Kamis, 06 Juni 2019

Presiden Soekarno dan Halal Bihalal di Istana Negara


Bung Karno bersama rakyat
Orang-orang saling menyambangi satu sama lain, menyalami setiap orang dengan sukacita seraya membubuhinya dengan senyum penuh cinta kasih. 

Anak-anak muda mencium punggung tangan orang tua, sebagai tanda takzim (penghormatan) dan takrim (pemuliaan) atas berbagai jasa yang telah diberikan. Demikian potret Idulfitri.

Idulfitri menjadi pemersatu dari jiwa yang berpencar dan raga yang terpisah oleh jarak. Sehingga hari raya pasca-Ramadan itu dijadikannya sebagai ajang untuk merayakan kebersamaan. Dosa-dosa menjadi lebur, kebermanfaatan umur diperpanjang, dan rezeki dilapangkan. 

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturahmi).” (HR. Bukhori)

Saban Idulfitri, untuk menjalankan silaturahmi, masyarakat Indonesia tentu sangat akrab dengan istilah halal bihalal. Istilah itu lahir bukan tanpa sebab. Melainkan karena kebutuhan untuk menciptakan nilai persatuan antarsesama bangsa Indonesia.

Istilah halal bihalal, sekalipun berbahasa Arab, tapi orang Arab sendiri pun tidak paham makna dan tujuannya. Penyebutan halal bihalal diasosiasikan kepada sebuah pertemuan yang bertujuan merajut silaturahim. 

Maka, jangan mengartikan halal bihalal secara bahasa karena akan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud dari halal bi halal itu sendiri.

Lafaz "halal" berasal dari bahasa Arab yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, yaitu lawan kata dari "haram". Halal berarti boleh atau tidak dilarang. Sementara kata "bi" adalah huruf jar yang berarti "dengan". Oleh karenanya, secara bahasa, halal bi halal diartikan "boleh dengan boleh".

Atas dasar pemaknaan itulah, maka halal bihalal harus dimaknai dari segi sosio-kultural yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni sebuah tradisi saling memaafkan satu dengan yang lainnya, yang kemudian dibumbui dengan saling berjabat tangan dan melempar senyum kebahagiaan. 

Muasal halal bihalal di Indonesia

Pasca-kemerdekaan, Indonesia mengalami gejala disintegrasi bangsa pada 1948. Elit-elit politik saling bertengkar, tak pernah mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, seperti DI/TII dan PKI di Madiun. 

Pertengahan Ramadan 1948, Presiden Soekarno (selanjutnya, Bung Karno) berkonsultasi kepada KH Abdul Wahab Hasbullah terkait situasi politik yang sedang memanas dan tidak sehat. Bung Karno memanggil Kiai Wahab ke Istana Negara. 

Kemudian, Kiai Wahab menyarankan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan silaturahmi karena sebentar lagi Idulfitri, yakni sebuah momentum umat Islam disunnahkan bersilaturahmi.

Dengan segera, Bung Karno menjawab, "Sulaturahmi sudah biasa, saya ingin istilah yang lain."

"Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tak punya dosa, maka harus dihalalkan," kata Kiai Wahab. 

"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halal bihalal saja," lanjutnya. 

Dari saran itu, saat tiba Idulfitri, Bung Karno kemudian mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim akbar yang diberi judul halal bihalal.

Akhirnya, para elit politik yang semula bercerai-berai, kini duduk dalam satu meja sebagai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. 

Maka sejak saat itu, semua instansi pemerintahan menyelenggarakan halal bihalal yang selanjutnya diikuti pula oleh masyarakat secara luas. Terutama umat Islam di Jawa sebagai pengikut para ulama. 

Jadi, Bung Karno lewat instansi pemerintah, sedangkan Kiai Wahab menggerakkan warga di akar rumput. 

Maka secara nyata, istilah halal bihalal dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dengan dua analisa. Pertama, thalabu halal bi thariqin halal. Yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Kedua, halal yujza'u bi halal; pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. 

Namun demikian, asal-usul tradisi halal bihalal sudah sejak lama dilakukan dengan tanpa nama atau istilah. Tradisi tersebut dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa

Saat sedang memimpin Surakarta (1757-1795), ia mengumpulkan para punggawa dan prajurit di Balai Istana untuk melakukan sungkem kepada Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idulfitri.

Pesan halal bihalal

Satu hal yang menjadi pesan penting dari istilah halal bihalal yang dicetuskan Kiai Wahab kepada Bung Karno, atau tradisi halal bihalal yang dilakukan Pangeran Sambernyawa, adalah soal memahami konteks di atas teks. 

Sebab, tidak melulu teks bisa ditafsirkan dengan nalar dan logika kalau meniadakan konteks. Selain itu juga tak mungkin teks bisa berkembang kalau tanpa adanya konteks yang terus bergerak dengan sangat dinamis. 

Halal bihalal, secara teks kita tak temui makna paling inti, tapi ketika melihat konteks atau keadaan Indonesia saat istilah halal bihalal dicetuskan, kita baru tahu bahwa halal bihalal bermakna sama dengan silaturahmi. Saling sambang, memaafkan, dimaafkan, dan saling mengakui kesalahan satu sama lain. 

Dari halal bihalal, kita belajar bahwa berpikir dan bertindak secara tekstual tidak selalu tepat. Karenanya, haruslah dibarengi dengan konsteks yang ada. 

Wallahu A'lam...

Tulisan di atas disadur dari beberapa sumber. Diantaranya NU Online dan Islami(dot)co
Previous Post
Next Post

0 komentar: