Rabu, 08 Februari 2017

Bela Islam 112, Soal Kemurnian dan Ketidakadilan


Ilustrasi. Sumber: bintang.com

Permasalahan Islam tak kunjung usai. Di negeri demokrasi ini, Ia seperti hilang kendali. Entah tertekan, menekan, atau ditekan. Agama yang satu ini senantiasa mengemuka. 

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta cukup menguras tenaga. Tak terkecuali Islam. Pesta demokrasi yang dihelat di Ibukota, menjadi buah bibir seluruh warga negara. 

Wajar saja, politik yang dibaurkan dengan agama memang terkesan seksi. Siapa pun ingin mendekat. Membicarakan. Bahkan, mempersoalkan. Saling menjatuhkan, tak lagi tertahankan.

Proses pendewasaan umat Islam di Indonesia, saya rasa, butuh waktu yang lebih lama lagi. Mungkin 10-20 tahun ke depan. Islam akan lebih mendewasa. Menjadi agama yang lebih kompetitif, bukan yang sering turun ke jalan, layaknya pedagang asongan.

Bahwa di dalam demokrasi siapa pun berhak bersuara. Berbicara. Tanpa memandang siapa dan apa. Semua sama. Tak memandang agama, suku, ras, atau golongan sekalipun. Bahkan, siapa dan apa bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Itu.

Sebagian besar umat Islam di Indonesia sepakat, bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah awal dari kegaduhan. Sudah diberi maaf, masih saja mengulangi perbuatan yang memancing amarah. Mulai di Kepulauan Seribu hingga di ruang pengadilan, menghina KH Ma'ruf Amin.

Sependek pemikiran saya, kegaduhan bukan berawal dari Ahok. Melainkan persoalan agama yang menjadi ujian demokrasi kita. Jauh sebelum ungkapan Ahok di Kepulauan Seribu, isu agama memang sudah mencuat, bukan? Jadi, siapa yang awalnya membakar api?

Sejak perpindahan ruang kerja Jokowi dari Balai Kota ke Istana, Gubernur tandingan muncul. Saat itu, Islam seperti dikebiri pergerakannya. Sebagian besar umat Islam mengatakan, banyak kebijakan Ahok yang anti-Islam. Ahok musuh Islam. Sebab kekafirannya.

Sekalipun badai menerpa, Ahok tetap bekerja. Sudah banyak yang berubah. Mulai dari normalisasi sungai, mengusir preman pasar Tenabang, membuat ruang terbuka hijau, membangun masjid, hingga memberangkatkan umroh pengurus masjid Ibukota (marbot). 

Membangun masjid di Balaikota, masjid Raya Jakarta di Jl Daan Mogot, hingga Kalijodo yang tak lagi menyeramkan adalah hasil karya Ahok semasa menjadi Gubernur. Jadi, apakah Ahok anti-Islam? Mari kita diskusikan.

Persoalan Al-Maidah sebenarnya sudah lama didiskusikan kaum santri melalui Bahtsul masa-il. Silang pendapat pun kerap terjadi. Diskusi macam itu, selain eksistensi, tetapi juga menambah ilmu pengetahuan. Karena berbagai referensi menjadi acuannya. Singkat kata, tak asal kutip ayat dan hadits.

Biasanya, Bahtsul masa-il tidak berakhir dengan penyamaan persepsi. Keputusan diserahkan kembali pada masing-masing individu. Tidak memaksakan kehendak. Sebab, persoalan yang dibahas di dalamnya sudah cukup memuaskan. Argumentatif dan bisa dipertanggungjawabkan.

Nah, kembali ke persoalan Ahok. Gubernur petahana itu memang seringkali bergaul dengan orang-orang yang tidak kaku dalam menafsirkan teks Al-Quran. Bahwa teks itu bisu, menjadi hidup karena dimaknai sesuai kemampuan berpikir.

Soal ucapannya di Kepulauan Seribu, Ahok tidak salah. Dia hanya mengeluarkan sedikit pengetahuannya tentang Al-Maidah 51. Seperti biasa, pidatonya pasti diunggah ke Youtube. Alasannya, supaya warga Jakarta mengetahui segala macam kegiatan dan aktivitasnya.

Seminggu setelah terunggahnya video itu, jagat dunia maya dihebohkan dengan potongan video karya Buni Yani. Hingga akhirnya, Ahok dinyatakan sebagai penista. Sekalipun Buni Yani sudah menyatakan kesalahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Ahok tetap dinyatakan salah dan melanjutkan langkahnya menuju kontestasi Pilkada bersama Djarot.

Umat Islam marah. Semuanya. Mulai dari yang hanya tersinggung, hingga yang menginginkan tegaknya Khilafah Islamiyyah macam HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) bersatu. Kelompok Islam seperti HTI mendapat angin segar dan panggung bebas. 

Mobilisasi massa dilakukan untuk menuntut Ahok segera dipenjarakan. Namun hingga kini, Ia belum jua masuk jeruji besi. Padahal kesalahannya sudah nyata di depan mata. Umat Islam semakin merasa dipinggirkan. Semakin merasa ditekan dan tertekan.

Ahok pun berkali-kali menghadiri persidangan. Sementara Ahok disidang, massa Islam (entah pejuang Khilafah atau bukan) melakukan aksi di luar ruang. Mengawal Ahok hingga ke penjara adalah amal saleh, berpahala, dan jelas masuk surga. Menurut mereka begitu, mungkin.

Lamanya proses hukum dan fenomena saling lapor, membuat umat Islam geram. Terlebih ketika Imam Besar Umat Islam, Habib Rizieq, dilaporkan menyoal kasus ini-itu. Banyak sekali. Di sini, umat Islam memutar otak. Bagaimana pun juga, Ahok harus mundur dari Pilkada. Titik.

Akhirnya ide pun muncul. KH Ma'ruf Amin dijadikan sebagai saksi ahli, sebagai ketua umum MUI. Perlu diketahui, di dalam ruang sidang dan di hadapan hukum, semua orang sama. Namun, memang dasar orang Indonesia, digesek sedikit meledak-ledak.

KH Ma'ruf Amin ditantang Ahok. Seperti dihina dan dinista. Begitu kata Umat Islam. Tak lama, isu itu digoreng. Umat Islam kembali terpancing. Padahal, sekali lagi, di ruang sidang semuanya sama. Lagi-lagi, Ahok dianggap mencoreng kesucian ulama dan agama Islam.

Saya pun geram ketika itu. Marah. Apalagi kalau sampai Ahok melaporkan KH Ma'ruf Amin atas kesaksian palsu. Keesokan harinya, Ahok minta maaf. Dimaafkan. Tapi api amarah Umat Islam masih membara. Ahok harus dipenjara. Titik.

Kabarnya, 11 Februari 2017 Umat Islam akan kembali menggelar aksi. Salat Subuh berjamaah di Istiqlal, kemudian turun ke jalan. Membela kehormatan Ulama dan kemurnian agama Islam. Lucu memang, tapi seperti itulah kenyataannya.

Mereka meneriakkan keadilan. Melawan ketidakadilan penguasa. Bahwa keadilan itu adalah, kalau Ahok dipenjara dan Habib Rizieq dibebaskan dari segala macam hukuman. Mereka tak tega melihat Imam Besar Umat Islam dihina dan direndahkan. Takbir membahana. Kemudian diikuti dengan wirid kebencian.

Saya menghargai teman-teman yang ikut Bela Islam 112. Meneriakkan dan memperjuangkan kemurnian Islam. Melawan penindasan dan ketidakadilan. Islam semakin terpinggirkan. Silakan lawan. Boleh dengan wirid kebencian, boleh juga dengan aksi yang membakar amarah.

Menurut pemikiran pendek saya, 112 adalah gerakan politis. Maka itu, saya menolak Aksi Bela Islam; sejak 411 digelar. Walau demikian, saya tetap menghargai dan menghormati sebagian besar Umat Islam yang turun ke jalan membela kebenaran versi sendiri. Saya tidak ikut.

Saya khawatir, kalau Ahok menang; Umat Islam kian menjadi-jadi. Akan menganggap bahwa kubu Ahok telah melakukan kecurangan yang massif, terstruktur, dan sistematis. Bela Islam kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya tak terhindarkan. Mirip sinteron Tersanjung atau Tukang Bubur Naik Haji.

Saya ingin mengutip pernyataan Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC), KH Adib Rofi'uddin Izza, "Mau memilih Ahok silakan. Yang tidak memlih Ahok silakan. Kalau setuju dengan Ahok, jangan teriak-teriak yang bisa menimbulkan konflik, begitu juga sebaliknya. Yang terpenting adalah persatuan rakyat Indonesia tetap terjaga."

Terakhir, kepada Teman Ahok atau Tim Pemenangan Ahok-Djarot, saya mohon untuk tidak memancing amarah Umat Islam. Toh, di sana juga ada yang Muslim. Silakan kemukakan kebaikan dan program unggulan Ahok. Jangan jatuhkan atau menjelekkan kubu lawan.

Begitu pula yang mendukung Anies dan Agus. Silakan ungkapkan keunggulan program yang ditawarkan. Tidak perlu mencibir Ahok sebagai kafir. Karena memilih kepala daerah berbeda dengan memilih Imam Salat.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 8 Februari 2017



Aru Elgete 
Previous Post
Next Post

0 komentar: