Sabtu, 07 November 2020

Kenapa Kiai NU Lucu? Ini Jawabannya...

 

Ilustrasi. Sumber gambar: islamidotco



Beberapa hari lalu, saya sebagai unsur Pemuda Lintas Agama turut hadir dalam agenda Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila, Direktorat Pembudayaan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di The 101 Hotel Suryakancana, Kota Bogor.


Dalam forum terbatas itu, hadir pula Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Zastrouw Al-Ngatawi yang merupakan Ketua Tim Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila. Di dalam forum, Mas Zastrouw benar-benar serius mengeluarkan gagasan tentang bagaimana Ideologi Pancasila harus benar-benar dibudayakan, utamanya ke anak-anak muda yang memiliki keterbatasan dalam membaca sejarah.


Itu di dalam forum. Berbeda ketika di luar forum alias pada diskusi informal. Sembari menghisap rokok, mencicipi kopi, serta merasakan hawa dingin Bogor, Mas Zastrouw bercerita soal penyederhanaan gagasan yang kerap dilakukan kiai-kiai NU. Penyederhanaan itu dilakukan para kiai melalui metode humor.


Misalnya saja, Mas Zastrouw bercerita soal salah seorang kiai NU (saya lupa nama kiai yang disebut Mas Zastrouw) yang ceramah dan bercerita soal peristiwa hijrah Nabi Muhammad. Dalam kesempatan itu, kiai yang disebutkan oleh Mas Zastrouw sangat interaktif dengan audiens. 


Sang kiai bertanya kepada hadirin, "Bapak-bapak, ibu-ibu, dan hadirin semua, Nabi itu pernah hijrah dalam upaya menyebarkan dakwah Islamiyah. Bapak-ibu tahu kan?"


"Tahuuuuu," sahut hadirin. 


"Kalau tahu, dari mana dan ke mana Nabi Hijrah?"


Pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh hadirin. Ini menandakan bahwa masyarakat harus "dituntun" untuk mengetahui segala hal. Oleh karena itu, perlu penyederhanaan gagasan agar dapat dengan mudah diterima. 


"Baik akan saya jelaskan," kata kiai.


Kiai tersebut kembali menjelaskan dengan pertanyaan, "Nabi Muhammad itu hijrah dari Makkah ke Madiiii...."

"Uuuunn," sahut hadirin serempak. 


Saya pun terkekeh-kekeh mendengar cerita itu langsung dari Mas Zastrouw.


Kemudian, ia pun melanjutkan ceritanya. Kali ini, yang menjadi bahan cerita humornya adalah Gus Dur. Kita semua tahu, Gus Dur adalah seorang kiai yang kaya akan humor. Bahkan, dalam menyampaikan segala sesuatu yang sangat serius sekalipun, Gus Dur bisa membawakannya dengan humor dan tentu saja mengajak hadirin untuk berinteraksi. 


Dalam ceramahnya di hadapan masyarakat Madura, Gus Dur menjelaskan enam agama yang ada di Indonesia. Sembari menjelaskan, Gus Dur bertanya kepada hadirin. Beginilah gaya kiai NU dalam ceramah yakni berinteraksi langsung dengan hadirin; tidak satu arah yang sangat menjenuhkan. 


Gus Dur bertanya, "Agama pertama itu agama Is…?"

"Laaaam," jawab hadirin kompak.


"Kemudian agama kedua, Kris?"

"Teeeeen…."


"Ya, benar. Ada Katolik dan Protestan."


"Kemudian keempat, agama Bu?"

"Dhaa....."


"Lalu, kelima ada agama Hin?"

"Duu......"


"Nah, yang terakhir adalah agama KONG?"

Dijawab serempak, "GUAAN..!"


Mendengar cerita Gus Dur yang disampaikan Mas Zastrouw itu, saya kembali terpingkal-pingkal. Kocak, Kong Hucu kok malah jadi Kong Guan? Hahahahahahaha.


Lalu saya bertanya ke Mas Zastrouw, kenapa sih kiai NU itu punya khas kalau ceramah itu dengan humor alias lucu? Jawabannya sangat sederhana sekali.


"Ya karena kiai NU sudah tahu bagaimana psikologis masyarakat. Mereka itu sudah pusing dengan kehidupannya, maka jangan ditambah pusing dengan materi keagamaan yang dibawakan. Kiai NU tahu bagaimana caranya agar agama itu bisa dianut dengan enak, bukan beragama dengan seenaknya," jelas Mas Zastrouw. 


Saya pun manggut-manggut. Paham. Kemudian teringat pesan Nabi, Khatibunnasi 'ala qadri uqulihim. Artinya, bicaralah kamu (komunikator/kiai) sesuai dengan akal atau pikiran mereka (komunikan/masyarakat).

Previous Post
Next Post

0 komentar: