Selasa, 15 November 2016

Redam Kebencian Dengan Menulis Kreatif

Sumber gambar: Google

Menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan, Setiap orang pasti bisa menulis. Tentu dengan tujuan dan kepentingan yang beragam. Seorang penulis akan mendapatkan kepuasan batin saat karyanya dibaca oleh banyak orang, apalagi kalau bisa menghasilkan uang dari sekumpulan kata dan kalimat yang tersusun rapi itu. Menulis merupakan kegiatan yang sangat mudah dan murah. Dalam hidupnya, manusia tidak mungkin tidak menulis.

"Jika kau bukan anak seorang ulama atau raja, menulislah!" kata Imam Al-Ghazali.
Bagi seorang penyair, menulis adalah kehidupan. Menulis berarti memperpanjang usia di keabadian. Sebab dengan tulisan, seseorang akan hidup selamanya. Tak jarang pula, penyair dari kalangan sufi senantiasa menulis sebagai kedekatan jarak dengan Tuhannya. Ia merasa sedang mencumbui Tuhan berkali-kali saat menulis puisi kecintaan, dan hanya ia bersama Tuhan yang tahu maksudnya. Seorang pujangga sekaliber Jalaluddin Rumi, misalnya, senang menulis puisi sebagai wujud cinta kepada Sang Pencipta.

"Aku padamu, maka jangan kau kembalikan aku kepada diriku," Rumi.
Sebagian besar mahasiswa menganggap bahwa kegiatan menulis adalah wujud pergerakan atas tirani yang mencekik peradaban. Mahasiswa identik dengan tulisan yang membangun, yang edukatif, yang mendidik, yang memberikan beragam informasi penting untuk diketahui oleh masyarakat luas, oleh rakyat Indonesia, oleh sekelompok orang yang menjadi titik abdi seorang mahasiswa.

"Menurut saya, mahasiswa yang tidak (senang) menulis, panggillah mereka dengan sebutan selain mahasiswa," kata salah seorang dosen di kampus saya.
Menulis berarti menyampaikan ide atau gagasan. Menulis merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi serta mengajak pembaca agar memiliki persepsi dan pandangan yang sama. Penulis akan menghasilkan teks, sementara teks ditafsirkan sesuai dengan kadar penalaran pembaca. Teks itu bisu, yang membuatnya hidup adalah hasil dari olah pikir si pembaca. Bagi saya, menulis adalah pemberian inspirasi, solusi, serta kritik yang membangun tanpa mengujar kebencian dan menebar kedengkian.

Namun, bagaimana jika tulisan yang ditayangkan justru membuat hati pembaca menjadi panas dan cenderung provokatif, bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan? 

Kita semua tahu, isu nasional yang saat ini sedang hangat berkembang. Media sosial menjadi sampah. Berita tak bermutu mewarnai hari-hari. Bahkan pemelintiran berita pun terjadi. Ada pula yang memuat berita tanpa klarifikasi (tabayyun) dan tidak cover both sides (seimbang). Terkadang, sebagian dari kita justru tidak mengindahkan isi berita; melihat dan membaca judul, langsung membagikannya. Tidak ada penyaringan atau berpikir sebelum bertindak. Akhirnya, hanya kegaduhan yang bisa kita saksikan di linimasa media sosial.

"Tujuan Indonesia merdeka adalah mencerdaskan anak bangsa, bukan demokrasi. Demokrasi justru mengikis daya nalar warga negara," ucap FZ (23), sahabat saya di kampus.
Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan menyatakan bahwa Demokrasi di Indonesia ini lahir karena tiga poin penting yang menjadi rujukan Hatta dalam merumuskan Pancasila, yakni Piagam Madinah, Kolektivisme desa-desa, dan Sosialisme Barat. Sementara Ir Soekarno menyatakan bahwa segala macam ideologi, termasuk agama, yang masuk ke tanah Pertiwi haruslah menyesuaikan kultur dan budaya yang ada. Karena kalau tidak, ideologi itu pasti tak bertahan lama.

Jadi, menulis itu sesungguhnya adalah kegiatan yang menjadi hak bagi setiap warga negara. Menulis adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Menulis kebencian dan ajakan membunuh pun seperti mendapat dukungan atas kebenaran yang berhasil dihimpun dari kelompok sendiri, bahkan oleh demokrasi itu sendiri. Mencaci sudah menjadi biasa. Berujar dengan kata-kata kasar merupakan hal yang sangat wajar.

Atas dalih demokrasi dan hak warga negara, semua dilakukan. Menjadi gaduh. Riuh. Ricuh. Rusuh. Kain selendang Ibu Pertiwi pun kini lusuh, karena selalu digunakan untuk menyeka keringat kala melihat putra-putrinya yang menganggap saudara sebagai musuh.

Demokrasi macam apa itu?
Sesuaikah dengan budaya dan tradisi leluhur kita yang katanya welas asih itu?
Apakah seperti itu peradaban yang dibangun dari desa-desa?
Atau bahkan Piagam Madinah mengajarkan seperti itu?

Negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi ini sedang diantah-berantahkan oleh kebencian. Keadaan bangsa yang disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa ini menjadi carut-marut karena berbeda. Bahkan, puisi Mpu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa hanya menjadi tumpukkan sampah yang sudah dianggap tak berguna. Ekasila yang menjadi ciri dari manusia Indonesia seperti pudar ditelan halilintar.

Saudaraku, sebangsa dan setanah air, yang dilahirkan dari rahim Ibu Pertiwi, marilah menjadi cermat. Menulislah dengan kejernihan hati. Sebar informasi dengan kepala dingin. Entaskan kebencian yang menjamur di dalam kepala. Cukup sudah kita di-Devide et Impera-kan oleh dalang-dalang yang menyutradarai lakon jahannam selama ini.

*********

Membaca buku adalah awal dari menulis kreatif

Saya mengimbau kepada seluruh santri di Indonesia agar tidak terpancing untuk menyebar informasi dan kabar yang belum jelas kebenarannya. Mari kembali mengaji. Kembali mendaras Al-Quran, menadabburi pesan moral yang terkandung di dalamnya. Teruslah cari ilmu dari sela-sela kain sarung dan peci Pak Kiai. Tebar senyum kepada siapa pun dan senantiasa mencium punggung tangan orang yang lebih tua. Jangan mengaji dari internet. Belajar agama harus dengan yang ahlinya.

"Nak, kalau selesai ngaji hatimu menjadi adem, kamu sudah berhasil ngaji dengan orang yang tepat. Tapi kalau selesai ngaji justru membuat hatimu panas dan menimbulkan benih kebencian dan permusuhan, cari guru yang lain," kata ibu kepada anaknya.

Gunakanlah media sosial sebagai ajang perbaikan diri, sebagai alat untuk 'menjual diri' agar membangun citra yang positif. Bukan dengan caci-maki, hujat-damprat, dan berakhir pada permusuhan. Sebab fungsi dan tujuan media sosial sesungguhnya bukan untuk menebar kebencian dan mengajak untuk melakukan pembunuhan, pemenggalan, pemancungan, dan serupanya.

Anugerah akal yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma, mari kita pergunakan dengan sebaik mungkin. Karena Tuhan menyebut bahwa makhluk melata yang paling hina di dunia ini adalah yang tidak menggunakan akal dan pikirannya. Bersyukur atas pemberian akal adalah dengan memanfaatkannya untuk berpikir dan mengasah daya nalar serta ketajaman dalam menilai sesuatu.

Tuhan juga memberikan hati; segumpal darah yang sangat berpengaruh bagi keberlangsungan hidup manusia. Hati dapat menjadi halus saat secara konsisten menjadikan Tuhan dan Al-Quran sebagai titik kembali. Namun kalau kepulanganmu pada Tuhan dan Al-Quran justru membuatmu menjadi pembenci dan pendengki, mari benahi diri kembali (muhasabah an-nafs).

Akal dan hati sangat berperan penting dalam kegiatan menulis. Ketajaman akal dan kehalusan hati adalah sebuah pemantik agar tulisan yang dibuat menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca. Akal dan hati merupakan alat penunjang kreativitas dalam menulis, bahkan pendongkrak agar kemuliaan terangkat, sementara kebencian terkubur bersama pedalang Devide et Impera di tanah yang dipenuhi lumpur kedurjanaan.

Mulai sekarang, buka gadgetmu. Ayo menulis. Kita harus melawan dan meredam kebencian. Menulislah dengan kreatif, dengan konten yang positif, yang edukatif dan informatif. Kepada seluruh santri di seluruh Indonesia, jangan lakukan provokasi atau dirimu yang mati tanpa inovasi!
Previous Post
Next Post