Jumat, 23 September 2016

Mengutuhkan persatuan untuk membangun Ibukota


Sumber: mediaindonesia.com


Berawal dari Pemilihan Presiden (2014) yang hanya terdapat dua pasang calon, membuat masyarakat Indonesia terpecah. Ketika itu, saling hujat, menjatuhkan, dan menganggap pilihannya adalah yang paling baik menjadi hal wajar. Penghujatan dan penjatuhan tersebut rupanya berkepanjangan hingga kini.

Ada yang berasumsi bahwa presiden terpilih adalah Satrio Piningit yang diyakini akan membuat pembaruan dan perubahan bagi Indonesia, juga ada banyak asumsi yang menganggap bahwa Jokowi tidak pantas menjadi presiden, karena tidak menepati janjinya untuk berkhidmat kepada DKI Jakarta selama satu periode. Dirinya juga dianggap sebagai petugas partai dan bonekanya Megawati.

Selain itu, karena kepergian Jokowi dari DKI menuju istana negara, ada yang beranggapan bahwa Jokowi ingin mengkristenisasikan Ibukota. Sampai pada akhirnya, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok menjadi bulan-bulanan ormas keagamaan dan sebagian masyarakat Jakarta.

Sepeninggal Jokowi dari DKI, isu SARA mulai diangkat ke permukaan, bahkan menjadi tema utama saat khutbah atau ceramah di rumah-rumah ibadah. Akibatnya, banyak masyarakat yang terprovokasi dan membenci kepemimpinan Ahok. Segala bentuk kegiatan atau program yang dilakukan Gubernur itu, selalu salah dan hampir sama sekali tidak ada hal positif yang bisa dinilai dari pribadi maupun gaya kepemimpinan Ahok.

Masyarakat kembali terpecah, kembali membuat sekat untuk saling membenci, bahkan membangun tembok kebencian yang lebih besar lagi sebagai penolakan dari kepemimpinan Ahok, tembok kebencian itu adalah firman Tuhan yang Suci, yang digunakan untuk turut serta dalam perpolitikan yang penuh intrik dan kepentingan. Hal tersebut berujung pada ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap pemuka agama yang dengan sengaja membangun tembok kebencian.

Karena ketidakpercayaan itu, para pemuka agama di setiap ormas keagamaan memperbarui tembok kebenciannya. Yakni dengan menilai betapa buruknya gaya komunikasi Ahok yang tempramental. Menjelang Pilkada DKI, tembok kebencian itu semakin kokoh, menjadi penghalang bagi kemajuan Ibukota. Karena untuk memajukan Ibukota Negara, dibutuhkan persatuan persepsi bahwa kebencian hanya berujung pada penghancuran dan keterpecahan. Esensi gotong royong, ramah, toleran, dan welas asih menjadi pudar tak berbentuk sama sekali.

Maka itu, siapa pun pilihan kita dalam pesta Demokrasi di DKI Jakarta nanti, diperlukan proses pendewasaan diri dalam bersikap. Pasalnya, warga Jakarta kini sudah cerdas, memiliki daya intelektualitas yang memadai, tidak bisa lagi dibodohi dan diberikan asupan kebencian untuk menjatuhkan pilihan (Cagub-Cawagub) lain. Kalau ternyata masih terdapat tembok kebencian di mana-mana, itu disebabkan karena ketidakmengertian kita pada pentingnya persatuan dan kesatuan untuk sama-sama menjadikan Ibukota Negara lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini, saya mengimbau kepada para pembaca, agar melakukan publikasi di akun Sosial Media dengan konten yang positif dan mendidik, bukan memublikasi yang bertujuan untuk memecah keutuhan persatuan kita. Silakan dukung pasangan Cagub-Cawagub pilihan anda dengan mengangkat prestasi-prestasinya ke permukaan, bukan menjelekkan dan menjatuhkan pasangan lain. Siapa pun yang menjadi Gubernur selanjutnya, kita harus dukung dan menghapus kenangan kebencian di hari kemarin.

Karena keutuhan persatuan kita adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun Ibukota, bukan dengan perpecahan yang justru membuat tembok kebencian semakin jelas terlihat dan sulit untuk dihancurkan.


Wallahu A'lam.



Bekasi, 23 September 2016


Aru Elgete
Previous Post
Next Post