Kamis, 01 Desember 2016

Jangan Paksa Allah Untuk Beragama!



Aksi Bela Islam Jilid 2, pada Jumat (4/11). Sumber: merdeka.com

Di suatu malam sekira 3 tahun silam, aku pernah mendengar petuah kiai yang cukup menyejukkan, membingungkan, dan sekaligus mengagetkan. Saat itu, jujur, belum banyak hal yang langsung dapat termaknai. Entah masih lugu atau memang lingkar otakku yang sempit.

"Silakan bela agama, silakan bela Allah. Asal, dalam pembelaannya tidak seperti mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing," kata KH Majduddin Busyrol Karim, pengasuh pondok Al-Hikmah K-1 Buntet Pesantren Cirebon.

Ada 3 hal yang membuatku bingung kala itu. Pertama, apakah Allah membutuhkan pembelaan? Karena seorang pembela itu memiliki kekuatan lebih dari yang dibela. 

Kedua, apa maksud dari mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing? Ya, tentu saja najis. Lalu apa hubungannya dengan agama dan Allah? Sumpah, bingung.

Ketiga, kenapa sih kok agama dan Allah dianalogikan dengan air kencing. Padahal keduanya jelas berbeda. Allah mulia, air kencing najis. Apa maksudnya?

Setelah itu, aku mencoba membincangkan semuanya dengan teman-teman. Sekadar diskusi, seperti onani. Puas sesaat, tapi tak ada gerak. Lemas. Bertambah bingung, otak melemah, dan tertidur pulas.

Parahnya, saat mendiskusikan pernyataan Pak Kiai itu, aku justru mendapat kebingungan yang baru. Ucapan beberapa kalimat dari seorang teman yang lebih menyentuh otak.

"Sudahlah, Ru, jangan paksa Allah untuk beragama!" kata teman sewaktu di pondok, yang namanya sudah kulupa. Pernyataan itu diungkapkan saat terlibat perdebatan sengit diantara kami.

Pak Kiai dan temanku itu sama. Menurutku, mereka percaya bahwa proses pendewasaan berpikir, akan membawa bekal pada pemaknaan teks-verbal yang membingungkan.

Jujur, ketika itu aku sangat bingung. Semua orang (terdekat) enggan berkomentar. Menganggap bahwa dawuh Pak Kiai dan statement temanku adalah ungkapan yang berpotensi merusak akidah atau keimanan.

Ah, apa iya? Untuk apa Pak Kiai bicara seperti itu kalau justru ingin muridnya menjadi tak berakidah dan beriman? Berbagai cara kulakukan agar mendapat jawaban pasti. Biar tak terombang-ambing ombak pemikiran yang bergulung-gulung.

Sumber: liputan6.com

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tersangka kasus penistaan agama memberi banyak pelajaran kepadaku. Bahkan, ia menjadikan dewasa bagi perilaku berpikir. Calon gubernur petahana itu kepleset karena mungkin terlalu jujur atau (bahkan) dianggap ceplas-ceplos.

Kejadian di Kepulauan Seribu, memberi jawaban atas pernyataan Pak Kiai dan temanku yang membingungkan. Membela Allah, membela agama, dan jangan paksa Allah untuk beragama.

Sejak kejadian itu, aku beranggapan bahwa membela agama dan Allah itu harus dilakukan. Tapi sepertinya ada yang tidak sinkron antara pikiranku dengan perilaku GNPF-MUI dan FPI.

Allah dan agama adalah kemuliaan yang harus tetap terjaga. Tidak boleh dihina apalagi dinistakan. Kita harus melakukan sesuatu agar kemuliaan itu tidak ternoda. Tentu dengan sesuatu yang mensucikan, bukan justru menambah noda.

Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa balasan bagi kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Tetapi Allah akan memberikan apresiasi kepada bagi siapa pun yang membalas kejahatan dengan kebaikan.

Barangkali begitulah makna yang tersirat dari ungkapan Pak Kiai. Bahwa untuk memuliakan kemuliaan, jangan sampai seperti mencuci dengan air kencing. Agar noda bisa hilang, tidak mungkin kita menghilangkannya dengan noda serupa.

Anggaplah Ahok membenci Islam. Lalu, apakah kita dianjurkan untuk membalasnya dengan kobaran api kebencian? Dengan begitu, mungkinkah Allah memberikan apresiasi? Benar kata Pak Kiai, jangan mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing.

Kemudian soal pernyataan teman diskusi ketika itu, "Sudahlah Ru, jangan paksa Allah untuk beragama." Aku juga baru bisa memaknai pasca tersebarnya kabar bahwa Ahok telah menistakan agama. 

Sebagian besar Umat Islam berbondong-bondong membela kemuliaan agama dan Allah. Mereka tidak rela kebenarannya dinistakan oleh orang yang selama ini dibenci.

Pembelaan yang dilakukan itu seperti menyiratkan bahwa Allah hanya untuk satu agama saja. Padahal Dia tidak beragama. Sama sekali tidak membutuhkan agama. Maka, jangan paksa Allah untuk beragama.

Teruntuk kawan dan saudaraku yang besok mengikuti aksi 212 di Monas, Jakarta, silakan bela Allah dan agama dengan tidak memperkecil keduanya. Tak perlu lagi mengajar kebencian untuk melawan (anggaplah) kebencian Ahok terhadap Islam.

Istighotsah, dzikir, pembacaan maulid, dan doa nasional kabarnya akan dilaksanakan esok hari. Menurutku, begitulah sesungguhnya Islam. Buatlah citra Islam dengan menampilkan kebaikannya.

Sekali lagi, silakan bela dan jaga kemuliaan dengan tanpa kebencian. Jangan mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing. Dan jangan paksa Allah untuk beragama.


Wallahu A'lam...


Warung Betawi, Unisma Bekasi, 1 Desember 2016


Aru Elgete 
Previous Post
Next Post