat Al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.  

Bentangan sejarah itu, menunjukkan betapa poligami, sesungguhnya, dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung masalah dan berujung pada isu yang debatable, serta selalu menarik untuk diulas berulang kali.

Kalimat Rasulullah SAW, Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam membolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang.

Tidak hanya sekadar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam Al-Quran), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama. Jelas, Nabi sendiri tak suka. Bahkan, menolak saat anaknya ingin dipoligami Sayyidina Ali.

Sungguh, akal yang dikendalikan oleh nafsu hanya akan menurunkan derajat manusia. Bahkan, yang seperti itu tidak ada bedanya dengan binatang. Namun sebaliknya, nafsu yang dikendalikan oleh akal pasti akan membuat manusia di muka bumi menjadi mulia adanya.

Jadi, benarkah poligami diperbolehkan dalam Islam? Wallahua'lam...


Ditulis pada 17 Februari 2015 dan diperbarui pada 18 Juni 2019.

Cerita Santri Merampok Wakil Rakyat


Sumber gambar: tempo.co

Lantaran sudah lama tidak bestel (mendapat kiriman uang dari orang tua), Rohman, seorang santri dari salah satu pesantren tertua di Tanah Jawa mencari-cara agar kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi.

Sebab, tidak mungkin dia meminta kiai untuk membiayai hidupnya. Rohman tahu, kiai yang mengasuhnya selama bertahun-tahun itu hanya berpenghasilan dari sawah yang tak seberapa, jika musim panen tiba. 

Suatu malam, terbersit di benak Rohman untuk merampok salah seorang anggota DPRD yang dianggapnya ngeselin. Maksudnya, tidak pernah sama sekali turun ke rumah-rumah warga yang menjadi konstituennya ketika kampanye dulu. 

Keesokan harinya, sejak siang hari, Rohman menunggu anggota DPRD itu keluar dari kantor. Ditunggu-tunggu, tak kunjung keluar. Rohman hampir pasrah.

Namun, baru selangkah hendak pergi dari lokasi, dia melihat ada target operasi yang keluar dari kantor. Anggota DPRD itu rupanya tak menggunakan kendaraan pribadi. Rohman melihat, target operasinya itu seperti sedang menunggu jemputan.

Sebelum menghampiri, Rohman terlebih dulu menjadikan kain sarung yang dikenakannya itu untuk menutupi wajahnya, menjadi seperti ninja. Hanya sepasang mata saja yang terlihat.

Dengan cepat, Rohman menghampiri. Dia melingkarkan tangan kiri ke leher anggota DPRD itu dan mengarahkan pisau dapur yang dibawanya ke pipi sebelah kanan sang anggota dewan.

“Berikan uang Anda,” kata Rohman dengan suara menakutkan.

Anggota DPRD tersebut tidak terima. Dia marah. Lantas menjawab, “Kamu tidak bisa melakukan ini! Saya seorang anggota DPRD!”

“Memangnya saya takut kalau anda anggota DPRD?” jawab Rohman, bertanya dengan nada mengancam.

“Kamu tidak bisa merampok saya, karena saya orang terhormat. Saya wakil rakyatmu!” 

“Kalau begitu, berikan uang saya!” kata Rohman, menyerang balik, dan akhirnya berhasil mendapatkan uang.

Senin, 17 Juni 2019

Nabi Muhammad, Pemimpin Penyayang Umat



Sumber gambar: muslimvillage.com

Ka’b Ibn Zuhair penyair Arab kenamaan, adalah penyair dari keluarga penyair. Ayahnya, Zuhair; kakeknya, Abu Sulma; kedua bibinya Khansa dan Sulma; saudaranya, Bujair; kedua sepupunya Tamadhir dan Shakhr; keponakannya, ‘Uqbah Ibn Bujair; dan cucunya, ‘Awwam Ibn ‘Uqbah; kesemuanya adalah penyair terkenal di zaman Jahiliyah.

Ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan keesaan Tuhan dan dimusuhi oleh kaumnya yang bertuhan banyak, Ka’b adalah salah seorang di antara sekian banyak penyair yang gigih melawan Nabi dengan syair-syairnya. Rasulullah SAW dan kaum muslimin menjadi bulan-bulanan dari puisi-puisinya.

Pada saat kaum muslimin menaklukkan Mekkah pada tahun 8 Hijriyah, Ka’b termasuk salah satu musuh kaum muslimin yang melarikan diri. Sampai saudaranya, Bujair, menyarankan kepadanya agar ia menemui Rasulullah SAW. Bujair meyakinkannya bahwa siapa yang datang kepada Rasulullah dan mengaku salah, pasti akan diampuni.

Begitu Ka’b datang menghadap Rasulullah SAW, beberapa orang Ansor langsung berdiri ingin menghajarnya. Tapi seperti biasa, Rasulullah SAW dengan cepat mencegah mereka dan mendengarkan penyair itu menyatakan penyesalannya.

Melihat ketulusan Ka’b dalam penyesalan dan tobatnya, Rasulullah SAW pun mengampuni. Bahkan, ketika Ka’b membacakan puisinya berjudul Banaat Su’aad, Rasulullah SAW menghadiahinya burdah, semacam mantel atau jaket berbulu.

Sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW memang dikurniai sifat penyayang dan pemaaf. Tuhannya memang merahmatinya untuk menjadi demikian. 

Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman kepada utusannya itu: “Fabimaa rahmatin minallaahi linta lahum…” (Q. 3: 159)

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau kasar dan berhati kaku, tentulah mereka akan lari menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka tentang urusan (kalian). Kemudian bila kamu sudah membulatkan tekad, bertawakkal-lah kepada Allah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.”

Berapa banyak tokoh-tokoh kafir Mekkah yang sebelumnya begitu sengit memusuhi Rasulullah SAW, tapi ketika beliau bersama dengan kaum muslimin menaklukkan Mekkah, diampuni oleh Rasulullah SAW.

Dulu, waktu kejam-kejamnya orang Arab menyakiti Rasulullah SAW dan malaikat meminta beliau berdoa bagi kehancuran mereka, Rasulullah SAW malah berdoa penuh kasih sayang, “Ya Allah berilah kaumku petunjuk; mereka tidak mengerti.”

Secara lahiriah, seandainya sikap Rasulullah SAW tidak penyayang dan pemaaf, pastilah Abu Sufyan Ibn Harb pemimpin orang-orang kafir Mekkah; istrinya Hindun yang pernah mengunyah-ngunyah jantung sayyidina Hamzah; Khalid Ibn Walid; ‘Amr Ibn ‘Ash; ‘Ikrimah Ibn Abi Jahal; dan banyak lagi tokoh-tokoh kafir lainnya yang semula memusuhi Raasulullah, tidak akan menjadi muslim-muslim yang baik dan pahlawan-pahlawan Islam.

Dalam hadis-hadis sahih, banyak kita dapati kisah-kisah yang menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya; baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan kemasyarakatannya, sangat menonjol sifat-sifat kemanusiaannya. Beliau lemah-lembut kepada siapa saja, penyayang, pemaaf, dan murah hati kepada sesama. Beliau tidak menyukai kekasaran dan kekerasan.

Sebagai gambaran, pernah datang orang-orang Yahudi dan mengatakan Assaam ‘alaikum (Semoga kematian bagimu). Rasulullah SAW pun menjawab: Wa’alaikum, sementara Sayyidah ‘Aisyah, isteri beliau yang mendengar ucapan Yahudi itu menjawab, Alaikumus saam wal la’nah (Semoga kematian dan laknat bagi kamu).

Rasulullah SAW menegur isterinya, “Tenanglah, ‘Aisyah; jangan kasar begitu!” Istrinya masih menjawab, “Apa Rasulullah tidak mendengar ucapan mereka?”

Dengan lembut Rasulullah SAW lantas bersabda, “Aku mendengar, dan aku sudah membalasnya dengan mengatakan wa’alaikum (Dan juga kamu).”

Sumber: Facebook KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus

Kenapa Saya Harus Menamai Diri Elgete?




Kenapa harus menamai diri Elgete? Apa ada kaitannya sama LGBT?

Pertanyaan itu seringkali berdatangan dan sebenarnya sudah lama juga saya ingin membahasnya. Yakni perihal kemiripan nama (pena) dengan istilah bagi saudara-saudara saya yang berorientasi seksual homo; tidak hetero.

Elgete, seringkali menjadi bahan tertawaan teman-teman dan kerabat dekat. Bahkan, oleh orangtuaku sendiri. Jujur, saya sama sekali tidak mempermasalahkan guyonan-guyonan semacam itu yang dilakukan orang-orang terdekat.

Tapi, apa yang terjadi ketika ada orang lain yang baru pertama berkenalan dan mengetahui bahwa namaku ada kemiripan dengan istilah yang oleh sebagian orang dianggap menyimpang itu?

Ada yang spontan bertanya arti, juga tidak sedikit yang kaget dan canggung ketika pertama ngobrol. Bahkan, ada juga yang langsung menghindar sehari atau dua hari setelah berkenalan.

Karenanya, saya salut dengan media massa di Indonesia yang mampu menggiring opini masyarakat bahwa LGBT adalah hal yang hina dan menjijikkan. Padahal perzinaan kaum hetero juga tidak kalah menjijikkan dan bahkan mengenaskan. Tunggu dulu, saya tidak bermaksud membela LGBT hanya karena namaku ada kemiripan dengan itu.

Lalu bagaimana proses 'Elgete' itu tercipta, lahir, dan akhirnya berkembang menjadi nama kebanggaan? 

Sebab, menciptakan 'nama baru' yang akan menjadi konsumsi pendengaran publik, pasti menimbulkan banyak tanda tanya, melahirkan komentar ini-itu, dan rasa heran yang berlebihan.

Salah seorang yang berjasa dalam menciptakan 'nama baru' itu adalah Wahdaniah Puji Hartami atau saya memanggilnya Mbak Nia. Dia punya nama pena, Neya PH.

Dialah seorang teman diskusi, lawan debat, dan donatur tetap dalam hidupku. Anak sulung dari pasangan Wiani-Saryono yang menciptakan 'Elgete' menjadi sebuah nama yang akan terus berkembang seiring berkembangnya keadaan.

Jadi begini...

Liburan pondok pada 2011, saya pulang untuk berlibur dengan keluarga di rumah. Ketika itu, twitter menjadi platform media sosial kelas menengah ke atas yang sedang 'naik daun'.

Pengguna facebook berbondong memasuki era baru kehidupan media sosial di twitter. Pengguna twitter melejit. Mulai dari tokoh masyarakat, kiai, santri, mahasiswa, hingga Jonru pun mendapat berkah dari hasil membencinya melalui sosial media (fanpage dan twitter).

Neya PH gelisah atas ketiadaanku pada dunia maya. Kemudian dirinya membuatkanku akun twitter dengan nama yang sama sekali baru. Katanya, kalau di twitter itu jangan menggunakan username yang terlalu panjang, agar mudah diingat dan tidak sulit ditemukan. Atas inisiasinya, pertama kali akun twitterku dibuat dengan username yang cukup mudah: @Aruelget.

Singkat cerita, pada semester 2 tahun 2012 saya menjadi penyiar Radio Komunitas Buntet Pesantren 107,7 Best FM bersama Bang Ammar Elt-batawie. Saat itu, berulang kali saya memperkenalkan diri 'di udara' dengan sebutan Aruelget. Semua orang, terutama santri sudah mulai mengenal nama itu.

Namun suatu ketika, saya merasa ada yang kurang dan nama Aruelget itu seperti tidak enak didengar. Lalu, setelah sekitar tiga minggu menjadi penyiar, saya memutuskan untuk menambahkan huruf 'E' di belakangnya, dan nama tersebut menjadi dua kata: Aru Elgete.

Username di twitter pun saya ubah menjadi @AruElgete, hingga kini. Di twitter, saya hampir menjadi selebtwit yang suka bikin 'gaduh' di lingkaran pengikutku. Saya menjadi benteng perlawanan dari orang-orang penebar kebencian.

Hingga suatu ketika, akun twitterku difollow Menteri Agama RI, Kiai Haji Lukman Hakim Saifuddin, saat Halaqah Kebangsaan di Hotel Alia Cikini yang diadakan oleh Ma'arif Institut, karena mengkultwit ceramahnya dari awal sampai akhir, pada sekitar tahun 2015.

Follower pun berdatangan, haters juga menghampiri. Sejak punya akun twitter, saya sudah berhasil membuat @felixsiauw, @tifsembiring, @jonru, @MustofaNahra, @FahiraIdris, dan kawan-kawan memblokir akunku.

Sebab, begitulah sosial media. Bisa memilih untuk tidak melihat postingan atau cuitan yang tidak sesuai dengan hati dan pikiran kita. Pada akhirnya, kebencian hanya berkutat di lingkaran itu-itu saja, tanpa tercipta dialog dan diskusi yang memadai untuk menciptakan harmoni serta estetika dalam kehidupan di dunia maya.

***

Setelah cerita panjang lebar, kira-kira apa korelasi antara Elgete dan LGBT?

Begini...

Elgete adalah hasil ijtihad Neya PH agar saya menjadi lebih mudah diingat oleh orang lain. Menurutnya, Elgete berasal dari akar kata LGT yang berarti LeGo Triono. Tapi bukan LG(B)T. 

Elgete tercipta sudah jauh-jauh tahun sebelum adanya legalisasi pernikahan sejenis di Amerika dan kericuhan di twitter yang berawal dari SGRC UI, sebuah organisasi atau komunitas yang memberikan kesempatan bagi kaum LGBTIQ untuk berkonsultasi menyoal hidup dan karir di kehidupan sosial, pada sekitar tahun 2016.

Namun sayang, perbuatan mulia itu justru membuat netizen gelap mata dan keruh pikir yang menganggap bahwa UI melalui SGRC-nya adalah gerbang kemaksiatan, gerbang homoseksual.

Karena adanya kemiripan antara Elgete dengan LGBT itu, maka perlu saya tekankan bahwa saya Elgete bukan LG(B)T. Berjenis kelamin laki-laki, bergender maskulin (rada feminin, haha), dan berorientasi seksual hetero. Alhamdulillah, saya mensyukuri itu.

Namun dengan begitu, saya tidak antipati terhadap LGBT. Sebab, mereka adalah saudara kemanusiaan bagi saya. Saudara sebangsa dan setanah air, juga sama-sama tercipta sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi.

Menjadi LGBT bukan sebuah cita-cita, bukan sebuah keinginan, dan bahkan tujuan hidup. Maka, saya mempersilakan teman-teman LGBT untuk bersyukur atas keadaan yang tidak bisa diubah dengan segala daya dan upaya mereka sendiri sebagai manusia biasa.

Saya juga menolak teman-teman LGBT yang bertindak asusila, sama halnya teman-teman yang hetero yang perilakunya menyimpang dari norma susila. Sebab, musuhku bukan soal orientasi seksual, bukan karena gender dan jenis kelamin, tetapi mereka yang melakukan kejahatan; terutama kejahatan seksual.

Karena menjadi homo atau hetero, menjadi feminin atau maskulin, menjadi wanita atau lelaki bukanlah sebuah kejahatan, bukan juga sesuatu yang menjijikkan atau hina. Sebab yang menjijikkan dan hina adalah mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan; baik atas nama cinta, agama, maupun atas nama rakyat.

Karena ketiga hal itu adalah suci, menjadi sebuah kejahatan ketika ditumpangi oleh kepentingan, dan itu harus kita lawan!

Wallahua'lam...

Ditulis pada 21 Juli 2016/16 Syawal 1437 dan diperbarui pada 17 Juni 2019/13 Syawal 1440.

Minggu, 16 Juni 2019

Orang Madura Ngobrol dengan Bule Australia


Sumber gambar: kabariku.com

Sulaeman, seorang Madura, sedang mencoba peruntungan di Singapura. Namun, baru dapat sebulan bekerja di negeri orang, dia tetiba diserang sakit mendadak yang sangat parah. Mungkin karena masih harus melakukan adaptasi dengan iklim dan cuaca yang berbeda dari Indonesia.

Lantas, oleh atasannya yang seorang Melayu, Sulaeman dilarikan dan harus dirawat inap di Mount Elisabeth Memorial.

Apesnya, karena rumah sakit sangat penuh, dia ditempatkan sekamar bersama seorang Bule Australia. Kondisi keduanya sama-sama gawat dan hanya bisa terbaring lemas dengan selang infus masing-masing.

Lebih apes lagi, mereka berdua hanya berdiam diri seharian lantaran tak saling tahu bahasanya. Seketika waktu, si Bule melihat Sulaeman dalam jangka waktu yang lama, hingga Sulaeman menoleh ke arah Bule itu. Kemudian keduanya saling bertatapan.

"Australia," kata Bule kepada Sulaeman, sembari melempar senyum penuh hangat.

"Indonesia!" jawab Sulaeman dengan mantap.

Namun sekejap, mereka kembali diam. Suasana kembali hening beberapa saat.

Tak lama, Bule itu kembali angkat bicara. 

"Andrew, Canberra."

"Oh Sulaeman, Madura," jawab Sulaeman dengan gaya dan logat bicara yang khas.

Lalu, Andrew menyebutkan penyakit yang dideritanya seraya berharap lawan bicaranya itu juga memberitahu penyakit apa yang sedang didera.

"Cancer!" kata Andrew singkat dan tegas.

Dijawab oleh Sulaeman, "Oh, Gemini."

Sabtu, 15 Juni 2019

Sakinah, Mawaddah, atau Rahmah yang Harus Disemogakan?


Sumber: dream.co


Masih di bulan Syawal, bulan yang diyakini oleh sebagian orang sebagai pembuktian diri atas perubahan atau peningkatan ibadah (atau minimal stabil) pasca-Ramadhan.

Selain itu, selain sebagai bulan peningkatan amal dan ibadah, Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa di bulan ini adalah baik untuk melaksanakan pernikahan.

Hal tersebut dilakukan Rasulullah sebagai perlawanan atas anggapan miring dari masyarakat Arab Jahiliyah tempo dulu yang menyatakan bahwa Syawal merupakan bulan sial untuk melakukan pernikahan. 

Sebab, ada pendapat yang menyatakan, Syawal berasal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها]: unta betina yang menaikkan ekornya.

Saban Syawal tiba, kebiasaan unta betina di Arab adalah menaikkan ekornya saat didatangi unta pejantan. Perilaku itu menjadi penanda kalau unta betina menolak untuk dikawini.

Berangkat dari situ, masyarakat Arab Jahiliyah beranggapan kalau Syawal adalah bulan sial untuk melaksanakan ibadah pernikahan. Sementara Rasulullah membantah itu dengan menikahi Sayyidah Aisyah di bulan Syawal.

Oleh sebab menikah di bulan Syawal dilakukan Nabi, maka bagi umatnya yang juga melaksanakan pernikahan di bulan ini, insyaallah akan mendapatkan pahala sunnah karena mengikuti perbuatan beliau.

Nah, di dalam Al-Quran, terdapat ayat yang sangat populer mengenai pernikahan, yakni surat Ar-Rum ayat 21. Di situ, masyarakat beranggapan bahwa sakinahmawaddah, dan rahmah adalah satu kesatuan yang mesti disemogakan.

Bahkan ketiganya disingkat menjadi SAMAWA, padahal "WA" disitu hanyalah penyambung yang tidak mengandung arti atau kepanjangan dari Rahmah. Kalau mau disingkat, semestinya menjadi SAMARA, bukan SAMAWA.

Atas pemahaman seperti itu, apakah selama ini masyarakat sudah salah? Tentu tidak.

Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan perspektif yang berbeda, dan semoga bisa diterima sebagai bantahan atas ucapan SAMAWA yang menyamakan kedudukan sakinahmawaddah, dan rahmah, yang selalu saja disemogakan ketiga-tiganya.

Berikut ayatnya:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Sakinah disitu dimaktubkan dalam kalimat لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا yang berarti tidak serta merta atau secara otomatis terdapat di dalam diri, (karena disitu disebutkan litaskunuu ilaihaa bukan litaskunuu fiihaa).

Nah, agar kemudian seorang pasangan menjadi sakinah (berperasaan nyaman, tenteram, dan rukun), diperlukan proses perjalanan yang selama perjalanan, tentu tidak selamanya sakinah.

Artinya; keadaan tenteram, nyaman, atau rukun itu bersifat dinamis. Maka, sakinah itu sesungguhnya adalah tujuan. Sedangkan untuk mencapai tujuan itu, Allah menjadikan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) diantara kedua pasang manusia sebagai alat menuju sakinah.

Kemudian, mawaddah. Apa itu? Yakni sebuah perasaan yang memiliki kecenderungan ingin selalu bersama, sementara rahmah merupakan perasaan kasih sayang dan kelembutan yang timbul terutama karena ada ikatan.

Contoh misalnya: ikatan darah seperti ibu dengan anak, dan sebaliknya. Ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

Sepasang suami-istri dapat hidup bersama selama berpuluh tahun, karena terdapat rasa cinta dan kasih sayang yang sudah Allah titipkan diantara keduanya, untuk dikelola dengan baik. Sehingga dapat tercipta perasaan yang sakinah atau tenteram, nyaman, dan rukun.

Cinta dan kasih sayang dari Allah itu dinamis. Terkadang menggebu, tetapi juga seringkali justru tak menentu. Tergantung bagaimana pasangan tersebut mengelolanya. Karena itu, yang harus disemogakan sesungguhnya adalah sakinah bukan mawaddah atau rahmah.

Kalimat مَوَدَّةً وَرَحْمَةً merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sementara litaskunuu berada di tempat yang berbeda.

Seorang ibu, misalnya, tidak mungkin akan kuat menghadapi kenakalan anaknya kalau Allah tidak memberikan perasaan mawaddah dan rahmah kepada dirinya. Maka ada ungkapan, "Sebrengsek-brengseknya anak saya, dia tetap seorang anak, tetap darah daging saya."

Anda ingat bagaimana kisah Alqamah?

Karena itulah kemudian saya berasumsi, ketika mawaddah dan rahmah itu menjadi dua hal yang harus disemogakan, berarti sama saja kita tidak percaya bahwa keduanya adalah sesuatu yang Allah titipkan ke dalam diri dengan cuma-cuma.

Artinya, kita justru meragukan tanda-tanda Allah yang salah satunya adalah memberikan cinta (rahmah) dan kasih sayang (mawaddah) secara bersamaan sebagai alat menuju ketenteraman (sakinah).

Jadi, kalimatnya bukan semoga menjadi keluarga yang SAMAWA (Sakinah, Mawaddah, Warrahmah). Kini, harus diubah menjadi, "Dengan mawaddah dan rahmah, semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah." Atau, "Semoga dengan mawaddah dan rahmah, keluarga kalian menjadi sakinah."

Sekali lagi, menurut saya, bukan mawaddah dan rahmah yang harus disemogakan, karena keduanya adalah alat untuk mencapai tujuan: sakinah.

Silakan kelola dengan baik mawaddah dan rahmah yang sudah Allah berikan untukmu, dan semoga dirimu dengan pasanganmu itu menjadi Sakinah!


Wallahua'lam...


Bekasi, 22 Juli 2016/17 Syawal 1437 diperbarui pada 15 Juni 2019/11 Syawal 1440