Selasa, 11 Oktober 2016

Cinta dan Benci untuk Ahok



Ahok yang tempramental, yang angkuh, yang omongannya selalu asal, ternyata ganteng juga saat kepalanya ditutupi sorban. Kalau begitu, namanya diganti menjadi Basuki Nurul Qomar. Ah, lucunya.

Orang Indonesia kan senang dengan segala sesuatu yang berbau Arab, eh maksudnya Islami. Arab dan Islam itu satu kesatuan. Arab ya Islam. Islam ya Arab. Titik! Andai Pak Ahok mau didandani dengan pakaian ala Arab. Pasti banyak yang cinta. Percaya deh.

Tapi sayangnya agama bukan untuk dijual demi kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal kalau Ahok mau pindah agama, pasti banyak yang cinta. Atau mungkin juga, dia sedang memberi sinyal bahwa Indonesia ini harus dan tetap Bhinneka Tunggal Ika. Entahlah.

Ada tanggapan yang selalu berbeda untuk Ahok. Bahkan, Ahok dianggap sebagai pemecah belah umat. Puncaknya ketika dirinya menyinggung ayat. Tapi syukurnya, Ahok sudah minta maaf dengan segala penyesalannya.

Ahok dibenci dan dicinta. Banyak yang membencinya, mungkin karena bukan pribumi, cina, kafir, dan lain sebagainya. Namun tidak sedikit yang mencintanya, lantaran Ahok dianggap asik, tegas, apa adanya, dan seorang eksekutor andal.

Bagi orang-orang yang sudah kadung membenci Ahok, mereka tak perlu lagi melihat kinerja gubernur petahana itu, apapun yang dikerjakan pasti salah, wajib dikritik.

Sementara orang-orang yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ahok, segala sesuatu yang dilihat darinya tentu mengandung unsur kebaikan dan keindahan. 

Keduanya berada di batas pemisah antara benci dan cinta. Hampir berlebih tapi masih bisa terkendali. Mereka-mereka itulah yang hampir tidak bisa berpikir objektif mengenai Ahok.

Ada yang bilang, "Ibukota itu miniatur negara, harus bisa melambangkan Kebhinnekaan, jangan rasis mulu dong,"
Selain itu, ada juga yang mengatakan, "Ahok itu kafir harbiy, wajib diperangi, seluruh kebijakannya bertentangan dengan Islam. Darahnya sudah halal untuk dibunuh!"

Dalam tatanan negara, konstitusi sudah mengatur sedemikian rupa sebagai dasar berlangsungnya kehidupan. Sementara kitab suci agama-agama sebagai penunjang moralitas hidup berbangsa. 

Keduanya mendapat peran masing-masing, tidak bisa dipertentangkan, juga tidak bisa ditumpang-tindih. Antara kitab suci dan konstitusi harus berjalan seirama, agar harmoni kehidupan bisa dirasakan.

Membela dan mencintai Ahok mati-matian dengan mengatasnamakan konstitusi itu baik, karena konteksnya bukan pada ranah keagamaan. Ahok sebagai gubernur, bukan imam salat.

Sementara membenci dan memaki Ahok mati-matian juga tidak sepenuhnya salah. Primordialitas memang selalu ada di setiap lini kehidupan manusia, termasuk agama. Keinginan untuk memiliki pemimpin dari golongan sendiri, memang sering terjadi.

Menjadi sangat wajar ketika menginginkan Ahok yang berbeda itu untuk tidak menjadi seorang pemimpin. Sangat wajar. Namun, menjadi tidak wajar ketika kitab suci yang menjadi modal awal penunjang moralitas dibawa ke ranah politik untuk dijadikan alat kampanye. Dan itu pun masih wajar di Indonesia. Wajar. Sangat wajar.

Untungnya kita hidup di alam demokrasi. Di sini, kita bebas mencintai dan membenci. Kita masih diberi kebebasan untuk membela dan mencaci. Lalu pernahkah kita bayangkan kenikmatan alam demokrasi ini selalu saja digerogoti oleh segerombol orang gila?

Jadi, silakan anda membenci dan mencintai Ahok. Demokrasi memberikan ruang untuk itu. Selama tidak bermimpi menghilangkan demokrasi, menggantikan Pancasila dengan yang lainnya, dan sering khilaf-khilaf ah gak jelas, silakan nikmati hidup sehidup-hidupnya.



Wallahu A'lam...



Bekasi, 11 Oktober 2016


Aru Elgete
Previous Post
Next Post