Sabtu, 01 Oktober 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (3)

Sumber: santri-sarung.blogspot.com

Hari ini, 1 Oktober 2016, merupakan momentum dimana persatuan dan persaudaraan harus tetap lestari. Kita memperingati dua hari besar, yakni Kesaktian Pancasila dan Tahun Baru Islam (1 Muharram 1438). Keduanya mengingatkan kita terhadap pentingnya menjaga persaudaraan. Karena sesungguhnya keutuhan bangsa dan agama ada dalam genggaman orang-orang yang mencintai persaudaraan.

Di dalam Pancasila terdapat banyak nilai-nilai keislaman, pun sebaliknya. Pancasila adalah Ideologi yang menjadi alternatif, yang tidak ke barat dan timur, ia menjadi titik tengah di antara Liberalisme dan Komunisme, juga menjadi dasar berdirinya negara yang bukan teokratik dan sekuler. Pancasila mencintai manusia sebagai manusia, mengeratkan persaudaraan tanpa melihat latar belakang. Bahkan yang tidak menyukai Pancasila sekalipun, akan dicintai dengan ketulusan dan kelembutannya. Itulah Pancasila.

Sementara nilai-nilai keislaman, yang menjadi langkah awal untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah, juga menjunjung tinggi sikap moderatisme. Yakni paham yang tidak condong ke kanan dan ke kiri, yang mendidik kita agar menjadi ummatan wasath, laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah, yang kalau hal itu diterapkan dalam keseharian, maka kita akan menjadi khairu ummah yang peduli dan peka terhadap keniscayaan Ukhuwah Islamiyyah.

Maka, tidak ada lagi pertentangan di antara keduanya. Seorang Pancasilais jika sudah memahami makna dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, tidak akan menjadi seorang yang anti-agama. Begitu pun, seorang Islamis. Ketika sudah mendalami Islam dengan tidak setengah-setengah, maka ia tidak akan memusuhi Pancasila, karena di dalam Islam tidak mengajarkan untuk antipati kepada apa dan siapa pun.

Islam sebagai tatanilai, sudah sangat sesuai dengan Pancasila. Islam mengajarkan ketaatan, kepasrahan, kepatuhan, kasih sayang, cinta, kedamaian, kesejahteraan, kemanusiaan, dan ketenteraman. Lalu, apa yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila? Kalau ternyata Pancasila belum mampu menerapkan nilai di keseharian manusia Indonesia, jangan lantas mengubahnya menjadi Islam sebagai dasar negara.

Biar Islam tetap menjadi Islam, Pancasila tetap sebagai Pancasila. Jangan dicampuradukkan, jangan pula dipertentangkan, apalagi menjadikan keduanya sebagai opsi untuk dipilih salah satu diantaranya. Keduanya harus berseiring, berdampingan, berjalan pada koridornya masing-masing, namun keduanya memiliki peran yang sama. Islam menjadi pendongkrak moral bagi setiap individu warga negara, sementara Pancasila menjadi dasar moralitas kenegaraan kita.


Di Tahun Baru ini, yang berdekatan atau bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, mari kita melakukan hijrah. Berpindah dari keburukan menuju kebaikan, bergerak dari pembodohan pada pencerdasan, berjuang untuk memusnahkan permusuhan menuju pada persatuan dan persaudaraan.

Atas dasar pemikiran di atas, saya berasumsi bahwa Indonesia dan Islam tidak akan pernah menciptakan kebaikan, kecerdasan dan pencerdasan, serta persatuan dan persaudaraan, kalau masih mempertentangkan kedua dasar itu. Islam dan Pancasila adalah faktor pendukung demi terciptanya Ukhuwah Islamiyyah, yakni persaudaraan yang bernapaskan nilai, pola, dan prinsip keislaman. Persatuan antar manusia. Persatuan dan persaudaraan secara universal, yang disatukan serta dipersaudarakan karena, oleh, dan untuk cinta.

*****


"Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah, serta janganlah kamu sekalian berpecah-belah," QS. Ali Imron 103.


Alquran sebagai pedoman serta petunjuk bagi seluruh umat manusia di muka bumi, banyak memberikan pesan damai tentang urgensitas persatuan dan larangan bermusuhan. Untuk memaknai buku panduan umat manusia ini, hendaknya secara universal dan komprehensif, tidak parsial atau pun setengah-setengah karena hanya terpaku pada teks. 

Ketika memaknai teks Alquran, terlebih ketika hanya melihat dan membaca terjemahan karena keterbatasan ilmu, maka yang dibutuhkan adalah sikap rendah hati, tidak menganggap bahwa pemaknaannya terhadap teks merupakan kebenaran yang sesuai dengan maksud dan kebenaran berada pada Allah.

Hablun (dalam bahasa Arab) atau Cable (dalam Bahasa Inggris), memiliki pemaknaan yang artinya tali, atau sesuatu yang sifatnya menghubungkan. Berpegang kepada tali Allah dalam QS. Ali Imron 103, berarti menjaga konsistensi untuk tetap melakukan atau menciptakan sesuatu yang ada pertaliannya dengan Allah.

Allah adalah Tuhan untuk keseluruhan. Dia bukan pilihan diantara pilihan-pilihan yang lain. Dia tidak menjadi salah satu di antara dua pilihan. Dia tidak beragama. Kekuasan-Nya tidak tersekat oleh apa pun. Dengan berpegang pada sesuatu yang selalu menghubungkan kita pada universalitas nilai keislaman dan keilahian, maka persaudaraan tercipta, sementara keterpecahan tidak mungkin terjadi.

Allah hanya sebuah nama bagi Dzat Yang Kuasanya tak terhingga. Dia tidak beragama. Tetapi di setiap agama pasti memiliki nama tersendiri untuk menyebut diri-Nya. Di setiap agama juga pasti terdapat sebuah keyakinan dimana ada satu Dzat yang tak kasat mata, namun diyakini memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa. Itulah yang oleh orang Islam dan orang Arab disebut dengan nama Allah.

Seluruh kebaikan, muaranya adalah Allah. Berbuat baik pada sesama tanpa menyekat, merupakan pertalian yang berujung pada sifat Keilahian. Untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah atau persaudaraan antarmanusia dengan prinsip, pola, dan nilai keislaman yang damai, tenteram, selamat, dan lain sebagainya, maka kita harus tetap konsisten berpegang pada tali Allah; tali kebenaran, tali kesucian, tali kejujuran, dan tali keindahan.

Sementara kebenaran, kesucian, kejujuran, dan keindahan, takkan bisa dikalahkan oleh keserakahan, kemunafikan, kebodohan, kejumudan, kekakuan, dan kebekuan. Berpegang dengan tali Allah berarti berani berbuat jujur, berlaku benar, sehingga keindahan dapat terlihat demi mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah.

Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1438. Selamat memperingati Kesaktian Pancasila. Selamat meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah. Semoga kita dapat berhijrah, demi mempertahankan kesucian dan kebenaran yang terdapat dalam kandungan Pancasila.

Dengan itu, persaudaraan yang tanpa sekat, persatuan yang dengan mengedepankan universalitas cinta, kerekatan yang tanpa memandang latar belakang orang lain, yang mengutamakan nilai-nilai luhur Pancasila dan Keislaman dapat terwujud serta menjadi kegembiraan bagi seluruh umat manusia.

-TAMAT-



Wallahu A'lam





Bekasi, 1 Oktober 2016



Aru Elgete
Previous Post
Next Post