Sabtu, 29 Juni 2019

Ngobrol dengan Pak Prabowo di Rumahnya


Jokowi, Prabowo, Ahok

Tak lama setelah Pak Prabowo menyampaikan pernyataan melalui konferensi pers usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan final, malam itu juga saya langsung bergegas untuk bersilaturahmi ke kediamannya di Jalan Kartanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Walau putusan MK tentu saja mengecewakan, tetapi saya tetap memuji Pak Prabowo sebagai ksatria sejati. Dia adalah sosok yang mampu menjadi suri teladan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Saya bahagia sekali, saat mata kami saling bertatap, Pak Prabowo langsung menyuruh saya beserta rombongan untuk masuk ke dalam rumah. Ada banyak buku-buku yang terpampang di lemari yang tidak akan muat jika ditaruh di kamar saya. 

Pak Prabowo adalah pribadi yang hangat. Dia mampu memecahkan suasana. Bahkan, sanggup menutupi kesedihannya dengan sesekali tertawa lepas. Di luar sana, sosok yang satu ini seringkali dicap sebagai seorang yang bengis, pembunuh, otoriter, dan kejam. Padahal sesungguhnya, tidak demikian. 

Saat kami mulai dipersilakan duduk di sofa ruang tamu yang sangat empuk, saya memulai pembicaraan. Mulanya, saya buka dengan mengaku bahwa saya adalah pendukung setia Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. 

"Pak, sudahlah. Yang lalu biar berlalu. Bapak masih punya banyak impian untuk kemudian diterjemahkan melalui gerak para kader di bawah," demikian saya berceloteh. 

Kemudian Pak Prabowo menimpali, "Saya juga tidak masalah, kok. Saya bahagia karena tidak terpilih lagi sebagai presiden. Sebab jika saya terpilih, belum tentu juga saya mampu memimpin negara besar yang kaya-raya ini."

"Amanah menjadi orang nomor satu di negeri ini sangat luar biasa. Saat ini sudah waktunya saya beristirahat, menikmati hari tua dengan segelas teh atau kopi sembari membaca buku-buku kesukaan saya," kata Pak Prabowo melanjutkan. 

Obrolan pun berlanjut, mengalir, dengan sangat hangat dan penuh keakraban. Tak ketinggalan, di tengah-tengah obrolan kami yang sedang seru, Pak Prabowo memperkenalkan kami dengan kucing kesayangannya yang berbulu lembut dan lebat, seraya mengelus-elus dengan penuh kasih sayang.

Dalam hati saya bergumam, "Pak Prabowo ini penyayang sekali rupanya. Dengan kucing saja sebegitu sayangnya. Apalagi dengan rakyat Indonesia."

Saat sedang asyik melamun, Pak Prabowo mengagetkan saya dengan sebuah pertanyaan, "Selama masa kampanye, apa yang kamu dapat dari pendukung 01? Kamu kan penyusup, hehehe." 

Pertanyaan itu membuat saya kaget setengah mati. Rupanya Pak Prabowo tahu bahwa selama ini, saya berpura-pura menjadi pendukung 01 untuk kemudian membocorkan hal-hal yang janggal kepada tim pemenangan Prabowo-Sandi. 

"Saya tidak melihat dan mendapat apa-apa kecuali ketulusan, sama seperti bapak dan para pendukung Prabowo-Sandi yang rela turun demi Indonesia," kata saya, menjawab apa adanya. 

Tak hanya itu, saya juga mengatakan banyak hal yang telah saya lihat selama berpura menjadi pendukung 01. Tetapi respon Pak Prabowo hanya tersenyum dengan sangat lebar dan manggut-manggut tanda mengerti. 

Selama obrolan kami itu, saya tidak mendengar sepatah kata pun keluar dari lisan Pak Prabowo menyebut Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Yakni Bapak Haji Joko Widodo dan Bapak Kiai Haji Ma'ruf Amin. 

Entahlah, mungkin Pak Prabowo masih menyimpan kekecewaan dan sakit hati mendalam. Saya mengerti itu. Maka, sejak awal bertemu tadi, saya tidak pernah menyinggung soal kemenangan paslon 01 yang secara otomatis pasca-putusan MK yang menolak seluruh permohonan Tim Pemenangan Prabowo-Sandi. 

Saya tidak berani menyentuh pembicaraan ke arah itu. Biarlah mengalir saja. Apa adanya. Sebab, kedatangan saya dan teman-teman ke rumah Pak Prabowo tak lain hanyalah untuk menghiburnya. Tak lebih. 

"Saya tidak akan memberikan ucapan selamat kepada Jokowi selama di dalam dada rasa sakit hati ini masih sangat terasa," kata Pak Prabowo dengan suara serak-serak basah ciri khasnya. 

"Lho kenapa, Pak?"

"Presiden kamu itu pernah menjadi anak didik saya. Tapi prestasinya saat ini sudah melebihi kemampuan yang saya punya. Saya tidak bisa terima. Dia saya didik untuk mengangkat elektabilitas saya di 2014 agar bisa jadi presiden. Tapi ternyata yang terjadi bukan begitu. Dia malah jadi presiden dan sekarang menang lagi. Saya kecewa sekali," tutur Pak Prabowo. 

Mendengar penuturan tersebut, hati saya serasa terbakar tapi tidak bisa berkata apa-apa. Mulut seperti terkunci rapat. Saya hanya melihat ketulusan dari wajah Pak Prabowo yang mulai keriput dimakan usia. Wajah lelah seorang ksatria itu sudah semestinya beristirahat, tetapi dia lebih memilih untuk bekerja dan mengabdi pada Indonesia.

Saya memahami bagaimana kondisi atau gejolak batin Pak Prabowo. Dia telah dikecewakan oleh Pak Jokowi. Tentu itu sangat menyakitkan. Tetapi itulah kenyataannya. 

Jujur, saya juga tidak bisa menerima sosok idola yang selama ini saya agungkan, merasa tersakiti oleh anak didiknya sendiri.

"Kurang ajar betul Pak Jokowi telah melawan gurunya sendiri," batinku. 

Pak Prabowo kemudian menyambung penuturannya yang tadi, "Tapi anak didik saya bukan hanya Jokowi. Saat itu, di Pilgub DKI, saya masih ingat sekali, dia saya pasangkan dengan anak didik saya yang paling giat bekerja. Yaitu Basuki Tjahaja Purnama, Ahok."

Saya manggut-manggut saja, tanpa membalas dengan kata-kata sedikit pun. 

"Ahok itu anak didik saya. Tapi dia juga kurang ajar. Berani menentang dan melawan saya, bahkan berani keluar dari partai. Sok mempertahankan idealisme. Akhirnya masuk pesantren kan dia gara-gara mulutnya tidak bisa dijaga," kata Pak Prabowo melanjutkan ungkapan sebelumnya. Sementara saya masih diam, serius mendengarkannya. 

"Ahok sekarang sudah lebih baik. Mulutnya sudah tidak sembarangan bicara. Saya mengikutinya di youtube. Dia sekarang jadi vlogger," kata Pak Prabowo yang kemudian dilanjutkan dengan tawa pecah. Kami pun ikut tertawa sejadi-jadinya. 

"Hari ini, Ahok ulang tahun. Tanggal 29 Juni," kata Pak Prabowo.

"Lho bapak masih ingat?"

"Bapak, bapak. Ini abang lu, Ru, Nisfu! Bangun buruan. Ngigonya parah lu. Hahahahahaa."

"Lah Pak Prabowo mana?"

"Di Den Haag kayaknya, lagi ke Mahkamah Internasional."

"Ya Allaaaaaaah. Jadi daritadi gue ngobrol sama elu, Mas? Bukan sama Pak Prabowo?"

"Bukan! Hahahahaa. Ayo kita ucapin ulang tahun buat Ahok. Eh BTP sekarang. Pemimpin Jakarta yang paling jujur dan bersih."

"Duh, ya Allaaaaah."
Previous Post
Next Post

1 komentar:

  1. impian yang dalam..untuk menghibur sebuah kekecewaan atau yang sedang kecewa.manusiawi memang..begitulah dinamika politik..

    BalasHapus