Jumat, 28 Juni 2019

Jangan Ada Rekonsiliasi Diantara Kita



Perjalanan panjang Pemilu 2019, akhirnya selesai juga. Melelahkan, sekaligus menjengkelkan. Bagaimana tidak, hanya karena Jokowi atau Prabowo, Kiai Ma'ruf atau Sandiaga Uno, hubungan kekerabatan jadi hancur.

Semalam, setelah dibacakan hasil putusan, selama kurang lebih 10 jam, Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak secara keseluruhan laporan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi atas tuduhan kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif). 

Dengan demikian, secara otomatis, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin telah resmi terpilih sebagai pemimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Sebab, putusan MK itu bersifat mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat.

Pertanyaannya kemudian, situasi dan kondisi apa yang harus kita ciptakan pasca-putusan MK?

Kepada masyarakat awam yang berada di akar rumput, tentu saja kita berikan maklumat untuk kembali bersatu lagi. Tetapi berbeda halnya seruan yang seharusnya kita lontarkan kepada para tokoh dan elit politik negeri ini.

Karenanya, saya menolak untuk diadakan semacam forum atau pertemuan dalam rangka melakukan rekonsiliasi nasional. Halah. Rekonsiliasi tidak akan pernah bisa tercipta. Percaya deh.

Sebab memilih demokrasi berarti telah bersedia untuk menerima kondisi, dimana kita harus selalu bertemu dengan suasana konflik, saling sinis, dan berseberangan.

Namun sesungguhnya, kalaupun sikap saling sinis dan berseberangan serta konflik itu tercipta, karena toh hal itulah yang menciptakan tradisi check and balances. Maka, rekonsiliasi adalah istilah paling buruk dalam seni berpolitik.

Dalam demokrasi, setiap orang bebas mengekspresikan ketidaksukaannya, termasuk terhadap berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 

Nah, orang-orang cerdas akan mengekspresikan ketidaksukaan itu dengan cara mengkritik, menulis, dan melakukan audiensi untuk membuka dialog dengan pemegang kebijakan. 

Tetapi jika kritik itu dilancarkan dengan brutal, merusak fasilitas umum, mengancam stabilitas negara, bahkan mengganggu eksistensi ideologi Pancasila, maka jangan salahkan jika pemerintah bersama perangkat-perangkatnya mengambil tindakan

Suasana demokrasi yang penuh keterbukaan ini harus kita syukuri. Semua orang diberi kebebasan untuk berbicara, bertindak, berdiskusi, bertukar pikiran, berorganisasi, dan berlagak sok pintar sekalipun. Asal dengan catatan, tidak menganggu ketertiban umum dan stabilitas negara. 

Namun celakanya, bagi bangsa yang sedang tumbuh dewasa di alam demokrasi sejak tahun 1998 ini, demokrasi adalah ruang untuk mengekspresikan segala hal dengan bebas tanpa batas. Kita telah banyak menyaksikan berbagai peristiwa mengerikan yang terjadi karena demokrasi; lebih spesifik karena berbeda preferensi politik.

Nah demokrasi sesungguhnya mengajarkan kita agar mampu terbuka dengan keterbukaan yang menyeluruh, tapi dengan tanpa ada baper di dalamnya. Bahwa selain siap untuk menang tetapi juga harus siap menerima kekalahan. 

Para bijak bestari mengatakan, orang-orang yang menang janganlah menjatuhkan atau menghina-hina mereka yang kalah, sedangkan mereka yang kalah hendaklah menerima dengan lapang dada tanpa amuk. 

Maka pertanyaannya adalah siapa yang menang dan siapa yang berhasil dikalahkan? Saya rasa, terlalu sempit juga jika dijawab bahwa pemenangnya adalah paslon nomor satu beserta pendukungnya dan paslon nomor dua bersama pendukungnya kalah. 

Bagi saya, pemenang kontestasi Pemilu 2019 ini adalah rakyat. Bukan para elit politik yang kerap menjadi dalang kerusuhan di kalangan akar rumput. Rakyat berhasil memenangkan ini karena mampu menjadi objek aktif dalam menyuarakan keberpihakannya. 

Inilah sesungguhnya demokrasi. Dimana keberisikan, hiruk-pikuk, dan keramaian adalah suatu keniscayaan untuk saling mengingatkan; bukan meniadakan satu sama lain. 

Kritik-autokritik tetap harus dilakukan. Jangan menjadi penjilat karena telah duduk di lingkaran kekuasaan, tetapi juga jangan menjadi pembenci hanya karena tidak masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. 

Hanya saja, bagi orang-orang yang duduk di lingkaran kekuasaan akan melancarkan kritik dengan tidak keras lantaran objek yang harus dikritiknya sudah sangat dekat.

Berbeda dengan oposisi yang harus terus bekerja ekstra menjadi penyeimbang, agar keorganisasian Republik Indonesia ini tetap berjalan seru dan penuh dinamika. 

Oleh karena itu, rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang harus segera dilakukan. Tidak. Bahkan jangan sampai rekonsiliasi itu tercipta atau terselenggara. Sebab saya khawatir, momentum rekonsiliasi menjadi ajang lobi-lobian mencari posisi jabatan strategis. 

Dan pada akhirnya, kalau demikian, rekonsiliasi justru menjadi penyebab kekacauan negeri ini karena akan berjalan tidak seimbang, lantaran ketiadaan unsur atau elemen yang menjadi alarm untuk mengingatkan kekeliruan.

Sampai di sini paham? Sekali lagi, rekonsiliasi tidak perlu dilakukan karena sesungguhnya rekonsiliasi hanya untuk mengamankan posisi agar panggung tak segera rubuh. 

Karenanya, bagi penguasa dan oposisi selamat mengambil jarak. Jangan sampai bersentuhan, bahaya. Bisa-bisa idealisme tergadaikan. Maka, jangan sampai ada rekonsiliasi diantara kita. Hahahaha~

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: