Sabtu, 01 Juni 2019

Pancasila dalam Perbuatan Ketuhanan


Sumber: detikcom
Pandangan hidup manusia yang dilandasi semangat ketuhanan yang berkebudayaan menempati posisi tinggi bagi dasar negara Pancasila di Republik Indonesia.

Dalam uraiannya mengenai prinsip Ketuhanan, pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno berkata:

Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-masih, yang Islam menurut petunjuk Muhammad, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. 

Tetapi, marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tidak adanya ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia adalah satu negara yang bertuhan!

Ketuhanan tanpa ‘egoisme agama’ itu dilukiskan oleh Bung Karno sebagai “Ketuhanan yang berkebudayaan, kebudayaan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang menghormati satu sama lain”.

Dalam keyakinan ketuhanan sejati, keberadaan manusia dipandang sebagai kristalisasi cinta kasih Tuhan. Ada banyak nama (sifat) Tuhan, namun seluruh sifat Tuhan itu bisa diperas menjadi Rahman-Rahim

Sebagai perwujudan kasih sayang Tuhan, manusia harus mengembangkan hubungan cinta kasih dengan-Nya (hablumminallah) serta hubungan cinta kasih dengan sesama manusia (hablumminannas), bahkan dengan makhluk lainnya (hablumminal ‘alam).

Agama-agama yang ada di Indonesia dan dunia memang berbeda satu sama lain, wajar pula jika masing-masing pemeluk agama secara subjektif merasa agamanya yang paling baik.

Namun demikian, di balik perbedaan antaragama dan subjektivitas para pemeluknya, semua agama memiliki titik temu dalam seruan mencintai.

Yakni, yang dikenal dengan golden rule (kaidah emas). Kaidah emas itu berseru: “Janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain, yang engkau sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu!” 

Sementara dalam kalimat positif, seruannya: “Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri!”

Dalam hubungan muamalah (urusan kemasyarakatan) yang berlangsung dalam bangsa yang majemuk, pergaulan hidup yang dilandasi ketulusan cinta tidak jarang membuat jalinan kontak hati di antara orang-orang yang tidak seagama.

Perbedaan keyakinan tidak menghalangi hubungan kemanusiaan, bahkan menjadi landasan untuk saling mengenal dan saling belajar dalam rangka berlomba-lomba berbuat kebajikan.

Pada sebuah kisah yang tercatat dalam sejarah, dalam memberikan bingkisan buku biografinya kepada Herman S Endro (Bhikku Jayamedho), Sjafruddin Prawiranegara (tokoh Partai Masyumi) menulis dengan tangannya sendiri untaian kata-kata berikut:

“Tidak ada Timur dan tidak ada Barat, tidak ada Muslim dan tidak ada Kristen, tidak ada Hindu dan tidak ada Buddha, kalau mereka berlomba-lomba berbuat baik dalam bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Pada nada yang sama, tokoh Islam Pluralis, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyatakan: 

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agama atau sukumu.”

Hal yang ditekankan dalam bunyi sila pertama bukan soal tuhannya apa dan siapa, karena itu urusan keyakinan agama masing-masing. Melainkan, ketuhanannya. Yakni sikap bertuhan: berproses meniru, mendekati, dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan.

Apa pun agama dan tuhannya, jika warga negara sanggup meniru, mendekati dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan sesuai tuntutan agamanya masing-masing, sudah tentu semuanya akan memiliki titik kemanunggalan, yakni persatuan dalam kebajikan.

Sebab, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghendaki agar bangsa Indonesia berketuhanan dengan menjiwai sifat kasih sayang-Nya dan menjadikan-Nya sebagai sumber moralitas dalam kehidupan dan kemasyarakatan.

Kesungguhan mencintai Tuhan, niscaya akan memancarkan kasih sayang kepada sesama makhluk melalui sikap keagamaan yang lapang dan toleran. Bersedia membuka ruang pergaulan dalam rangka bergotong royong menghadirkan rahmat-kebajikan bagi semua, dengan memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta berbuat amal kesalehan dengan sikap hidup yang amanah, jujur, dan bersih

Perjalanan kebergamaan masyarakat Indonesia 

Sejak zaman purbakala hingga terbukanya pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Buddhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen.

Sejak zaman batu hingga pengaruh kebudayaan perunggu, masyarakat prasejarah Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan sendiri, yang secara umum bisa dikategorikan bercorak animisme dan dinamisme.

Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini mempunyai jiwa yang harus dihormati agar roh di balik benda tersebut tidak mengganggu manusia, dan sebaliknya, malah membantu mereka dari roh jahat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Selain percaya adanya jiwa dan roh yang mendiami benda atau tempat tertentu, animisme juga mempercayai bahwa orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan.

Kepercayaan animisme biasanya terpaut dengan dinamisme. Yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya.

Sistem penyembahan dari kepercayaan ini, berkembang seiring dengan perkembangan cara hidup manusia. Ketika manusia masih tergantung sepenuhnya pada alam, fenomena alam menjadi sembahannya.

Saat manusia mulai bisa mendomestikasi binatang, hewan-hewan tertentu menjadi sembahan. Kala manusia mulai bisa bertani, timbul penyembahan kepada zat yang menguasai pertanian seperti Dewi Laksmi, Dewi Sri, dan Saripohaci. Penyembahan kepada dewa-dewi ini pada perkembangannya membentuk sistem keagamaan politeistik.

Sekitar abad ketiga dan keempat masehi, mulai masuk pengaruh agama dari India (Hindu dan Buddha). Kemudian disusul Islam dari Timur Tengah yang dibawa masuk para pedagang dari berbagai ras (Arab, Cina, dan India), mulai sekitar abad ketujuh dan tersebar luas, setidaknya sejak abad ke-13.

Hampir bersamaan dengan penyebaran Islam, masuk pula pengaruh keagamaan dari China (Konghucu), menyusul kemudian pengaruh Kristen sejak abad ke-16.

Dengan penyebaran sistem kepercayaan agama-agama dari peradaban lain, sistem keagamaan politeistik masyarakat prasejarah Nusantara tidak serta-merta musnah.

Di berbagai daerah, unsur-unsur kepercayaan dan keagamaan yang diwariskan dari zaman prasejarah ini masih bertahan atau mengalami proses sinkretik dengan agama-agama yang datang dari luar.

Misalnya, Sunda Wiwitan. Sebuah agama yang dianut masyarakat Sunda di Kanekes, Banten. Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain di Kuningan, Jawa Barat).

Ada pula agama Buhun di Jawa Barat. Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Parmalim, agama asli Batak. Agama Kaharingan di Kalimantan. Agama Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara. Agama Tolattang di Sulawesi Selatan. Juga, agama Naurus di Pulau Seram, Provinsi Maluku.

Namun, sesungguhnya telah berlalu masa yang panjang ketika gairah keagamaan tidak mendorong kesuburan rahmat kasih sayang, kekuatan etika-moralitas, serta etos kejuangan bagi kemuliaan kehidupan bangsa.

Peningkatan jumlah rumah ibadah dan penyelenggaraan berbagai ritual keagamaan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesalehan sosial, toleransi keagamaan, dan kebersihan penyelenggaraan urusan publik.

Pemulihan krisis, kehilangan tumpuan keagamaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan justru seringkali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Untuk dapat keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih.

Dalam proses transformasi ini, persoalan agama tidak berhenti pada apa yang dipercaya, melainkan terutama pada apa yang diperbuat. Untuk itu, agama tidak berarti harus meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan welas asih dan moralitas pada jantung kehidupan keagamaan.

Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, meminjam ungkapan Bung Karno, adalah nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Yakni, nilai-nilai etis yang digali dari nilai profetik agama-agama yang bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan.

Ketuhanan yang lapang dan toleran dapat memberi semangat gotong-royong dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sedangkan sila ketuhanan, menurut Bung Hatta, tidak hanya menjadi dasar hormat-menghormati antarpemeluk agama, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.

Sila ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.

Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan, diharapkan bisa memperkuat pembentukan karakter. Melahirkan bangsa dengan etos kerja yang positif. Memiliki ketahanan serta kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang diberikan, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.


(Tulisan di atas disadur dari Buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif)
Previous Post
Next Post

0 komentar: