Minggu, 29 Maret 2020

Fenomena Saleh Virtual di Musim Korona


Ilustrasi. Sumber gambar: apahabar.com
Saleh, shaleh, sholeh, shalih, dan soleh memiliki makna yang sama. Yakni segala hal yang bersifat baik, bersih, mulia, dan lain sebagainya. Tetapi saya lebih suka menulis dan menyebut: saleh, sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI, dulu EYD).

Baik. Dalam KBBI, saleh bermakna taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, suci dan beriman.  Betul memang, bahwa ketika kita berbicara soal saleh atau kesalehan, maka kaitannya adalah langsung berhubungan dengan agama, Tuhan, dan spiritualitas. Namun secara universal, saleh bisa kita maknai lebih luas lagi. Ia berupa nilai yang tak bersekat dan terbatas. Saleh adalah kebaikan yang tanpa sekat. 

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN palangka Raya Cecep Zakarias El Bilad, memaknai kata saleh secara etimologis berasal dari bahasa arab, yakni shálih, yang berarti terhindar dari kerusakan atau keburukan. Maka orang saleh, menurutnya, adalah orang yang terhindar dari kerusakan atau hal-hal yang bersifat buruk. Maksudnya, tentu saja perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, sikap, perbuatan, bahkan pikiran dan perasaannya.

Dalam kamus Al-Mu'jam Al-Wasith, saleh berakar kata dari shaluha yang berarti manfaat. Jadi, orang saleh berarti yang perilaku dan kepribadiannya terhindar dari hal-hal yang merusak sekaligus membawa manfaat bagi lingkungan sekitar. Maka tak heran, orang saleh kerap menjadi kebanggaan dan dambaan banyak orang. Lalu siapa yang berhak menilai kesalehan seseorang? Tentu saja Allah. Sementara kita hanya menerka-nerka saja. 

Tahun 2016, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menerbitkan sebuah buku berjudul: "Saleh Ritual, Saleh Sosial".  Ia melakukan klasifikasi terhadap kesalehan seseorang. Ada orang yang (sebagian besar) hidupnya hanya diisi dengan aktivitas ritual saja, seperti membangun relasi yang kuat dengan Allah dan beribadah dengan sangat tekun. 

Tetapi ada juga orang yang (sebagian besar) hidupnya diisi dengan aktivitas sosial-kemasyarakatan yang penuh manfaat, sehingga ia mendapat julukan sebagai orang yang saleh sosial. Saleh sosial itulah merupakan sebutan bagi orang-orang yang mampu berbuat baik kepada sesama tanpa melihat latar belakang apa pun, termasuk agama, cara beribadah, konsep ketuhanan, dan lain sebagainya. 

Gus Mus beranggapan, bahwa keberagamaan seseorang harus berdampak pada kehidupan sosial. Artinya bahwa kehidupan beragama kita harus terus diisi atau diperkuat dengan dimensi kerohanian atau spiritualitas sebagai jalan menuju ajaran agama, sebagai jalan menuju Tuhan, Allah SWT. dimensi rohani, sesungguhnya tidak terlepas dari kepentingan untuk mencipta keteraturan sosial, sehingga saleh ritual itu tadi harus disertai dengan saleh sosial.

Sebagai orang yang beragama, kita wajib mengimani bahwa ada kehidupan yang kekal di kemudian hari, yakni yang disebut sebagai alam akhirat. Untuk itu, agar bisa baik dalam mencapai kehidupan di akhirat, kita mesti membawa bekal kebaikan atau kesalehan dari semasa hidup di dunia ini.

Itulah mengapa di dalam hadits-hadits masyhur dan terkenal, Rasulullah selalu bersabda mengenai pentingnya untuk berbuat atau berperilaku baik di dalam kehidupan sosial. Hadits-hadits itu selalu diawali dengan kalimat: man kaana yu'minu billahi wal yaumil akhir atau barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir. 

Sebagai contoh, Nabi Muhammad menganjurkan kita untuk bertutur kata baik dalam berkehidupan di dunia. Kalaupun ternyata tidak bisa berkata baik atau perkataan yang akan kita sampaikan berpotensi menyakiti hati orang lain, maka anjuran Nabi lebih baik diam. 

Man kaana yu'minu billahi wal yaumil-akhir fal-yaqul khoiron aw liyashmut. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau (lebih baik) diam. 

Namun kini, selain saleh ritual dan saleh sosial sebagaimana yang dikonsepkan oleh Gus Mus itu tadi, ada pula yang saya sebut sebagai saleh virtual atau saleh digital. Yakni kebaikan-kebaikan atau keunggulan-keunggulan diri yang kemudian diunggah dan dipertontonkan melalui saluran media sosial. Apakah ini baik? Mari kita diskusikan. 

Pembaca yang baik,
Kita tahu bahwa virus korona ini menjadi sebuah momok menakutkan bagi kita. Ia adalah bencana non-alam yang harus kita hadapi bersama. Tentu saja dengan perbuatan-perbuatan kebaikan, minimal menenangkan hati orang-orang terdekat kita agar tidak panik dan was-was terkena korona. 

Kemudian, agar penyebaran korona tidak meluas, kita bisa membantu dengan mengarantina diri di rumah. Bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Tidak keluar kecuali ada urusan yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. 

Selain itu, kita juga bisa turun langsung--dengan hati-hati dan tetap menjaga kebersihan--ke masyarakat untuk membantu korban yang terdampak bencana non-alam ini. Tapi ingat, kalau keluar rumah, kita wajib untuk memperhatikan berbagai protokol kesehatan yang telah banyak dipaparkan oleh ahli kesehatan. 

Turun langsung ke masyarakat yang terdampak itu misalnya membantu para pekerja yang berpenghasilan harian, yang sudah tidak mungkin (di saat-saat seperti ini) tetap keluar untuk bekerja, sehingga mereka jadi tidak memiliki penghasilan. Maka, membantu mereka itu adalah salah satu cara untuk mengurangi kesulitan-kesulitan sosial yang terjadi. Tidak ada kata lain, kecuali harus bersatu menggalang kekuatan dan semangat untuk terus "berjibaku" menghadapi virus mematikan ini. 

Tak hanya itu, para tokoh agama juga bertugas untuk memberikan pencerahan dan ketenangan jiwa kepada umatnya. Mereka juga bisa saja membantu meringankan kesulitan atas musibah ini dengan "mengetuk" pintu langit dengan doa-doa yang mustajabah (yang berpeluang besar dikabulkan oleh Tuhan). Semua punya tugas, fungsi, dan peran masing-masing. Begitu pula dengan tenaga kesehatan yang tanpa lelah, bahkan bertaruh nyawa, untuk menjadi garda terdepan dalam melawan korona. 

Dengan demikian, pertanyaannya adalah: di mana letak saleh virtual atau kesalehan digital itu? Apakah baik jika kita membingkai diri atau mencitrakan personalitas kita di media sosial sebagai sesosok yang saleh, yang gemar menebar kebaikan? Mari kita bahas di sini sekarang juga. 

Sebelumnya, saya jelaskan dulu soal saleh virtual ini menurut pengertian saya sendiri. Anda boleh sepakat, tapi boleh juga tidak. Semua tergantung pada pola pikir anda sendiri. 

Saleh virtual ini lahir sejak era media sosial. Terutama saat kaum agama mengambilalih fungsi media sosial sebagai corong untuk berdoa. Perlu diketahui, beberapa sumber menyatakan (mungkin ini tidak valid, maka sila cari sendiri kebenarannya), bahwa seluruh media sosial yang mainstream kita gunakan saat ini adalah buatan Yahudi. 

Media sosial itu dibuat, pada mulanya, sebagai wadah untuk berdoa agar bisa didengar atau diaminkan oleh banyak orang. Maka, ada yang disebut dinding (timeline, kronologi, beranda) yang tak lain dan tak bukan adalah ciri dari Yahudi, yang saat berdoa menghadap ke tembok atau dinding ratapan di Kota Suci Yerusalem itu. 

Oleh karena demikian, maka tak heran jika saleh ritual menjadi sangat menjamur di media sosial. Bahkan menjadi seperti virus yang mewabah dan menulari orang-orang agar terpapar hal yang sama: yakni memosting atau mengunggah berbagai sesuatu hal kebaikan (termasuk berdoa) agar dianggap baik atau saleh.

Lalu, apakah menjadi saleh virtual itu baik? Ya, tentu saja. Selama diniatkan, dalam memosting dan mengunggah, benar-benar karena hati yang penuh sungguh karena Allah. Ini sulit. Sebab media sosial memang di-setting sebagai wadah pencitraan sehingga sangat berbeda sama sekali dari aslinya. Walhasil, sangat kecil kemungkinan, ada niat yang tulus dalam memosting dan mengunggah berbagai kebaikan di media sosial.

Sebagian besar orang, saya yakin, mengunggah sesuatu ke media sosial (yang baik-baik) pasti karena ingin mencitrakan diri sebagai pribadi yang baik. Selain itu juga agar mendapat apresiasi dan pengakuan oleh orang lain atas keberadaannya. Manusia selalu butuh ruang untuk mengaktualisasikan diri dan media sosial adalah ruang yang tepat untuk itu. 

Sebenarnya, saleh virtual ini merupakan kompilasi dari saleh ritual dan saleh sosial. Logikanya begini: orang-orang yang baik secara spiritual ditambah baik secara sosial, maka keberadaan media sosial akan sangat membantu untuk memperluas jangkauan kebaikan itu. Jadi, apakah saleh virtual itu baik? Ya tentu saja baik, namanya saja saleh. Saleh itu baik. 

Lalu apakah baik jika kita membingkai diri atau mencitrakan personalitas kita di media sosial sebagai sosok yang saleh, yang gemar menebar kebaikan? Tentu saja baik. Asalkan sesuai dengan kesalehan kita secara ritual dan sosial. Kalau tidak sesuai, namanya bukan saleh. Itu munafik. Sebab tidak sesuai dengan aslinya. 

Nah, di tengah isu korona yang supergawat ini, ada banyak "manusia parabot" yang sedang mencari panggung agar tampil mengemuka. Mereka ingin menampakkan diri sebagai superhero yang menolong sesama atau menjadi pahlawan bagi orang-orang lemah yang tak berdaya lantaran korona.

Pada kenyataannya?

Mereka hanya sedang berburu konten untuk keperluan pencitraan dirinya saja dan kemudian diunggah di akun media sosial milik pribadi, sehingga mendapat julukan baru: pahlawan kemanusiaan. Barangkali demikian. Semoga yang membaca tulisan ini bukan dari golongan orang-orang yang menjadikan korona ini sebagai ajang untuk panjat sosial. 

Sebab (sebagai salah satu contoh, anda boleh cari contoh yang lain), ada banyak anggota DPR-RI, DPRD provinsi dan kota/kabupaten yang mengunjungi konstituennya untuk mengadakan kegiatan bakti sosial; sekadar melakukan penyemprotan disinfektan (yang sesungguhnya tidak sesuai dengan gaji dan fasilitas mereka yang sangat mahal). Kemudian, setelah melakukan kegiatan bakti sosial berupa penyemprotan disinfektan yang tidak seberapa, dibuatlah framing di media sosial bahwa mereka seolah sudah berbuat.

Anggota dewan yang terhormat itu kan nggakmau kalau kedatangannya sepi tanpa warga. Maka, tim yang bertugas, asisten beserta ajudannya, harus mempersiapkan massa untuk hadir dalam kegiatan bakti sosial penyemprotan disinfektan itu.

Coba itu, apa nggak bahaya kumpul-kumpul di musim korona begini? Lalu, apakah yang demikian itu bisa disebut sebagai saleh sosial dan kemudian menjadi saleh virtual setelah kegiatan sosialnya diunggah di media sosial? 

Pertanyaan sederhananya: apakah panjat sosial dengan dalih bakti sosial menyalurkan bantuan sosial untuk orang-orang yang terdampak korona (dan diunggah ke media sosial) itu baik? Apakah yang demikian itu bisa disebut sebagai saleh virtual?

Bakti sosial, menyalurkan bantuan sosial, dan mendatangkan massa yang tidak sedikit, di tengah suasana yang sangat mengkhawatirkan seperti ini, kemudian diunggah ke media sosial dan dicitrakan sebagai bagian dari kebaikan, saya rasa keliru. Ini tidak bisa disebut sebagai saleh virtual, karena dalam praktik sosialnya saja sudah tidak baik.

Bagaimana dengan anda?

Wallahua'lam... 
Previous Post
Next Post

0 komentar: