Kamis, 02 Juli 2020

Evie Effendi dan Angkuhnya Dakwah Kita


Evie Effendi. Sumber: rakyatjabarnews.com

Saya sebenarnya tidak mau larut dalam persoalan Evie Effendi, yang sering keliru bicara dalam ceramahnya dan salah tajwid dalam membaca ayat suci Al-Quran. Jelas, dia bukan ustadz. Bukan seorang guru agama yang baik.

Dia hanya semacam PR atau humas dari Islam yang menyampaikan kebenaran-kebenaran agama agar dengan mudah diterima di kalangan anak-anak muda. Namun, sebagaimana manusia pada umumnya, dia jauh dari sempurna. Evie hanya modal berani. Selebihnya, soal-soal agama, dia pelajari secara otodidak. 

Dia sering salah omong yang kemudian menyinggung atau bahkan menyakiti hati muslim yang lain. Kasus pertama kali, yang viral kemudian dilaporkan ke kepolisian sebagai penistaan agama, dan berakhir pada permintaan maaf adalah pada sekira tahun 2018. Dia mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad sama dengan merayakan kesesatan Muhammad (dia ucapkan tanpa sebutan embel-embel nabi).

Sejurus kemudian, dia dilaporkan. Lalu minta maaf. Saya pikir, Evie ini sudah tidak akan berani tampil sebagai ustadz yang membicarakan agama. Ternyata masih juga. Ya, keberaniannya saya acungi jempol. Dia petarung, tapi petarung yang konyol. Selalu berbuat kesalahan yang sama.

Baca: Evi Effendi, Kesesatan Muhammad, dan Perayaan Maulid Nabi

Belakangan ini, video ceramahnya viral lagi. Dia bilang, hadits tentang nisfu sya'ban adalah cacat alias tidak ada sanad yang menyambung ke Nabi. Kemudian dengan intonasi gaya bicara yang agak meledek, dia menganalogikan dalil yang dianggap cacat itu dengan konteks yang lain. 

"Saya juga bisa bikin dalil baru. Qala Rasulillah, Rasul bersabda 'Barang siapa memakai topi Jerussalem, dia terancam masuk neraka' pasti laku," kata Evie. 

Tentu saja, pernyataan Evie Effendi menyulut emosi umat Islam yang lain. Terlebih, Evie tidak sama sekali menjelaskan soal kedudukan hadits itu bagaimana. Hanya dibilang cacat saja. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Evie tentang hadits sangat minim. Di kanal berita media online yang lain, dalam sebuah wawancara, Evie Effendi mengaku bahwa dia belajar agama secara otodidak dan mengatakan bahwa guru agamanya adalah Rasululullah langsung. 

"Saya belajar agama otodidak. Saya membeli buku dan majalah bekas, sekarang lihat di youtube, membeli kaset ceramah, kemudian saya banding-bandingkan. Saya tidak belajar dari satu guru. Guru saya mah Rasulullah SAW dan para sahabat. Kalau berguru sekarang mah rariweuh, pada sombong dengan ilmunya."

Pernyataan Evie itu menggelikan banget. Evie pasti tidak pernah mengaji kitab Ta'lim Al-Muta'alim. Syaikh Tajuddin Nu'man bin Ibrahim bin Al-Khalil Az-Zarnuji menukil dua bait syair yang dibuat oleh Imam Ali bin Thalib. Kemudian, syair itu menjadi semacam referensi bagi para pencari ilmu agar tidak salah jalan. 

اَلا  لاَ  تَناَلُ  اْلعِلْمَ   إِلاَّ  بِسِتَّةٍ  سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ   وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

"Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: kecerdasan, kemauan, sabar, biaya, bimbingan guru, dan waktu yang lama."

Kalau toh, Evie berguru langsung kepada Rasulullah dan sahabatnya, dia pasti tahu mengenai enam syarat untuk mendapatkan ilmu ini. Saya jadi membayangkan sebuah dialog imajiner Evie dengan Imam Ali bin Abi Thalib.

"Assalamualaikum, wahai sahabat Rasulullah."
"Waalaikum salam, ada apa anak muda?"
"Saya ingin berguru kepada antum, Syaikh?" (Kemudian Imam Ali bin Thalib menyampaikan syair itu).
"Saya ingin langsung berguru kepada antum saja, Syaikh. Berguru ke orang-orang zaman sekarang mah pada sombong-sombong."
"Kamu yang sombong!"
"Lho kok saya?"
"Kamu sombong karena tidak ada kemauan untuk belajar dan mencari guru, serta tidak dalam durasi waktu yang lama saat mencari ilmu. Kamu belajar otodidak, tapi kemudian sudah berani mendaku diri sebagai ustadz. Kamu itu sombong!"
(Kemudian tanpa ba-bi-bu Evie tiba-tiba saja kesal diomongi begitu oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Dia dengan pongah, berbalik badan dan pulang). 

Angkuhnya Dakwah Kita

Munculnya Evie Effendi ini, seharusnya menjadi ladang dakwah bagi kita, bagi para pendakwah Nahdlatul Ulama maksudnya. Kita, sebagai warga NU, kenapa kok malah justru menghakimi dakwah yang dilakukan Evie? Apa yang salah dari kita? Bisakah kita melakukan introspeksi?

Teman-teman pembaca yang baik hati, di dalam tulisan ini, saya ingin mencoba mendudukkan perkara. Bukan sedang ingin mendiskreditkan siapa pun. Saya bukan pendakwah agama, tapi setidaknya mari kita bedah bersama bagaimana seharusnya kita melakukan dakwah bil hikmah (dengan bijaksana).

Gara-gara Evie yang selalu salah omong itu, orang-orang NU jadi berbondong-bondong keluar untuk menghakimi Evie. Ya, kita memang harus sadari bahwa Evie bukan ustadz, bukan guru agama yang baik. Tapi persoalan tidak hanya sampai di situ. Inilah tantangan dakwah yang sesungguhnya. 

Bagi saya, metode dakwah yang baik sudah ada di dalam Al-Quran. Misalnya di dalam surat An-Nahl ayat 125. Kata Allah kepada Nabi:
"Ajaklah (objek yang sedang didakwahi) ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijaksanaan, (tegur) dengan nasihat-nasihat yang baik, serta bantahlah mereka (objek yang sedang didakwahi) dengan santun. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih tahu soal siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih tahu siapa orang yang mendapat petunjuk."

Dari ayat tersebut, kita bisa belajar bagaimana seharusnya menyikapi dakwah Evie Effendi yang tidak karuan itu. Apakah pantas bagi kita, sebagai orang yang mengaku beragama, membully dan mempermalukan orang lain karena ketidaktahuannya atas ilmu? Kenapa tidak dirangkul dan kemudian dipesantrenkan saja? Ajak Evie dengan hikmah dan tegur dia dengan nasihat-nasihat yang menyejukkan atau bantah dia dengan santun. Tidak dengan mencelanya dengan membabi-buta. 

Guru saya, Ustadz Muhib Tibri, di dalam laman facebook-nya menulis sebuah status sebagai sindiran kepada orang-orang yang terlalu semangat atas ilmunya, dan kemudian merasa berhak menghakimi kekeliruaan Evie Effendi. Berikut ini status Ustadz Muhib Tibri di facebook. 

Saat-saat ini Lagi trand kesalahan atau dosa yang dilakukan seseorang, langsung diburu netizen, mungkin maksudnya mengingatkan tapi ujung-ujungnya jadi celaan. Imam hasan al bashri pernah menyampaikan.

 كانوا يقولون من رمي أخاه بذنب قد تاب إلى الله منه لم يمت حتى يبتليه الله به

"Para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya, karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allāh, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut."

*****

Kemudian saya ingat pesan yang seringkali disampaikan oleh Kiai Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun, pengasuh Masyarakat Maiyah. Katanya, jangan terburu-buru menghakimi kekeliruan orang lain. Sebab, barangkali penghakiman kita yang membabi-buta itu dihitung sebagai dosa besar karena telah menyakiti hati makhluk-Nya. 

Cak Nun lantas membuat analogi. Kalau ada pencopet di jalan yang mencuri dompet ibu-ibu. Maka, dalam kasus itu, pencopet bisa kita hukumi sebagai orang yang telah berbuat salah. Kita harus membela si ibu itu dengan membawa pencopet ke pihak yang berwajib agar dihukum sebagaimana hukum yang berlaku. 

Namun, pembelaan kita harus berubah ketika si pencopet ini dihakimi oleh warga setempat sampai babak-belur atau bahkan saat warga mencoba membakar hidup-hidup si pencopet. Sikap kita, jika demikian, harus membela si pencopet karena dia statusnya telah berubah sebagai korban penghakiman. Inilah yang disebut Cak Nun, sebagai objektif. Pembelaan kita berpihak kepada korban. 

Lalu bagaimana soal kaitannya dengan Evie Effendi?

Dalam kasus Evie yang salah omong, karena tidak punya ilmu yang memadai, dia salah. Maka, Evie ini sebenarnya harus kita bawa dan serahkan kepada pihak yang berwajib; yakni yang berkewajiban untuk mendidik dan memberikan asupan gizi keagamaan untuknya. Yakni para kiai di pesantren. 

Tetapi ketika dengan angkuhnya orang-orang menghakimi Evie dengan cacian dan celaan yang menyakitkan, saya membela Evie. Dia adalah objek dakwah kita. Jangan 'dipukuli' habis-habisan karena dia salah karena ketidaktahuannya atas ilmu. Kita, yang mengaku punya ilmu yang lebih, harusnya punya kewajiban untuk mendakwahinya sesuai dengan cara-cara yang terdapat dalam An-Nahl ayat 125.

Saya menduga, orang-orang yang mencela Evie Effendi itu adalah mereka yang sebenarnya iri dengan ketenaran keagamaan seorang Evie Effendi. Harusnya, menurut saya, kita belajar dari bagaimana strategi Evie Effendi bisa menjadi tenar dan tokoh publik di kalangan muda. Ini kok malah dibully habis-habisan?

Atau, mungkin juga, saya menduga bahwa penghakiman yang dilancarkan kepada Evie Effendi adalah semacam balas-dendam karena ceramah-ceramahnya Evie Effendi yang penuh penghakiman? Mari kita lihat surat Asy-Syuro ayat 40 bahwa balasan sebuah kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Tetapi bagi siapa saja yang mampu memaafkan dan kemudian berbuat baik atas kejahatan itu, maka akan mendapat kebaikan di sisi Allah. 

Sampai di sini paham? Sudah, ya. Saya capek. Wallahu'alam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: