Minggu, 02 Juni 2019

Pancasila dalam Perbuatan Kemanusiaan


Tokoh Kemanusiaan, Bunda Teresa. Sumber: seniberpikir.com
Soekarno memandang bahwa sila kedua  dalam Pancasila, mengandung sebuah prinsip internasionalisme. Yakni, perikemanusiaan dan persaudaraan dunia. Bahwa tanah air Indonesia hanya sebagian kecil dari dunia.

Soekarno menekankan bahwa yang dimaksud dengan internasionalisme atau perikemanusiaan tidak bersifat kosmopolitanisme, yaitu yang tidak mau adanya kebangsaan.

Menurutnya, nasionalisme dan internasionalisme merupakan dua sisi yang saling menyempurnakan: “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”.

Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta menyimpulkan bahwa sila kedua Pancasila memiliki konsekuensi ke dalam dan ke luar.

Ke dalam, berarti menjadi pedoman bagi negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar manusia, dengan menjalankan fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ke luar, menjadi pedoman politik luar negeri bebas aktif dalam rangka ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

"Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Derita bangsa lain merupakan derita bangsa Indonesia, karena kita sama-sama manusia," kata Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.

Jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan, para tokoh bangsa kita sudah mendambakan bagaimana Indonesia bisa bahu-membahu bersama bangsa dan negara lain dalam memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. 

Solidaritas internasional itu pada awal pertumbuhannya dipertautkan dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya. Terutama di asia sebagai kawasan terdekat, dengan mengembangkan perasaan senasib-sepenanggungan dalam kerangka Revolusi Asia atau Pan-Asiatisme.

Sejak awal, para pendiri bangsa kita memang sudah menyadari betapa kemanusiaan universal merupakan bagian penting dari perjuangan. Pada 1926, Bung Hatta telah melontarkan kritik tajam mengenai antagonisme antara eropa dan asia yang tak lain adalah mengenai whitemanity dengan humanity.

Pada zaman itu, bangsa-bangsa eropa dengan berbagai cara memang selalu mengumandangkan superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan senantiasa bertumpu di atas asumsi perbedaan derajat antarbangsa.

Sebaliknya, wacana bangsa-bangsa terjajah yang ingin melawan sosok penjajah bertumpu di atas asumsi dan pandangan kesederajatan antarbangsa, egalitarianisme antarumat manusia, agar terwujud kemanusiaan yang adil dan beradab.

Untuk mengakhiri antagonisme whitemanity dengan humanity, pada 1926 Bung Hatta menyerukan, “Bebaskan jiwa Asia, dan tuan-tuan akan memperoleh perdamaian. Bukan perdamaian dengan paksaan pedang, tetapi perdamaian berdasarkan kemauan baik. Jiwa Asia pada dasarnya adalah jiwa damai!”

Bung Karno dalam tulisannya di Suluh Indonesia Muda (1928) dengan judul Indonesianisme dan Pan-Asiatisme menyatakan bahwa paham Pan-Asiatisme pasti dapat hidup dan bangkit di dalam pergerakan Indonesia. Sebab, persatuan nasib antara bangsa-bangsa asia pasti akan melahirkan persatuan perangai; persatuan nasib pasti akan melahirkan persatuan rasa.

Dengan kesadaran atas pertautan rasa kemanusiaan antarbangsa, menjadi jelaslah bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme luas, yang berdimensi internasionalisme. Dalam hal ini, Soekarno menegaskan:

Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme yang timbul dari pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah ‘jingo-nationalism’ atau chauvinism, dan bukanlah suatu tiruan dari Nasionalisme Barat. 

Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bukti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelembagaan dan keleluasaannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, seperti lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Impian dan gagasan kemanusiaan universal yang berkembang sebelum Indonesia merdeka itu menjadi komitmen yang kuat saat para pendiri bangsa mencoba merumuskan dasar dan konstitusi negara Indonesia Merdeka.

Hal tersebut tercermin pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Setelah panjang lebar menguraikan urgensi prinsip kebangsaan yang ditempatkan sebagai prinsip pertama, Soekarno mengingatkan bahwa prinsip kebangsaan ini ada bahayanya.

“Bahayanya adalah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berpaham ‘Indonesia Uber Alles’. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita hanya bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini.” Ia lantas mengutip pernyataan Ghandi, “My Nationalism is humanity.”

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga mengandung konsekuensi ke dalam kehidupan kebangsaan Indonesia sendiri. Yakni menerima sesuatu hal yang disebut Muhammad Yamin adalah benda rohani; berupa pengakuan dan pemuliaan hak asasi kemanusiaan.

Bagi suatu bangsa yang pernah mengalami penjajahan panjang, dengan berbagai kekangan politik, kolonisasi budaya, dan pemiskinan ekonomi, bangsa Indonesia sangat menyadari arti penting memperjuangkan dan memuliakan hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pokok perdebatan mengenai hak asasi manusia sesungguhnya terbatas pada perkara kemerdekaan penduduk untuk bersidang, berkumpul, dan berpendapat. Karena hak sipil dan politik lainnya, seperti misalnya adalah hak asasi kemerdekaan beragama/berkeyakinan, sudah diakui sejak rancangan pertama UUD.

Pasal yang mengatur persoalan kemerdekaan beragama/berkeyakinan posisinya tetap sejak rancangan pertama, kedua, hingga terakhir. Yaitu, pada pasal 29.

Demikian juga halnya tentang hak kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, telah diakomodasi sejak rancangan pertama, yang akhirnya termaktub pada pasal 27 ayat 1.

Meskipun Pancasila dan Konstitusi Proklamasi mengandung semangat yang kuat untuk memuliakan HAM, tapi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, kemanusiaan yang adil dan beradab tidak tumbuh dengan sendirinya. Sebab dengan berlalunya kolonialisme, tidak secara otomatis melenyapkan segala macam praktik penindasan terhadap HAM.

Mimpi buruk pasca-kolonial terjadi ketika rezim dan warga baru Republik Indonesia Merdeka mengoper praktik-praktik penindasan yang mereka alami selama masa kolonial. Dalam bentangan panjang sejarah republik, berbagai bentuk pelanggaran HAM, baik dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara, kerap terjadi.

Baca juga: Pancasila dalan Perbuatan Ketuhanan

Visi Sila Kedua

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung visi kebangsaan yang humanis, dengan komitmen besar untuk menjalin persaudaraan dalam pergaulan dunia serta dalam pergaulan antar-sesama anak negeri dengan berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban, yang memuliakan hak-hak asasi manusia.

Dalam membumikan prinsip tersebut, para pendiri bangsa telah mewariskan suatu kemampuan untuk memadukan antara visi global dengan kearifan lokal, antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal.

Di tengah krisis dan tantangan globalisasi, Indonesia harus mampu menempatkan kepentingan nasional dalam bingkai kemanusiaan, dengan menjaga sikap empati bagi yang menderita dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam memecahkan konflik di masyarakat nasional maupun internasional.

Suatu vision (tujuan) perlu didukung passion (kekuatan batin), agar ideal-ideal kemanusiaan bisa diwujudkan di bumi kenyataan.

Pancasila semestinya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kedua

Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan sila kemanusiaan tidak seharusnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik. 

Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Karenanya, hal itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa.

Persoalan HAM menjadi tantangan serius dalam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia. Komitmen penegakkan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Para pendiri bangsa telah merumuskan apa yang disebut sebagai “tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan bahwa kepedulian bangsa Indonesia terhadap HAM sudah bergerak jauh ke depan.

Kenyataan ini mestinya memberi motivasi kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa berada di barisan terdepan dalam memuliakan HAM pada kehidupan nasional dan internasional pada pusaran arus globalisasi yang mengandung potensi dehumanisasi.

Di tengah tekanan globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasi dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif maupun negatif.

Positif, sejauh yang diserap adalah unsur positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan, yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. 

Negatif, sejauh yang diserap adalah unsur negatif-destruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan, yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan, dan ketidakadilan.

Dalam intensifikasi aneka pengaruh internasional, maka sesungguhnya sangat diperlukan kepemimpinan yang kuat.

Yakni sebuah kepemimpinan yang mampu melakukan seleksi dan kreatif antara global vision dan local wisdom, antara kepentingan nasional dan kemaslahatan global, dengan mengedepankan kerangka penyelesaian berdasarkan prinsip “sama-sama menang” (win-win solution) dan pembangunan berbasis hak (right-based development). 


Wallahua'lam...


(Tulisan di atas disarikan dari buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif)
Previous Post
Next Post

0 komentar: