Selasa, 18 Juni 2019

Benarkah Poligami Diperbolehkan dalam Islam?


Sumber gambar: jawapos.com

Poligami memang merupakan hal yang sangat diinginkan bagi sebagian kaum adam. Terlebih, lantaran Al-Quran (seolah) memberikan anjuran untuk berpoligami. Dengan kata lain, poligami dianggap diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Kini, sedang ramai diperbincangkan Kelas Poligami Nasional yang diadakan oleh Forum Poligami Indonesia. Kelas tersebut diselenggarakan dua kali. Di Jakarta, pada 6 Juli mendatang. Kemudian di Surabaya, pada 3 Agustus 2019.

Komentar dari Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, Mas Ulil Abshar Abdalla di twitter, cukup menarik. Sehingga memantik saya untuk membahas soal poligami ini.

"Kelas poligami seperti ini perlu dilarang. Menimbulkan kesan seolah-olah Islam menganjurkan poligami. Selain itu, kelas (ini) seperti menyakiti perempuan secara publik. Saya usul, Kementerian Agama buat aturan untuk melarang acara promosi poligami secara terbuka seperti ini," demikian kicauan Mas Ulil, di twitter, pada Senin, 17 Juni 2019.





Dus, meski saya belum pernah menikah, apalagi poligami, saya jadi tertarik untuk mengulas tentang poligami ini. Benarkah, poligami diperbolehkan dalam Islam? Sungguh, bagi saya, sampai kapan pun, poligami akan menjadi isu yang debatable. Tapi, begitulah kira-kira pemikiran manusia. 

Saya kok justru merasa bahwa terdapat hal yang keliru dalam sudut pandang mengenai keterbolehannya poligami dalam Islam. Lebih menarik, saya pernah mendengar seorang khutoba (penceramah) mengatakan, "Seorang perempuan atau istri jika ingin mendapatkan tempat paling indah di surga, maka harus bisa merelakan suaminya untuk berpoligami."

Kemudian, sang ustadz itu merincikan argumentasinya dengan dalil-dalil yang tak bisa dipatahkan oleh orang-orang awam di akar rumput, termasuk, barangkali, saya.

Saya juga pernah menemukan sebuah postingan yang beredar di media sosial, yang menuliskan bahwa, "Seorang istri harus bisa mencegah suaminya dari bahaya zina. Salah satunya adalah dengan memberikan izin sang suami untuk melakukan poligami."

Omaicrooot...

Kenapa selalu perempuan yang dikambinghitamkan? Kenapa selalu menempatkan perempuan sebagai objek, bukan subjek yang berperan, misalnya agar bagaimana pasangannya itu tidak selingkuh dan berpoligami. Atau, kenapa tidak kita menitikberatkan pada suami yang harus setia pada satu istri? 

Barangkali, dugaan saya, suami-suami yang ngebet untuk menikah lagi atau berpoligami itu adalah laki-laki yang memang hanya berlandaskan nafsu. Kemudian nafsu itu dibalut dengan landasan-landasan agama. Kelar hidup lo!

Poligami, sekuat apa pun argumentasi yang dikeluarkan, pasti akan melukai hati sang istri. Tidak mungkin, tidak. Lagi-lagi, sebagian besar orang yang mengatasnamakan dalil agama untuk poligami itu menyuruh perempuan harus ikhlas lantaran poligami adalah anjuran Allah, yang termaktub dalam kitab suci.

"Kalau menentang poligami atau menentang kehendak suami, itu berarti telah tidak patuh terhadap ketentuan Allah," kata penceramah tadi.

Saya yakin, Allah tidak suka dengan hamba-Nya yang menyakiti hati orang lain. Terlebih menyakiti hati perempuan yang tercipta dengan penuh kelembutan. Pertanyaannya kemudian, benarkah Allah menyukai hamba-Nya yang membungkus firman-Nya untuk mengelabui agar nafsu syahwat terpenuhi? Alasannya, agar tidak zina. Halah, bulshit!

Karena itu, mari kita kupas firman Allah dalam kitab suci yang paling banyak dibaca di dunia: Al-Quran dan Al-Kitab. Keduanya, seolah, memberi anjuran berpoligami atau cerita tokoh-tokoh terdahulu. Bahkan, para nabi pun melakukan poligami.

Allah dalam Surat Annisa ayat 3 berfirman: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Itulah ayat yang seringkali dipakai sebagai rujukan untuk poligami agar mendapat persetujuan.

Tak sampai di situ, masih di ayat dan surat yang sama, Allah memerintahkan kepada pelaku poligami agar bisa berbuat adil. Maksudnya, perlakuan yang proporsional; setara; dan rata; dalam meladeni istri. 

Lantas, Kementerian Agama RI, memberi catatan untuk dalil tadi, bahwa Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.

Bahwa sesungguhnya, sebelum ayat itu turun pun, tradisi poligami sudah ada. Pernah pula dilakukan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Kemudian ayat itu membatasi poligami (untuk Nabi Muhammad) sampai empat saja.

Namun, masih di Surat Annisa, pada ayat ke-128, difirmankan oleh Allah bahwa jika seorang istri yang dipoligami merasa takut kalau-kalau suaminya berlaku tidak adil, maka istri boleh melakukan perdamaian. 

Yang dimaksud perdamaian, barangkali adalah perundingan. Komitmen bersama agar suami dapat berlaku adil yang seadil-adilnya dalam memperlakukan istri-istrinya, kelak. Atau, melakukan dialog untuk menuntut hak-haknya. 

Nah, di ayat setelahnya, ke-129, menurut penafsiran saya, Allah seperti tidak percaya bahwa seorang hamba-Nya dapat berlaku adil jika melakukan poligami.

Singkatnya, secara tersirat, poligami sesungguhnya dilarang meski di awal seolah dianjurkan. Tapi toh, syarat dan ketentuan untuk berbuat adil itu, kata Allah, para pelaku poligami jelas tidak bisa melakukannya. Terlebih hanya berstatus sebagai manusia biasa, tanpa embel nabi dan rasul.

Lagipula, tidak mengimani salah satu dari ribuan ayat Al-Quran, tidak akan melunturkan keislaman seorang muslim, kok. Jadi, jika ada yang beranggapan bahwa poligami adalah anjuran Allah yang telah dicantumkan dalam kitab suci, sementara saya tidak mengimani itu; maka bukan berarti saya telah gugur sebagai muslim. 

Lebih lanjut, dalam Perjanjian Lama di Al-Kitab, tertuang anjuran untuk para raja agar harus memiliki istri satu. Atau, ada juga ayat yamg memerintahkan seorang raja (bisa juga ditafsirkan untuk semua kalangan), yang membolehkan berpoligami tapi hanya dibatasi dua saja. Jika lebih, maka dianggap sudah melanggar aturan Allah.

Di sana, terdapat pula banyak kisah yang bertutur tentang para imam dan nabi yang berpoligami. Daud, misalnya, yang memiliki banyak istri dan gundik. (Lihat 2 Samuel 15:16, 19:5, 20:3).

Pada mulanya, dia  (Daud) mempunyai sekurang-kurangnya dua istri, yakni Abigail dan Abinoam dari Yizreel, serta Mikhal yang diberikan Saul kepada Palti. (Lihat 1 Samuel 25: 42-44).

Apabila Saul terbunuh, Allah akan memberikan Daud segala yang dimiliki Saul, termasuk semua istrinya. (Lihat 2 Samuel 12:8). Dan, masih banyak kisah tentang poligami yang dilakukan orang terdahulu. Salomo dan Abraham, misalnya. 

Di Islam pun, sama. Nabi Muhammad juga melakukan poligami. Hal itulah, yang barangkali menjadi bahan rujukan atau dasar bagi sebagian laki-laki yang berkeinginan untuk poligami.

"Kalau poligami dianggap sunnah karena mengikuti jejak Nabi Muhammad, silakan baca lagi kisah perjalanan hidup beliau. Siapa yang pertama kali dinikahi? Janda kaya, yang usianya terpaut jauh. Sebelum Sayyidah Khadijah itu wafat, Rasulullah tidak pernah menikah lagi," kata seorang teman saya, yang tidak anti-poligami, tapi juga tidak mendukung praktik poligami yang disalahfungsikan.

Sependek pemikiran saya, Nabi Muhammad melakukan poligami juga karena beliau ingin menolong orang lain yang kesusahan. Bukan karena nafsu birahi, yang kemudian dibungkus dengan argumentasi keagamaan agar diperbolehkan. 

Intinya, menurut saya, yang hanya benar-benar mampu melakukan praktik poligami hanyalah para utusan Allah. Sedangkan kita, manusia biasa, sudah pasti tidak akan mampu. Allah pun menyangsikan kemampuan manusia biasa mampu berpoligami.

*****

Dikutip dari Portal NU Online, pada 20 April 2014, dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah, menyebutkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah melamar seorang putri dari Abu Jahal bin Hisyam. Lalu, Bani Hisyam bin Al-Mughirah meminta restu kepada Nabi Muhammad tentang hal itu.

Namun, Rasulullah SAW tidak memberikan restu kepada mereka. Maka, keluarlah beliau dalam keadaan marah sehingga orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah, beliau bersabda:

"Bani Hisyam bin Al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Tapi aku tidak mengizinkannya, kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku. Maka, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya. Sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya. Namun sesungguhnya, tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya."

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapa saja, mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa awal Islam. Selain itu juga karena posisi Abu Jahal dalam surat Al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.  

Bentangan sejarah itu, menunjukkan betapa poligami, sesungguhnya, dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung masalah dan berujung pada isu yang debatable, serta selalu menarik untuk diulas berulang kali.

Kalimat Rasulullah SAW, Sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam membolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang.

Tidak hanya sekadar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam Al-Quran), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama. Jelas, Nabi sendiri tak suka. Bahkan, menolak saat anaknya ingin dipoligami Sayyidina Ali.

Sungguh, akal yang dikendalikan oleh nafsu hanya akan menurunkan derajat manusia. Bahkan, yang seperti itu tidak ada bedanya dengan binatang. Namun sebaliknya, nafsu yang dikendalikan oleh akal pasti akan membuat manusia di muka bumi menjadi mulia adanya.

Jadi, benarkah poligami diperbolehkan dalam Islam? Wallahua'lam...


Ditulis pada 17 Februari 2015 dan diperbarui pada 18 Juni 2019.
Previous Post
Next Post

0 komentar: