Sabtu, 05 Oktober 2019

Ngaji Aswaja dan Literasi: Menjaga Ideologi dan Informasi




Kemarin, 4 Oktober 2019, saya bahagia sekali karena diminta untuk memberikan pengetahuan sekaligus berbagi pengalaman seputar literasi digital kepada anggota organisasi Kerohanian Islam Madrasah Aliyah Al-Khairiyah, Papan Mas, Tambun Selatan, Bekasi.

Namun sebelum itu, terlebih dulu dipaparkan materi tentang Ahlussunnah wal Jamaah (Keaswajaan) oleh Suci Amaliyah, Penggerak Gusdurian Bekasi Raya. Dia memberikan pemaparan yang sangat tuntas; sejarah hingga harapan bagi muda-mudi Aswaja kekinian agar terhindar dari pemahaman yang ekstrem kiri (liberal) dan ekstrem kanan (radikal).

Jujur saja, ada banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan dari penjelasan yang disampaikan Mbak Suci –demikian dia akrab disapa. Lebih-lebih mengenai sejarah keislaman yang selama ini luput dari ingatan saya yang sangat lemah. Bahwa sejarah Islam itu sarat dengan perebutan kekuasaan, perang ideologi, bahkan benturan fisik yang memilukan. 

Oleh sebab sejarah yang menimbulkan kengerian itu, maka muncul-lah konsepsi keislaman yang disebut Ahlussunnah wal Jamaah. Sebuah gerakan ideologi yang digagas oleh Syaikh Abu Hasan Al-Asy'ari dan Syaikh Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi. Keduanya menjadi antitesis dari gerakan ekstrem kanan-kiri; khawarij dan syiah.

Ahlussunnah wal Jamaah menjadi titik tengah dari dua perseteruan ideologi yang saling mendaku sebagai pembawa kebenaran mutlak. Dalam ajaran teologisnya, Aswaja tidak terlalu mengagungkan teks juga tidak mendewakan penggunaan akal. 

Menurut doktrin Aswaja, sifat Allah tidak sama sekali terdefinisi atau berada di luar jangkauan akal manusia, sehingga beriman kepada wahyu Allah merupakan hal yang utama. Walau demikian, bagi ideologi Ahlussunnah wal Jamaah, penggunaan akal merupakan hal yang sangat penting dilakukan.

Sebab, jika memahami teks suci tanpa dibarengi dengan penggunaan akal yang jernih, maka kita akan menjadi sangat radikal sehingga mudah menyalahkan kelompok lain; jika tak sepemahaman dalam memaknai firman Allah. Sebaliknya, kalau hanya mengedepankan akal, maka akan menjadikan kita sangat liberal dan 'sesuka hati' dalam memaknai teks suci, sehingga melampaui batas dalam beragama.

Singkatnya, Aswaja punya beberapa prinsip atau sikap yang harus diamalkan dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat. Yakni tawassuth dan i'tidal, tasamuh, tawazzun, serta amar ma'ruf nahi munkar. Ditambah oleh Mbak Suci dalam pemaparannya, yaitu tabayyun. Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan panjang-lebar mengenai prinsip-prinsip tersebut dalam tulisan ini. 

Tetapi, ada satu hal menarik dari pembahasan Mbak Suci, kemarin itu. Dia membahas soal pemaknaannya terhadap wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw; Iqra bismirabbikal-ladzi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan). Menurutnya, ayat di atas itu merupakan sebuah satu-kesatuan. 

Kalau hanya sebatas iqra (membaca), kata Mbak Suci, tanpa bismirabbikal-ladzi kholaq, maka akan menyebabkan kita menjadi liberal. Ilmu pengetahuan yang tanpa dibarengi dengan pelibatan Allah dalam proses pencariannya akan membuat hati menjadi kering. Sehingga, semakin ilmu pengetahuan diperoleh, disaat yang bersamaan kita akan jauh dari Allah.

Kemudian, jika pembacaan kita terhadap wahyu pertama itu hanya sampai pada iqra bismirabbik saja, akan berkecenderungan membuat kita menjadi radikal. Kita akan merasa bahwa ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh adalah yang paling benar, sehingga menafikan argumentasi atau pendapat lain yang bisa jadi juga benar. 

Maka, pembacaan dan pengamalan ayat itu harus tuntas: iqra bismirabbikal-ladzi khalaq. Bahwa berbagai pengetahuan yang telah diperoleh merupakan pemberian dari Allah, seraya meyakini kalau diri ini adalah manifestasi terkecil dari Sang Pencipta itu. Sehingga, dengan demikian, kita akan terhindar dari pemahaman liberal yang jauh dari Allah, juga terhindar dari ideologi radikal yang sempit dan memutlakkan kebenaran menurut versinya sendiri. 

Kurang lebih seperti itu, saya menangkap penjelasan yang disampaikan Mbak Suci. Hal tersebut sangat menarik sekali untuk terus-menerus dinarasikan kepada anak-anak remaja; pelajar terutama, agar bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang santun, tidak jemawa; angkuh; dan merasa paling benar sendiri. 


Ngaji Literasi


Setelah ngaji Aswaja dengan Mbak Suci itu, saya lantas memberikan pemaparan tentang literasi digital di era kekinian. Tujuannya agar generasi muda Islam Aswaja tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh berita-berita bohong (hoaks). Saya katakan, kepada mereka yang masih unyu-unyu itu, bahwa siapa pun, mulai dari pelajar Aliyah hingga sekelas profesor punya peluang untuk terpapar oleh hoaks.

Pengaruh hoaks itu tidak memandang strata pendidikan, gelar jabatan, atau pangkat keduniaan, tetapi sejauh mana pengalaman serta pembacaan kita terhadap sesuatu; situasi dan kondisi di sekitar. Inilah yang menjadi sangat penting di era keterbukaan informasi dan komunikasi akhir-akhir ini.

Oleh sebab saya tertarik dengan pemaparan Mbak Suci mengenai wahyu pertama yang diterima nabi itu, saya pun membahas ayat tersebut sebagai landasan awal. Saya punya "teori" lain soal iqra bismirabbikal-ladzi khalaq itu. Meski berbeda, tapi pemaknaan saya merupakan penguat dari perspektif yang tadi ditawarkan Mbak Suci. 

Ayat itu merupakan perintah dari Allah, melalui Jibril, kepada Rasulullah. Perintah itu adalah agar Nabi membaca. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa ayat tersebut tidak menjelaskan perihal apa yang harus dibaca. Setelah kata iqra, tidak ada penjelasan objek. Artinya, iqra dalam ayat tersebut merupakan kata kerja yang tidak membutuhkan objek. 

Semestinya, kata kerja itu diperjelas dengan objek setelahnya. Misal: iqraul-kitab (membaca kitab), iqraul-Quran (membaca Quran), dan lain sebagainya. Tapi rupanya, ayat itu memiliki bunyi yang berbeda dari rangkaian kalimat pada umumnya. Ini yang pertama. 

Kedua, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama itu di Gua Hira, sebuah tempat yang –jangankan malam– siang saja sudah pasti gelap gulita, tidak akan bisa terlihat apa-apa. Ketiga, Nabi Muhammad adalah orang yang tidak bisa baca-tulis alias buta huruf. Karenanya, beliau diberi keistimewaan menghafal; tanpa menulis dan membaca. 

Artinya, membaca yang seperti apa yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad, padahal dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membaca seperti yang demikian saya sebutkan tadi? Allah hanya menyuruh baca tanpa ada kejelasan objek yang harus dibaca, menyuruh baca di tempat yang gelap, dan menyuruh baca kepada orang yang tidak bisa baca. 

Rupanya, dalam pemaknaan saya, perintah Allah kepada Nabi Muhammad itu bukanlah sebuah perintah untuk membaca teks berupa tulisan-tulisan abjad yang tersusun menjadi kalimat, paragraf, artikel, dan buku. Tetapi Allah ingin agar Nabi Muhammad ini senantiasa mampu membaca teks yang lain; simbol-simbol, situasi, kondisi, dan berbagai perjalanan kehidupan yang akan dihadapinya kelak.

Maka, jika kita berpegang pada ayat ini sehingga menjadi sebuah landasan gerakan literasi, saya rasa generasi muda 5-10 tahun ke depan akan semakin tidak mudah terprovokasi dan terkooptasi oleh berbagai berita bohong yang sengaja dibuat; untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok, serta memecah-belah persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa.

Maksud saya, kita akan selalu peka terhadap keadaan, membaca berbagai situasi di lapangan yang terjadi, sehingga saat berita-berita hoaks itu muncul dalam 'genggaman', kita akan dengan sendirinya mengonfirmasi bahwa berita itu tidak benar, karena sudah lebih dulu tahu berita dan kejadian di lapangan. 

Saya katakan, orang-orang yang rajin membaca, dengan sendirinya akan punya naluri ketidaknyamanan terhadap teks yang menyudutkan, provokatif, dan memecah-belah. Membaca, dalam hal ini, bisa kita maknai dalam berbagai konteks. Sehingga, jika pembacaan kita –terhadap apa pun, bisa tuntas, maka kita tidak lagi mudah terpecah-belah oleh berita bohong. 

Demikianlah yang dapat saya tulis. Kalau saya tulis secara keseluruhan apa yang saya katakan kemarin di MA Al-Khairiyah, capek. Sini ngobrol aja~
Previous Post
Next Post

0 komentar: