Jumat, 30 September 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (2)


Kalau Islam sudah menjadi tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial, maka kekuatan cinta dapat dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh demi menciptakan persaudaraan.

Islam sebagai nilai yang berpola, berprinsip, dan bernafaskan persatuan dengan tanpa sekat, dengan universalitas, serta melihat kondisi sosio-kultural secara menyeluruh, akan memberikan harapan persaudaraan yang utuh bagi sesama dan semesta.

Maka Islam menjadi lentur, menjadi empati bagi kemanusiaan tanpa embel-embel apa pun, menjadi tak berjarak dan bersekat, tak terkoyak dan terkotak, sebab fungsi cinta adalah sebagai perekat persaudaraan.

Ketika berbicara soal cinta, maka tak ada lagi pembahasan mengenai pahala, ketakutan akan dosa, berharap surga atas kebaikan yang dikerjakan, serta berusaha dengan sekuat tenaga dalam mengerjakan kebaikan demi menghindari siksa neraka.

Karena pahala, dosa, surga, dan neraka sesungguhnya adalah penyekat dari cinta yang bermakna universal. Kalau tujuan akhir dari sebuah pengembaraan di dunia hanya pada keempat hal itu, maka Ukhuwah Islamiyyah akan menjadi angan-angan yang kosong; utopis.

Berpikir layaknya pedagang yang selalu ingin mendapatkan keuntungan dari setiap perilaku kebaikan, membuat kita abai pada kemerosotan moral yang terjadi di sekitar. Sebab kita pasti berpikir akan mendapat kerugian ketika menjadi bagian dari keterpurukan itu.

Padahal jika kita sudah menjadi bagian dari objek kemerosotan moral yang terjadi, akan sangat mudah untuk mewarnai lingkaran itu dengan universalitas cinta, dan nilai-nilai keislaman; ketaatan, kepatuhan, keberpasrahan diri pada Tuhan yang dapat mengumbar dan menebar keselamatan serta kedamaian.

Saat kita berperilaku seperti budak yang takut akan siksa jika melanggar aturan dan ketetapan, justru dapat meruntuhkan nilai-nilai keislaman yang digaungkan demi tegaknya Ukhuwah Islamiyyah di bumi.

Pasalnya, kita akan enggan meleburkan diri ke dalam komunitas atau lingkaran kemaksiatan karena dibayang-bayangi oleh siksaan dan ancaman yang menakutkan.

Padahal, kembali dikatakan, bahwa dengan melebur ke dalam lingkaran itu, kita dapat mewarnainya dengan polarisasi kehidupan yang estetik dan dialektik.

Tuhan pun mengetahui segala bentuk ketersembunyian dan kesunyian dalam hati. Dia melihat serta memahami niat tulus kita dalam menegakkan persaudaraan yang diselimuti oleh prinsip keislaman.

Pun ketika kita hanya berfokus pada neraka dan surga dalam pengembaraan hidup di dunia, maka yang akan terjadi adalah ketersekatan yang akan mempersulit terbentuknya persaudaraan. 

Karena iming-iming pahala, ancaman dosa, kenikmatan surga, dan siksa neraka, primordialisasi Islam akan menjadi benalu dalam kehidupan yang dinamis, yang dengan menghilangkan hal-hal tersebut, harmonisasi kehidupan yang estetik menjadi nyata.

Maka, tujuan akhir kita adalah soal Ukhuwah Islamiyyah. Kebersatuan, persaudaraan, dan keniscayaan akan didasari oleh cinta. Sebab cinta adalah permadani kehidupan yang diberikan Tuhan.

"Cinta merupakan kemurnian sejati, sebagai pendobrak dan penghancur tembok pemisah antara kita, juga untuk memusnahkan segala kemunafikan serta kepentingan yang justru menjauhkan diri dari kerelaan Tuhan." Pikirku, di kaki gunung Pangrango; saksi bisu perjalanan Soe Hok Gie.

Dengan begitu, kita tak perlu lagi mengajak Tuhan untuk berhitung soal pengeluaran jasa dan sebagian rezeki, yang kemudian mengharap imbalan dari itu. Kita akan melihat segala sesuatu adalah Tuhan, atau setidaknya terdapat unsur ketuhanan dari setiap objek penglihatan.

Artinya, kita selalu dalam pengawasan Tuhan, senantiasa menjadi pelayan-Nya, melaksanakan fungsi staf ahli (Khalifah fil-ardl) karena setiap langkah kaki dan desahan nafas kita sudah tak lagi berjarak dengan cinta. Dan cinta itu adalah Tuhan.

Saat Ukhuwah Islamiyyah sudah tegak dan terwujud, pemutlakan kebenaran Tuhan atas penafsiran diri yang sangat terbatas tidak diperkenankan merajalela. Sikap keagamaan yang jumud, rigid, kaku, beku, dan kepala batu akan musnah.

Hal tersebut akan tersingkir dengan sendirinya, karena yang tersisa hanyalah ketawadluan, sikap toleran, saling menerima kebenaran lain yang juga hasil penafsiran, dan sikap saling mengasihi satu sama lain, melebur pada kemaksiatan untuk melanjutkan perjalanan menuju ketaatan, bukan menghakimi dan menyesatkan ketersesatan.

Pada akhirnya, semua makhluk bergembira. Kegembiraan itu membumihanguskan kebencian. Dan kita akan menyongsong pada persaudaraan yang titik gravitasinya adalah nilai-nilai keislaman.


-BERSAMBUNG-


Wallahu A'lam





Cibodas, 30 September 2016



Aru Elgete  
Previous Post
Next Post