Sabtu, 15 Juni 2019

Sakinah, Mawaddah, atau Rahmah yang Harus Disemogakan?


Sumber: dream.co


Masih di bulan Syawal, bulan yang diyakini oleh sebagian orang sebagai pembuktian diri atas perubahan atau peningkatan ibadah (atau minimal stabil) pasca-Ramadhan.

Selain itu, selain sebagai bulan peningkatan amal dan ibadah, Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa di bulan ini adalah baik untuk melaksanakan pernikahan.

Hal tersebut dilakukan Rasulullah sebagai perlawanan atas anggapan miring dari masyarakat Arab Jahiliyah tempo dulu yang menyatakan bahwa Syawal merupakan bulan sial untuk melakukan pernikahan. 

Sebab, ada pendapat yang menyatakan, Syawal berasal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها]: unta betina yang menaikkan ekornya.

Saban Syawal tiba, kebiasaan unta betina di Arab adalah menaikkan ekornya saat didatangi unta pejantan. Perilaku itu menjadi penanda kalau unta betina menolak untuk dikawini.

Berangkat dari situ, masyarakat Arab Jahiliyah beranggapan kalau Syawal adalah bulan sial untuk melaksanakan ibadah pernikahan. Sementara Rasulullah membantah itu dengan menikahi Sayyidah Aisyah di bulan Syawal.

Oleh sebab menikah di bulan Syawal dilakukan Nabi, maka bagi umatnya yang juga melaksanakan pernikahan di bulan ini, insyaallah akan mendapatkan pahala sunnah karena mengikuti perbuatan beliau.

Nah, di dalam Al-Quran, terdapat ayat yang sangat populer mengenai pernikahan, yakni surat Ar-Rum ayat 21. Di situ, masyarakat beranggapan bahwa sakinahmawaddah, dan rahmah adalah satu kesatuan yang mesti disemogakan.

Bahkan ketiganya disingkat menjadi SAMAWA, padahal "WA" disitu hanyalah penyambung yang tidak mengandung arti atau kepanjangan dari Rahmah. Kalau mau disingkat, semestinya menjadi SAMARA, bukan SAMAWA.

Atas pemahaman seperti itu, apakah selama ini masyarakat sudah salah? Tentu tidak.

Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan perspektif yang berbeda, dan semoga bisa diterima sebagai bantahan atas ucapan SAMAWA yang menyamakan kedudukan sakinahmawaddah, dan rahmah, yang selalu saja disemogakan ketiga-tiganya.

Berikut ayatnya:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Sakinah disitu dimaktubkan dalam kalimat لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا yang berarti tidak serta merta atau secara otomatis terdapat di dalam diri, (karena disitu disebutkan litaskunuu ilaihaa bukan litaskunuu fiihaa).

Nah, agar kemudian seorang pasangan menjadi sakinah (berperasaan nyaman, tenteram, dan rukun), diperlukan proses perjalanan yang selama perjalanan, tentu tidak selamanya sakinah.

Artinya; keadaan tenteram, nyaman, atau rukun itu bersifat dinamis. Maka, sakinah itu sesungguhnya adalah tujuan. Sedangkan untuk mencapai tujuan itu, Allah menjadikan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) diantara kedua pasang manusia sebagai alat menuju sakinah.

Kemudian, mawaddah. Apa itu? Yakni sebuah perasaan yang memiliki kecenderungan ingin selalu bersama, sementara rahmah merupakan perasaan kasih sayang dan kelembutan yang timbul terutama karena ada ikatan.

Contoh misalnya: ikatan darah seperti ibu dengan anak, dan sebaliknya. Ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

Sepasang suami-istri dapat hidup bersama selama berpuluh tahun, karena terdapat rasa cinta dan kasih sayang yang sudah Allah titipkan diantara keduanya, untuk dikelola dengan baik. Sehingga dapat tercipta perasaan yang sakinah atau tenteram, nyaman, dan rukun.

Cinta dan kasih sayang dari Allah itu dinamis. Terkadang menggebu, tetapi juga seringkali justru tak menentu. Tergantung bagaimana pasangan tersebut mengelolanya. Karena itu, yang harus disemogakan sesungguhnya adalah sakinah bukan mawaddah atau rahmah.

Kalimat مَوَدَّةً وَرَحْمَةً merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sementara litaskunuu berada di tempat yang berbeda.

Seorang ibu, misalnya, tidak mungkin akan kuat menghadapi kenakalan anaknya kalau Allah tidak memberikan perasaan mawaddah dan rahmah kepada dirinya. Maka ada ungkapan, "Sebrengsek-brengseknya anak saya, dia tetap seorang anak, tetap darah daging saya."

Anda ingat bagaimana kisah Alqamah?

Karena itulah kemudian saya berasumsi, ketika mawaddah dan rahmah itu menjadi dua hal yang harus disemogakan, berarti sama saja kita tidak percaya bahwa keduanya adalah sesuatu yang Allah titipkan ke dalam diri dengan cuma-cuma.

Artinya, kita justru meragukan tanda-tanda Allah yang salah satunya adalah memberikan cinta (rahmah) dan kasih sayang (mawaddah) secara bersamaan sebagai alat menuju ketenteraman (sakinah).

Jadi, kalimatnya bukan semoga menjadi keluarga yang SAMAWA (Sakinah, Mawaddah, Warrahmah). Kini, harus diubah menjadi, "Dengan mawaddah dan rahmah, semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah." Atau, "Semoga dengan mawaddah dan rahmah, keluarga kalian menjadi sakinah."

Sekali lagi, menurut saya, bukan mawaddah dan rahmah yang harus disemogakan, karena keduanya adalah alat untuk mencapai tujuan: sakinah.

Silakan kelola dengan baik mawaddah dan rahmah yang sudah Allah berikan untukmu, dan semoga dirimu dengan pasanganmu itu menjadi Sakinah!


Wallahua'lam...


Bekasi, 22 Juli 2016/17 Syawal 1437 diperbarui pada 15 Juni 2019/11 Syawal 1440
Previous Post
Next Post

0 komentar: