Jumat, 07 Juni 2019

Idulfitri, Hari Hura-Hura



Bagi orang-orang yang benar-benar bertauhid kepada Allah, yakni mereka yang senantiasa menomorsatukan Allah di setiap langkah dan nafasnya, Ramadan dijadikan sebagai madrasah.

Bulan penuh rahmat itu menjadi ajang untuk saling menyayangi dan berbagi rasa kepada sesama. Rasa lapar sejak fajar hingga petang, dijadikan pembelajaran agar mampu mengendalikan diri dari nafsu syahwat dan amarah.

Orang-orang yang setia pada keimanan dan ketauhidannya, tidak akan berani mengurangi, apalagi meniadakan amaliyah Ramadan. Mereka justru bertambah semangat untuk meningkatkan segala amal yang dilakukan di bulan suci.

Selepas Ramadan pergi, mereka takkan menjauh dari perbuatan kebaikan yang dikerjakan pada saat berada di madrasah berkurikulum paling istimewa dibanding madrasah lainnya itu. Mereka akan senantiasa menghadirkan ruh Ramadan, sebagai bentuk pengejawantahan dari kerinduannya.

Namun, hanya sedikit yang dipilih Allah untuk mendapatkan gelar takwa. Dari keimanan dan ketauhidan yang diperoleh sejak Ramadan, takwa diartikan sebagai upaya meningkatkan kebaikan, sehingga diri semakin tak berjarak dengan Pemilik Semesta. Sebab orang yang bertakwa selalu melibatkan Allah dalam setiap gerak dan langkahnya.

Idulfitri, sepenglihatan saya, adalah momentum dimana sifat konsumerisme dan hura-hura menjadi prioritas utama. Kebahagiaan diukur dari materi dan dari banyaknya uang. Bahkan, diukur dari mewahnya kendaraan saat digunakan untuk berkeliling menemui saudara dan kerabat dekat.

Setiap orang berkesempatan membeli barang kesukaannya untuk diperlihatkan saat lebaran. Dari mulai baju baru, celana baru, sandal baru, sampai kendaraan baru yang membuat macet saat lebaran, menjadi hal yang harus dikonsumsi. Segala sesuatu harus baru, padahal yang lama juga masih bagus dan layak pakai.

Pesan Ramadan menjadi terlupakan, menjadi hal yang usang, tak laku untuk diejawantahkan dalam kehidupan modern, pesan-pesan Ramadan yang penuh makna menjadi tak berguna untuk sebelas bulan setelahnya.

Semua kembali seperti semula, hura-hura menjadi sifat utama, tamak, rakus, dan sebagainya, adalah sifat asli manusia. Hari Raya Idulfitri bergeser maknanya, yakni sebagai hari hura-hura.

Padahal, Idulfitri merupakan momentum sangat berharga. Terutama bagi umat Islam Indonesia. Di hari raya itu, setiap orang berbondong-bondong memberi dan meminta maaf. Tak ada yang lebih mulia dan lebih rendah. Semua setara. 

Memberi maaf tak menjadikan seorang mulia. Orang yang meminta maaf pun tidak serta-merta menjadikannya hina. Sebab saling memaafkan adalah perbuatan yang bergaris-lurus dengan ajaran-ajaran kemanusiaan yang terdapat dalam Islam. 

Anak-anak menyambangi orangtuanya. Bersimpuh. Mengharap ridho dan keberkahan yang akan menyelimuti diri. Sebagian lagi ada pula yang menziarahi makam keluarga, orangtua, dan orang-orang yang berpengaruh di dalam hidup. Berharap washilah (penghubung) kepada Allah agar menurunkan rahmat kepadanya. 

Kampung halaman dikunjungi. Bernostalgia dengan masa kecil yang penuh kegembiraan. Menyalami dan mencium punggung tangan pemuka agama di tanah kelahiran. Menampilkan kesuksesan sebagai modal untuk membangun desa di kemudian hari. 

Karenanya, selain sebagai ajang untuk hura-hura, Idulfitri juga menjadi momen sakral bagi umat Islam Indonesia. Berkumpul, bernostalgia, merayakan hari bahagia bersama orang-orang terkasih. 

Selamat hura-hura!

Wallahua'lam..
Previous Post
Next Post

0 komentar: