Rabu, 28 September 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (1)



"Al-muslimu akhul Muslim," sepotong hadits yang sejak SD, menjadi sebuah kebanggaan. Pertama, karena kehapalanku pada teks tersebut. Kedua, adanya sebuah harapan agar Islam dapat bersatu oleh, dari, dan untuk persaudaraan. Ketiga, di dalamnya tersirat bahwa Islam takkan terpecah dan dipecah. Menjadi satu kekuatan untuk melawan dan meruntuhkan segala jenis urusan keduniaan yang tidak bergaris-lurus dengan Allah.
Islam sebagai sebuah harapan dengan jalan kebenaran dan ruang proses bagi perbaikan diri. Islam dengan keluwesannnya mampu merangkul siapa pun untuk memahami serta mempelajarinya sebagai sebuah tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial.

Islam adalah tatanilai. Karenanya, ia mampu mengilhami manusia untuk tetap berislam; patuh, berpasrah, memberi kedamaian, menebar keselamatan, menabur kesejahteraan, dan lain sebagainya. Ia juga sebagai bentuk kebudayaan. Islam mampu membuat siapa pun, yang berada dalam lingkarannya, berbudaya, berakal-budi, dan memiliki pekerti yang luhur. Sebagai tatanilai dan kebudayaan, Islam akhirnya membentuk sebuah tatanan kehidupan sosial yang estetik, harmoni, dan menjadi lebih dialektik.

Ketiga poin itu adalah titik berangkat keislaman pada universalitas kepribadian, baik di dalam diri manusia atau pada Islam itu sendiri. Ia mencair pada kondisi sosio-kultural di setiap tempat persinggahannya. Pada akhirnya, Islam tak menjadi sesuatu yang bersifat primordial, sektarianisme, dan romantika cinta yang membabi-buta.

Ketika Islam menjadi sebuah primordialitas keagamaan yang menimbulkan sektarianisme karena kecintaan yang begitu romantik sehingga membabi-buta dalam mencintanya, maka esensi dari keislaman itu menjadi hilang, buyar, tak berbentuk. Padahal Islam tak tersekat. Justru karena cinta, Islam menyeluruh, memaknai semesta sebagai kekasih, bahkan menganggap Pencipta sebagai diri sendiri.

"Dan pada akhirnya, Ukhuwah Islamiyyah hanya menjadi impian yang tak berujung," batinku saat melihat Islam menjadi terkoyak dan terkotak, bahkan oleh dirinya sendiri.

Ukhuwah Islamiyyah berbeda dengan Ukhuwah-Muslimin (dan berbeda sama sekali dengan Ikhwanul-Muslimin) atau Ukhuwah Bainal-Muslimin wal-Muslimat, dan macam-macam pertaliannya di kalangan Islam, juga bukan Ukhuwatun-Islamiyyah tetapi Ukhuwatun-Islamiyyatun.

Adalah sebuah strategi persaudaraan dengan mengutamakan prinsip, pola, dan napas keislaman. Islam di dalam kalimat Ukhuwah Islamiyyah adalah kata sifat. Maka persaudaraan yang dimaksud memiliki makna luas, yakni persaudaraan antar sesama manusia dengan satu tarikan napas: keislaman; menyiratkan kepatuhan, menganjurkan kepasrahan, menabur dan menebar keselamatan, kedamaian, serta kesejahteraan yang menyeluruh.

Islam yang menyeluruh berarti penuh dengan welas asih, nriman, senantiasa melaksanakan hukum alam (Sunnatullah) yang tertinggi, yakni mencintai Tuhan Yang Mahatinggi dengan tulus serta mengejawantahkannya dengan tidak membuyarkan esensi cinta kepada sesama manusia.

Selain itu, universalitas persaudaraan Islam berarti tidak primordial, rigid, jumud, kaku, dan beku. Keislaman justru akan menciptakan persaudaraan yang kokoh, ketika tidak saling mengoyak dan mengkotak, sehingga mampu melebur dengan segala macam kemaksiatan dan keserakahan duniawi, yang kemudian bersedia merangkul serta mengajak pada ketaatan, kepatuhan, dan keberpasrahan diri pada Tuhan.

"Ukhuwah Islamiyyah tidak pernah melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kemutlakan Tuhan. Artinya, ia tidak primordial. Tidak menganggap bahwa dirinya yang memegang kemutlakan itu. Islam dan Tuhan adalah dua hal yang kebesaran-Nya amat sangat jauh dari keberadaan dan keberdayaan kita sebagai manusia yang hanya sebesar biji dzarrah." Renungku.

Sangat mustahil ketika sepenggal ayat atau hadits atau bahkan pernyataan seorang ulama, yang kemudian ditafsirkan melalui kapasitas otak yang tentu sangat terbatas, menganggap bahwa hal itu adalah kebenaran yang mutlak.

Karenanya, Islam sebagai tatanilai dari perwujudan kepasrahan, kerendah-hatian, kepatuhan, yang berimplikasi pada sikap kehati-hatian dan konsisten dalam mencari dan menambah pengalaman pengetahuan baru agar mendapat kebenaran-kebenaran yang masih banyak berserak.

Dengan pemaknaan seperti itu, cepat atau lambat, dengan tanpa mengubah dasar negara-bangsa, dan dengan tidak bersikap antipati kepada apa dan siapa pun, serta tidak melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kebenaran, atau menganggap penafsiran diri sendiri adalah yang paling benar, maka Ukhuwah Islamiyyah akan segera terwujud.

-BERSAMBUNG-



Wallahu A'lam




Bekasi, 28 September 2016



Aru Elgete
Previous Post
Next Post