Jumat, 27 Maret 2020

JUMATAN: Berhentilah Saling Menyalahkan! (Renungan Al-Baqarah: 113)


Ilustrasi. Sumber gambar: docplayer.info

Jumat pekan kemarin, lingkungan sekitar rumah saya masih baik-baik saja. Berbeda dengan hari ini, yang sudah terkepung oleh penyebaran korona. Dua perumahan di dekat permukiman tempat saya tinggal, sudah ada yang positif korona dan sedang menjalani masa karantina di salah satu rumah sakit rujukan di Kota Bekasi. 

Oleh karena Jumat kemarin masih baik-baik saja, maka masih ada gelaran salat Jumat. Saya jumatan di Masjid Jami' Hasbiyallah, Kaliabang Tengah, Bekasi Utara. Sudah sejak lama, saya jumatan di masjid ini. Sebab, jujur saja, khutbah-khutbah Jumat di masjid ini sama sekali tidak pernah ada nuansa kebencian. Justru sebaliknya, para khotib menyampaikan materi khutbah tentang ibadah, persatuan, dan perdamaian. 

Khotib yang diundang pun, sangat mumpuni. Berkali-kali saya jumatan di sana, khotibnya adalah seorang kiai atau guru yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Sehingga, saat menjelaskan tentang dalil --baik naqli maupun aqli-- sangat terperinci dan jelas. Tidak leterlek, tekstual, dan saklek. Sebagaimana kebanyakan pemuka agama di perkotaan. 

Jumat kemarin, entah siapa nama kiai yang khutbah itu, temanya adalah soal larangan saling menyalahkan. Dari balik mimbar, kiai itu menjelaskan tentang sebuah ayat di dalam Al-Quran yang mesti dijadikan sebagai bahan renungan dan pelajaran bagi umat Islam. Ayat itu adalah yang termaktub dalam surat Al-Baqarah nomor 113. 

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصٰرٰى عَلٰى شَيْءٍۖ وَّقَالَتِ النَّصٰرٰى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلٰى شَيْءٍۙ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتٰبَۗ كَذٰلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ ۚ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ

Artinya: Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.

KH Bisri Mustofa (Ayahanda KH Mustofa Bisri atau Gus Mus) dalam kitab tafsir Al-Ibriz menjelaskan bahwa pada ayat tersebut, masing-masing dari mereka (Yahudi dan Nasrani) sama-sama merasa paling benar dan menuding yang lain salah. 

Orang Yahudi itu berkata: Kalau orang Nasrani itu agamanya tidak benar. Orang Nasrani juga berkata: Orang Yahudi itu agamanya tidak benar. (Padahal) orang Yahudi dan orang Nasrani itu membaca Kitab Suci milik Allah, begitu pula orang-orang yang tidak memiliki pengertian juga, mereka juga berkata seperti apa yang dikatakan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Allah sendiri yang akan memberikan keputusan hukum pada Hari Kiamat nanti, atas permasalahan yang menjadi perdebatan orang-orang tersebut.

Lalu, apa yang bisa kita petik pelajaran sebagai hikmah dari ayat tersebut? Khotib Jumat itu mengungkapkan beberapa hal agar menjadi pelajaran.

Pertama, kita mesti bersyukur dilahirkan sebagai umat Islam yang merupakan agama 'bontot'. Sehingga kita dapat belajar dari sejarah. Jika terdapat sejarah yang baik, maka tugas kita adalah melanjutkan estafet kebaikan itu. Sehingga menjadi amal jariyah yang tidak pernah terputus. Akan tetapi jika sejarah itu tidak baik, maka wajiblah kita belajar darinya, dan mencukupkan sejarah itu. Jangan diteruskan. Sebab hanya akan merusak dan menghancurkan peradaban.

Sebagaimana ayat di atas. Itulah contoh sejarah yang buruk. Sudah selayaknya kita memangkas sejarah yang seperti itu. Kita bisa memilih untuk tidak melanjutkan. Sebab, saat kita berhenti untuk saling menyalahkan, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Yahudi-Nasrani pada ayat itu, berarti kita telah berperan dalam menciptakan sebuah peradaban yang berkeadaban. 

Mari merenung, berapa banyak kita telah menyakiti hati orang lain lantaran kita merasa paling benar seraya menuding orang lain salah? 

Kedua, orang-orang Yahudi dan Nasrani itu oleh Allah telah diberikan kitab sebagai pedoman hidup masing-masing. Tetapi mereka masih juga saling berselisih paham. Apa yang menyebabkan mereka bersikap seperti itu? Tidak lain adalah karena kurangnya ilmu, sehingga mereka seperti memakai 'kacamata kuda' yang sempit dalam memandang, menilai, dan melihat sesuatu hal. 

Ketiga, marilah kita benar-benar menuntut ilmu dengan sebaik mungkin. Mencari pengetahuan atas dasar keinginan dan kesadaran untuk bisa menjadi manfaat dan berguna bagi orang banyak. Jangan sampai ada niat yang terselip dalam hati, kita menuntut ilmu karena ingin menjatuhkan orang lain. Pergunakan ilmu yang kita miliki sebagai sumber cahaya untuk masyarakat, bukan justru menjadi petaka bagi sesama. 

Keempat, ayat di atas menjadi bekal bagi kita untuk membangun peradaban yang baik. Ayat 113 dalam surat Al-Baqarah itu tidak hanya berlaku bagi umat Islam, karena terdapat di dalam Al-Quran, tetapi juga berlaku bagi umat beragama yang lain. Kita bisa gunakan ayat ini sebagai modal untuk membangun kerukunan antarumat beragama. Bahwa di dalam Al-Quran memang ada contoh tidak baik yang pernah dipraktikkan oleh umat beragama zaman dulu, maka tugas kita saat ini adalah agar jangan meniru perilaku buruk itu.

Oleh karenanya, saya tidak pernah lelah untuk terus menyuarakan soal toleransi. Mari kita bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Terlebih, kita hidup di Kota Bekasi (atau Indonesia) yang merupakan sebuah wilayah yang berpenduduk sangat heterogen.

Kita, sebagai umat beragama, masing-masing memang memiliki klaim kebenaran tersendiri yang berbeda dengan konsep kebenaran agama lain. Namun, tempatkanlah hal itu di 'dapur' atau di ruang internal sehingga tidak terjadi perselisihan sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Quran itu. 

Alangkah lebih baiknya pula, di ruang internal itu, kita mengajak umat atau jamaah atau pengikut kita agar sekalipun agama kita 'paling benar', tapi sungguh tidak dibenarkan menuding agama lain sebagai objek yang pasti salah dan tidak ada sama sekali kebenaran dalam ajarannya. Dengan kata lain, janganlah menghasut umat untuk membenci orang yang berbeda pemahaman dengan kita.

Kelima, biarlah Allah yang menjadi 'pengadilan' terakhir bagi segala sesuatu yang saat ini tengah menjadi perselisihan. Tidak ada keadilan yang bisa tegak seadil-adilnya, kecuali Allah-lah hakim yang paling adil. Karena itu, mari kita senantiasa berbaik sangka kepada semua orang, belajar dan menggali pengetahuan dari semua kalangan, serta menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan persatuan.

Maka, mulai saat ini, berhentilah saling menyalahkan!
Previous Post
Next Post

0 komentar: