Rabu, 23 November 2016

Sudah Saatnya (Kita) Bela Agama


Sumber: theatlantic.com

Pada dasarnya, manusia memiliki rasa, jiwa, dan nurani. Dengan itu, ia dapat merespon segala sesuatu yang berada dekat atau berkaitan dengannya. Menjadi marah saat terhina, gembira kala dihibur, dan sedih ketika dilanda musibah. Semua berjalan sesuai dengan ketetapan hukum alam.

Karenanya menjadi sangat wajar kalau (sebagian) Umat Islam murka kepada gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terkait Al-Maidah 51. Pasalnya, sudah sejak dulu kepemimpinan Ahok tidak direstui dan sekonyong-konyong menyatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan.

Ahok memang durjana. Penista agama. Penghina ulama. Jahannam. Dajjal. Umpatan dan berbagai ujaran kebencian membuncah ke permukaan. Mereka meminta Ahok dipenjarakan. Itu hal wajar. Sangat wajar. Serius.

Maka tak heran (sebagian) Umat Islam meresponnya dengan amarah dan kemurkaan. Mereka merasa tersinggung. Berhak marah. Demonstrasi atau unjuk rasa tidak masalah. Ini demi kepentingan agama. Soal harga diri yang dilecehkan oleh seorang yang sudah sejak lama dibenci, yang sudah sedari dulu dicari-cari kesalahannya. Dan, akhirnya ketemu. Fatal!

Saya pun tersinggung. Kok tega-teganya Ahok ngomong begitu. Padahal selama ini, saya dan keluarga mendukung sepak terjangnya yang cukup baik. Karena ketersinggungan itu, saya berdoa agar Ahok segera diberi hidayah. Minimal, meminta maaf secara terbuka kepada seluruh Umat Islam di Indonesia. Syukur, permintaan maaf sudah dilakukan, sekalipun hukum tetap berjalan.

Atas kejadian tersebut, saya ikut membantu Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa - Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), dan ormas lainnya untuk bersama-sama membela kehormatan Islam. Agama Tauhid ini harus dibela. Tidak boleh dihina atau dilecehkan dengan sembarang dan serampang. Allahu Akbar!

Namun pembelaan saya atas Islam tidak dengan turun ke jalan. Biarlah kita berbagi tugas. Ada yang bertugas membersihkan teras, ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Walau dibagi-bagi tugas, tujuannya tetap sama; MEMBELA ISLAM!!!

Cara saya membela Islam agar peristiwa Ahok dan Al-Maidah 51 itu tidak terulang adalah dengan memperdalam ilmu agama. Belajar tata Bahasa Arab (Nahwu/Shorof), belajar ilmu tafsir, serta rutin membaca dan menadabburi Al-Quran. Setelah itu, kurangkul si penista untuk bersama-sama memahami teks ayat suci.

Karena kalau Islam diartikan sebagai rumah, saya tidak mau hanya duduk-duduk di teras, tanpa masuk ke dalamnya dan menikmati fasilitas yang ada. Atau, kalau Islam dianalogikan seperti buah, tentu saya tidak akan mengkonsumsi kulit, melainkan daging atau isinya. Tetapi, untuk mendapatkan kenikmatan dari buah itu, kita perlu mengetahui tatacara membuka kulit. Paham kan?!

Saya pernah mendengar sebuah maqolah yang menyatakan, "tidurnya orang yang punya ilmu lebih mulia ketimbang orang yang melakukan sholat tapi tidak didasari oleh ilmu". Dari kalimat itu, saya belajar agar diberi kekuatan untuk selalu berusaha mencari ilmu Allah yang sangat luas. Minimal, tidak ikut-ikutan melakukan kebaikan tanpa didasari ilmu yang mumpuni. Saya ogah ngebebek. 

*****

Sikap Mulia Soeharto

Dibalik kediktatorannya, presiden kedua RI ini ternyata memiliki sikap Mulia untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Dialah yang mengubah makna Awliya' menjadi pemimpin dari yang semula adalah teman setia. Itu dilakukan untuk terciptanya harmoni kehidupan beragama. Luar biasa. Allahu Akbar!

Karena menurut beberapa ulama tafsir yang digandeng Soeharto ketika itu, makna dari teks Al-Quran harus disesuaikan dengan kondisi suatu negara. Selain itu, sebagian besar ulama dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama'ah berpendapat bahwa mengubah tafsir tidak menjadi soal, asal tidak mengubah teks.

Soeharto melihat Indonesia beragam. Hasil final telah disepakati bahwa Pancasila menjadi dasar negara. Bhinneka Tunggal Ika adalah jati diri bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan nama kebanggaan bagi manusia di negeri Pertiwi ini. Dan UUD 1945 menjadi acuan dasar bernegara. Itu sudah final. Tidak bisa diganggu gugat.

Selain itu, Soeharto juga menyadari bahwa (sebagian besar) Umat Islam di Indonesia cenderung tekstual dalam memaknai Al-Quran. Bahkan, mereka hanya melihat terjemahan Bahasa Indonesia untuk bisa memahami kitab suci. Ironi. Menjadi gawat, saat hanya membaca teks terjemahan kemudian merasa paling pintar dan benar.

Sumber: merdeka.com

Atas dasar itu, Soeharto mengubah makna Awliya' menjadi pemimpin. Karena dia khawatir akan terjadi konflik horizontal kalau tafsir Awliya' tetap pada teman setia. Namun, sayangnya kontroversi makna Al-Maidah 51 digagalpahamkan; "Memilih teman setia saja tidak boleh, apalagi pemimpin."

Itulah sebabnya mengapa saya ingin membela Islam dengan belajar atau memperdalam ilmu agama (Islam). Saya ingin paham cara dan adab dalam menafsirkan Al-Quran, mengerti Bahasa Arab, dan (intinya) tidak serampang dan sembarang mengemukakan dalil. Kata Tan Malaka, padi tumbuh tak berisik.

Dalam hal pengubahan makna, saya bangga dengan tujuan mulia Soeharto. Bahwa dia menyadari negeri ini Bhinneka (tapi) Tunggal Ika. Dia juga paham kalau putra-putri Ibu Pertiwi mudah tersulut emosi dan amarah. Maka, dia menghindari konflik horizontal itu. Mulia sekali.

Al-Fatihah...

*****


Sumber: anneahira.com

Sudah seharusnya kita berduka atas tragedi kemanusiaan di Gereja Oikumene Samarinda dan Muslim Rohingya di Myanmar. Imam Ali pernah berkata, "kalau mereka bukan saudara seiman, anggaplah mereka sebagai saudara kemanusiaan."

Artinya, semua orang adalah saudara. Kalau sudah menyebut saudara, berarti ada kata membutuhkan dan dibutuhkan. Betul kata GusDur, "kalau kamu mampu berbuat baik kepada siapa pun, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu."

Kita berawal dari Dzat yang Satu. Kemudian dijadikan ramai seisi bumi. Ada pria dan wanita, bersuku, berbeda pendapat dan pandangan; tujuannya hanya satu, yakni agar kita mampu berlomba dalam kebaikan. Tuhan bisa saja menciptakan umat seragam, tetapi rupanya Dia merancang strategi untuk menguji keberimanan kita, yaitu dengan menciptakan keragaman di muka bumi.

Maka itu, sungguh nista-lah kita ketika sama sekali tidak peduli dengan peristiwa di Samarinda dan Myanmar. Saya menutup diri dari ucapan, "Ah yang di Samarinda mah pengalihan isu dari Ahok, tujuannya cuma biar citra Islam jelek." Sekali lagi, saya menutup diri dari itu. Karena saya melihat ada korban, maka itu adalah kejahatan kemanusiaan.

Begitu juga yang menimpa komunitas Muslim Rohingya di Myanmar. Saya melihatnya tidak hanya sekadar permasalahan agama, tetapi soal tirani mayoritas dan minoritas. Atau bisa jadi karena ada hal internal yang kita tidak ketahui. Apa pun alasannya, kejahatan kemanusiaan tidak bisa dibiarkan!

Lucunya, Umat Islam di Indonesia marah kepada Buddhist dengan cara membabi-buta dan menggeneralisasi bahwa semua Buddhist salah. Bahkan, di salah satu media online terdapat judul berita, "Teroris itu Botak, bukan Berjenggot," ini menjadi permasalahan kita bersama. Cara berpikir kita selalu saja soal kulit dan identitas. Padahal siapa pun berpotensi menyandang gelar sebagai teroris, tanpa mengidentifikasi bentuk fisik yang sudah menjadi ajaran (dogma/doktrin) di setiap agama.

Maka sudah saatnya kita membela agama. Memunculkan kembali jiwa keagamaan kita. Serta mengemukakan ajaran moral yang terdapat di kitab suci. Ajaran Buddha adalah Dharma dan Islam soal Keselamatan, Kedamaian, Pembebasan, dan Sentosa. 

Sementara kata Agama berasal dari bahasa sansekerta; A berarti tidak, dan Gama berarti hancur. Agama memiliki arti tidak hancur. Seseorang yang beragama berarti sudah mendapat jaminan untuk hidup menjadi mulia dan tidak hancur, apalagi hina. 

Dan membela agama, menurut saya, tidak harus dengan menyerang (eksternal). Tidak juga dengan melawan kejahatan dengan kejahatan. Tapi mendongkrak ruh kesucian yang terdapat di dalamnya (internal). Membuktikan bahwa ajaran agama sendiri adalah soal kebaikan, akan membuat nama baik agama terangkat dan tidak lagi dipandang buruk.

Saya teringat pidato Bung Karno;
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah menjadi orang Nusantara dengan adat dan budaya yang kaya raya ini."

Dia juga pernah mengatakan bahwa segala ideologi dari luar, termasuk agama yang masuk ke dalam Indonesia, haruslah menyesuaikan adat dan budaya yang ada. Kalau tidak ideologi tersebut akan hancur dengan sendiri. Dan Pancasila pun adalah hasil rumusan dari beberapa ideologi dunia.

Jadi, jangan membawa konflik internal negeri orang ke dalam negeri sendiri. Jangan sampai Umat Islam Indonesia membenci Umat Buddha di Indonesia hanya karena tragedi kejahatan kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar.

Menurut KH Ahmad Shiddiq ada 3 kategori saudara: Pertama, saudara sesama Umat Islam (Ukhuwwah Islamiyyah). Kedua, saudara sesama anak bangsa (Ukhuwwah Wathoniyyah). Ketiga, saudara sesama manusia (Ukhuwwah Basyariyyah).

Mulai detik ini, mari kita bela agama agar persaudaraan tetap terjaga. Setiap saudara kita ditimpa musibah, kita harus segera tanggap. Peduli. Membantu. Minimal mendoakan agar diringankan bebannya. Membela agama berarti tidak mengabaikan ketiga saudara itu. Membela agama harus karena saudara, tidak boleh tidak. Karena mencintai saudara itu berarti mencintai penciptanya.

Pesan saya: Ayo, ajak mereka untuk mengerti agama kita. Beri pengetahuan yang lebih soal agama kepada si penista. Karena asbab dia menista adalah karena ketidaktahuannya, dan tugas kita adalah memberitahu, bukan dengan amarah, bukan dengan kebencian, tetapi dengan cinta. Moso' ada orang tersesat (kafir, red) malah dimarahin? Dikasih tahu dong jalan keluarnya. Heuheuheu



Wallahu A'lam



Bekasi, 23 November 2016



Aru Elgete
Previous Post
Next Post