Rabu, 01 Juli 2020

Membela Pancasila di Jalan yang Benar


Salam Pancasila di Gedung BPIP, Jakarta


Sejak awal tahun ini, jujur saja, saya hampir tidak pernah mengonsumsi berita konflik. Lebih-lebih merespons isu yang sedang hangat, seperti para pakar yang sangat ahli di segala bidang yang tersebar di seluruh penjuru media sosial itu. Saya, yang semenjak 2014, kuliah di jurusan Jurnalistik, rasa-rasanya sudah paham dengan bagaimana pembingkaian media terhadap suatu berita. Jelas, kepentingan pasti bermain di sana. 

Maka, daripada terbawa oleh arus kebencian akibat mengonsumsi berita-berita konflik, saya mencoba untuk menyibukkan diri dengan kegiatan yang lebih positif. Mengerjakan skripsi, misalnya. Aktivitas penggarapan skripsi yang saya lakukan itu sangat bermanfaat, terutama soal upaya membahagiakan kedua orangtua. Iya, kan?

Maaf, itu hanya intermezzo. Bagi teman-teman yang sedang berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir, semoga dimudahkan dan dilancarkan. Bagi yang sudah selesai, mari kita beri semangat kepada yang belum selesai dengan ledekan penuh kesombongan. Hahahahahaha...

Teman-teman pembaca yang budiman, meskipun sudah sejak awal tahun tidak mengonsumsi berita-berita konflik di media massa, tapi bukan berarti saya tidak tahu sama sekali soal perkembangan kabar terbaru yang sedang hangat diperbincangkan. Kabar terbaru itu adalah mengenai fenomena mendadak pancasilais. Ini sangat menggelikan. 

Saya tidak sedang mencoba masuk ke dalam perdebatan mengenai RUU Haluan Ideologi Pancasila, tetapi saya ingin mengomentari soal bagaimana reaksi sebagian orang merespons isu RUU HIP itu. Kalau saya, sudah jelas, bagaimana reaksi saya soal RUU HIP itu, silakan lihat saja sikap PBNU. Selesai. 

Tetapi ada hal lain yang menggelikan. Yaitu sekelompok orang, yang gemar demo berjilid-jilid dengan mengangkat isu agama, bahkan berani dengan terang-terangan menolak Pancasila, tetiba jadi balik haluan; demo membela Pancasila. Gila, bos, kacau dunia persilatan kita. Mereka bilang, RUU HIP yang diusulkan partai berlambang banteng itu telah tersusupi oleh paham komunis karena akan memeras Pancasila menjadi Trisila, dan bahkan Ekasila. 

Ya Allah kariiiimmmm. Rasa-rasanya orang-orang seperti itu ingin saya tabok saja dengan buku-buku kepancasilaan yang saya punya di rumah. 

Okelah, kalau alibinya adalah mengemukakan pendapat di muka umum. Itu hak demokrasi. Siapa pun bebas berbicara dan berekspresi di negara yang—sudah jelas-jelas—bukan negara berdasarkan agama ini. Tetapi kalau dalam penyampaiannya itu justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (lebih-lebih bertentangan dengan Pancasila), lantas apa yang dirasa? Bingung saya. 

Bahkan, hanya lantaran tidak suka dengan RUU HIP kemudian membingkai persoalan bahwa PDI Perjuangan adalah perpanjangan tangan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah lama menjadi almarhum. Bukan cuma itu, mereka bahkan membakar bendera kebanggaan partainya Mas Gibran si tukang martabak dari Solo itu. 

Nah, permasalahannya ada di sini. Pernah ada seseorang yang mengajak saya diskusi terkait pembakaran bendera. Orang ini, saya curigai, memiliki afiliasi dengan kelompok massa yang mendadak pancasilais itu. Katanya, lebih parah mana; bendera partai (dengan intonasi TAI yang lebih ditekan) atau bendera tauhid panji Rasulullah yang dibakar? Deg! Rasanya saya ingin berkata kasar saja. 

Akhirnya pelan-pelan saya jelaskan, bahwa bendera bertuliskan huruf arab yang bagi umat Islam merupakan kalimat yang suci itu, bukanlah bendera atau panji Rasulullah. Di Timur Tengah, bendera-bendera yang serupa itu, walaupun dengan beragam gaya kaligrafinya, dipakai oleh organisasi-organisasi teroris yang sudah resmi dilarang negara. Termasuk di Indonesia, yang bendera itu dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

Di puluhan negara, bahkan di negara kelahirannya sendiri, HT sudah dilarang karena merupakan organisasi berbahaya yang sangat berpotensi besar melakukan makar dan mengganti ideologi atau sistem negara. Paling-paling Arab Saudi lah yang memakai bendera negara dengan tulisan kalimat tauhid itu, berlatar warna hijau, dan ada pedang di bawahnya. 

Itu yang pertama.

Kedua, tidak mungkin bendera itu adalah panji Rasulullah Muhammad Saw. Toh, beliau itu dikisahkan di banyak literatur adalah seorang yang buta huruf; tidak bisa menulis dan membaca. Seluruh wahyu atau pengetahuan yang datang dari Allah melalui Jibril, pasti langsung dihafalnya. Sedangkan segelintir orang yang sudah bisa menulis, saat itu, menuliskan wahyu Allah itu di berbagai media; di pelepah daun kurma, di batu putih yang tipis-halus, dan lainnya. 

Barulah ketika kekhalifahan dipegang oleh Sayyidina Utsman bin Affan, wahyu-wahyu Allah yang semula dihapal oleh Rasulullah dan yang 'tercecer' di mana-mana itu, dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dikanonisasikan atau diberi nomor-nomor dan dibukukan sebagaimana Al-Quran yang saat ini kita bisa dapati.

Jadi, Rasulullah itu tidak pernah menciptakan gaya kaligrafi (apalagi kaligrafi yang terdapat dalam bendera teroris itu). Kalau ada yang bilang bahwa bendera itu adalah panji Rasulullah yang dibuat langsung oleh Rasulullah sendiri, maka sesungguhnya pernyataan itu merupakan sebuah kesesatan dan penyesatan yang nyata. 

Apa perlu saya kabarin panji petualang, panji pragiwaksono, atau panji manusia milenium, untuk mengklarifikasi itu panji Rasulullah apa bukan? Jangan main-main sama panji, deh!

Nah kemudian bagaimana soal pembakaran bendera PDI Perjuangan? Ya jelas itu pelecehan dong, pak. Partai banteng itu masih sebagai organisasi politik yang sah di negeri ini. Diakui oleh negara. Pemenang pemilu dua periode, setelah 'berpuasa' juga selama dua periode. Lho kok tiba-tiba cuma gara-gara mengusulkan RUU yang ilmiah, malah dibantai dengan demo jalanan-kampungan dan sekaligus bendera kebanggaannya itu dibakar? Wajar saja, kalau kader banteng di seluruh Indonesia marah. 

Saya yakin, kader-kader banteng itu pasti sakit hati banget karena dituduh sebagai the new PKI di era modern. Kalau saya yang dituduh PKI, saya masih bisa terima karena saya memang benar tercatat sebagai anggota PKI (Pengikut Kiai Indonesia). Lucu, nggak?

Jadi daripada ngalor-ngidul dan ngetan-ngulon, saya ingin menyampaikan bahwa daripada kita sibuk mendaku diri sebagai pribadi yang paling paham tentang ideologi bangsa ini, lebih baik kita menggali ilmu yang lebih dalam lagi mengenai Pancasila ini. Saya, sebagai contoh, adalah orang yang tidak pernah mau belajar dari satu sudut pandang saja. Termasuk belajar memahami Pancasila. 

Beruntung sekali, beberapa pekan lalu, saya dikabari oleh jaringan lintas iman di Jakarta, untuk ikutserta dalam sebuah perjalanan intelektual bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Saya dipertemukan kembali oleh jaringan lintas iman yang skalanya lebih luas lagi, tidak hanya Bekasi, untuk kembali menggali sesuatu yang direnungi oleh Bung Karno di bawah pohon sukun itu. 

Kemarin, 30 Juni 2020, di penutup bulan Juni, saya bersama teman-teman jaringan lintas iman, yang merupakan para petinggi organisasi pemuda (agama masing-masing) di tingkat nasional, berkunjung ke kantor BPIP, di Jakarta. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Inilah, barangkali, sebagai sebuah teguran bagi saya, untuk terus belajar dan tidak pernah merasa puas atas pencapaian yang selama ini telah didapat. 

(FYI, setelah tulisan ini, insyaallah saya akan menulis selayang pandang profil masing-masing para petinggi organisasi pemuda keagamaan itu)

Jadi maksud saya begini lho, bro. Pancasila yang masih berupa wacana dan gagasan itu, bagi saya, benar-benar dapat menimbulkan perspektif yang berbeda, dan hanya akan memercik konflik jika Pancasila selalu diperdebatkan konsepsi dan definisinya. Maka, lebih baik, Pancasila ini diwujudkan ke dalam tindakan nyata sehingga orang lain benar-benar dapat merasakan bahwa Pancasila itu memang benar ada. Tidak hanya sekadar cuap-cuap-cuan. Eh.

Oleh karena itu, saya dan teman-teman jaringan lintas iman yang kemarin sowan ke BPIP, bermaksud akan menjadikan Pancasila tidak hanya sekadar wacana yang selalu saja memunculkan perdebatan, tetapi mewujudnyatakan Pancasila itu sendiri ke dalam aksi konkret di dalam kehidupan. Minimal kita saling berbagi pengalaman, soal tindakan Pancasila apa yang sudah dilakukan selama menjadi anggota masyarakat. 

Apabila Pancasila berkali-kali diperdebatkan, bahkan menimbulkan pertentangan dengan mengorganisir massa yang sangat banyak karena merasa paling Pancasila, bahkan mendadak Pancasila, itu sebenarnya sama saja dengan merusak Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa kita. Kalau yang namanya saja sudah pandangan hidup, maka Pancasila seharunya menjadi titik-temu dalam kehidupan kita sebagai bangsa, bukan justru menjadi bara api yang menyulut konflik sektarian. 

Dengan demikian, izinkan kami—saya dan teman-teman lintas iman itu—membela Pancasila di jalan yang benar, yang tidak punya maksud untuk merusuhi siapa pun, yang tidak punya maksud untuk merasa paling Pancasila, dan yang tidak punya maksud untuk menyulut konflik sektarian. Kami, terutama saya, ingin belajar lebih dalam bagaimana memaknai Pancasila di dalam keseharian, dan mewujudkannya ke dalam tindakan. 

Sampai di sini paham? Saya capek. Sudah, ya. Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: