Selasa, 25 Februari 2020

Gus Mus Kiai Rakyat, Cerminan Nabi Muhammad


Sumber gambar: akun facebook Kalis Mardiasih

Di tengah hiruk-pikuk kebisingan ceramah agama (Islam) yang didominasi oleh narasi kebencian, ditambah lagi dengan para pemuka agama yang gemar 'manggung' sana-sini menyampaikan mauizoh hasanah; yang sebenarnya bahasan yang dikemukakan hanya itu-itu saja --meminjam istilah Gus Dur, yang seperti itu disebut sebagai 'Islam Kaset'. 

Belum lagi, ustadz-ustadz atau kiai-kiai yang dalam ceramahnya keserimpet omongan, salah tashrif, dan ngajak ribut melulu, yang meskipun begitu, mereka tetap santai-santai saja karena merasa sudah punya 'panggung' dan 'penonton' tetap. Bahkan, ustadz-ustadz atau kiai-kiai itu akan dengan mudahnya mendapat pembelaan membabi-buta dari jamaahnya. Sebuah pengkultusan yang salah-kaprah!

Agama, saat ini, tak ubahnya seperti ladang basah untuk meraup banyak keuntungan. Hanya dengan modal iming-iming surga dan pahala serta menakut-takuti neraka dan dosa, para pemuka agama akan dengan sangat mudah mendapat bayaran dan panggung yang 'wah' dari basis massa-nya. Tak jarang pula, hal tersebut, atau katakanlah pengkultusan itu, dimanfaatkan oleh pemuka agama tertentu agar panggungnya menjadi kokoh dan tak bisa dirobohkan oleh siapa saja. 

Ya, di tengah hiruk-pikuk dan fenomena yang seperti itu, saya kok tiba-tiba melihat postingan menarik di akun facebook Kalis Mardiasih. Seorang aktivis perempuan, Gusdurian, dan penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan serta Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! sekaligus juga kolomnis di beberapa media: --yang saya tahu dan saya sering baca artikelnya, di Mojokdotco dan Detikcom.

Postingan itu adalah sebuah foto bergambar sosok ulama sejuk dan menenteramkan, yakni Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Gambar Gus Mus itu terpampang di 'pantat' mobil truk berwarna kuning dengan tulisan The Winner dan 'juara sejati (adalah) orang yang mampu mengalahkan diri sendiri'.

Apa menariknya?

Biasanya, sepanjang yang saya tahu, gambar atau kata-kata yang ada di 'pantat' truk adalah cewek cantik dengan tulisan-tulisan yang unik, bahkan tak jarang, ditulis dengan kalimat yang menggugah syahwat. Namun sebagian besar, tulisan di belakang atau di 'pantat' truk --yang biasanya berseliweran di jalur Pantura-- adalah kalimat yang merakyat, yang melekat dengan kehidupan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah.

Nah kali ini, gambar di 'pantat' truk itu adalah seorang kiai: Gus Mus, ulama terkemuka di zaman ini. Lalu, kenapa? Ya, bagi orang NU, tentu saja ini membanggakan. Lantas, kenapa menarik untuk dibahas? Ya, jelas sangat menarik. 

Sebagaimana yang saya paparkan di awal-awal paragraf itu tadi, di tengah hiruk-pikuk keagamaan dan fenomena pemuka agama yang semakin tak jelas arahnya, ada seorang Gus Mus yang rupanya menjadi sosok yang sangat dicintai rakyat. Wajah yang berseri-seri serta nasihat yang sangat positif memberikan energi, menjadikan dirinya sangat lekat dan rekat dengan rakyat kecil.

Gus Mus tak hanya beretorika melakukan orasi dan memberikan nasihat-nasihat dari atas panggung (mauizoh hasanah) sebagaimana kebanyakan pemuka agama, tetapi Gus Mus pasti juga kerap melakoni kehidupan seperti rakyat biasa --yang itu kemudian menjadi teladan yang mesti dicontoh. Itulah yang disebut dengan uswatun hasanah; memberikan contoh, melakoni hidup, dan membersamai rakyat. 

Siapa yang tak kenal Gus Mus?

Dialah sosok kiai tawadhu (rendah hati), pemaaf, dan ceria. Siapa pun yang berbuat salah, seketika itu juga dimaafkannya, dan seketika itu pula si pembuat salah dibuat takjub dan kagum atas lakon hidup yang dijalani Gus Mus dengan apa adanya dan sangat sederhana. Bagi saya, Gus Mus adalah cerminan dari kiai rakyat yang betul-betul meneladani laku-lampah Nabi Muhammad. Dilakoninya betul, segala bentuk atau nilai kemanusiaan yang telah Nabi jalankan dulu. 

Maka, dewasa ini, jika kita usai membaca sejarah Nabi Muhammad, lengkap dengan perilaku-perilaku yang benar-benar memanusiakan-manusia, tengoklah Gus Mus. Dia adalah cerminan dari segala macam ajaran yang telah diteladankan Nabi Muhammad. Selain Gus Mus, tentu saja ada banyak kiai rakyat lain yang tidak terekspos oleh media. Oleh karenanya, Gus Mus menjadi representasi kiai rakyat yang dapat kita ketahui sekaligus teladani perilakunya. 

*****

Kalis Mardiasih, dalam postingan facebooknya itu, yang diunggah pada 17 Januari 2020 lalu, menulis sebagaimana berikut ini:

Teoriku, ciri-ciri kiai rakyat itu selain posternya dijual di acara haul, ya wajah dan nasihat beliau dimuliakan wong cilik sehingga didokumentasikan oleh sopir truk atau sopir bis. Kalau sampai dibikinin lagu trus dinyanyikan oleh penyanyi dangdut koplo, lha itu levelnya sudah wali.

Artinya, beliau-beliau ini mampu menyampaikan saripati agama yang njelimet dalam bahasa sederhana. Agama jadi nggak kayak buku test cpns yang harus dicentang-centang, tapi menjadi panduan hidup yang memudahkan, bahkan menemani kesusahan hidup sehari-hari. Bukan malah nambahi susah.

Kalau baru ceramah di yutup atau di tipi, berarti levelnya ya selebriti layar kaca.

Gambar dari twitter Mbak Admin Ienas Tsuroiya

(Klik di sini untuk melihat postingan Kalis Mardiasih)

*****

Artinya, Gus Mus adalah salah satu dari sekian banyak kiai rakyat yang sangat membumi di negeri ini, yang mampu memahamkan dalil-dalil keagamaan dengan sangat sederhana. Sehemat pemikiran saya, tulisan di 'pantat' truk yang diunggah di facebook oleh Kalis itu, merupakan penafsiran dari ungkapan nabi usai perang badar.

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, "Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah?" Rasul menjawab, "jihad (memerangi) hawa nafsu."

Saya yakin, Gus Mus dengan ciamik menyampaikan pesan Nabi itu dengan kalimat yang sederhana, sehingga rakyat mencintainya. Gus Mus juga, seyakin saya, senang membuat rakyat menjadi berbunga hatinya lantaran isi ceramah dan laku-lampah yang dilakoninya penuh dengan motivasi agar rakyat terus bertambah kebaikannya.

Karenanya, agar rakyat hidupnya menjadi baik, Gus Mus kemudian menafsirkan pesan Nabi itu dengan narasi yang membangkitkan semangat untuk terus bergerak, mengalahkan ego yang terpatri dalam kalbu. Ingatan rakyat terhadap kalimat penyejuk yang disampaikan Gus Mus itu lalu diabadikan di 'pantat' truk. Tujuannya, barangkali, agar orang-orang (pengendara) lainnya yang ada di belakang dapat membaca dan tidak ugal-ugalan dalam berkendara. 

Lebih jauh, bisa jadi, menurut saya, para pengendara yang membaca tulisan itu, kemudian akan selalu mengingat dalam pikirannya sehingga menjadi tindakan nyata dalam kehidupan. Betapa mulianya yang dilakukan Gus Mus. Ganjaran kebaikan dari Allah tentu saja akan mengalir terus kepadanya, melalui washilah (perantara) kalimat sederhana yang sangat menyentuh, yang ditempatkan di 'pantat' truk itu. 

Siapa yang ingin menjadi juara (dalam kehidupan)? Ayo, kalahkan diri sendiri (ego). Sebab kini, jihad yang paling akbar bukan lagi mengangkat senjata seraya melumpuhkan lawan dengan amarah dan kebencian yang membabi-buta, tetapi jihad yang paling akbar adalah apabila kita mampu mengalahkan diri sendiri; mengalahkan ego; untuk tidak membenci, menghina, dan mencaci. 

Pada pemaknaan yang lain, Gus Dur semasa hidupnya, seringkali menyampaikan kalimat mutiara yang diungkapkan Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam bukunya yang sangat terkenal: Al-Hikam. 

إِدْفِنْ وُجُودَكَ فِى اَرْضِ الْخُمُولِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يدْفَنْ لَا يَتِمُّ نِتَاجُهُ

Tanamlah eksistensimu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah matang

Jadi, bagi saya, melawan diri sendiri berarti juga mampu melumpuhkan ego untuk bisa menjadi terkenal, menghancurkan virus 'star-syndrome'. Kata-kata indah Ibnu Athaillah itu patut kita renungi di tengah berbagai kemudahan untuk menjadi terkenal, seperti sekarang ini. Rasa ingin menjadi terkenal itulah yang dimaksud sebagai ego, dan harus dilawan. Itulah yang dimaksud oleh Gus Mus: melawan diri sendiri. Itu juga yang dimaksud oleh Nabi Muhammad sebagai 'jihad memerangi hawa nafsu'. 

Terakhir, sekali lagi saya ingin menyampaikan bahwa Gus Mus tidak hanya menjadi ulama yang pandai beretorika, tetapi juga melakukan teladan melalui perilaku yang baik dan sesuai dengan yang diucapkannya di kehidupan nyata. Melawan diri sendiri itu, salah satunya telah dilakukan oleh Gus Mus, saat dirinya menolak jabatan sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar NU di Jombang pada 2015 lalu, yang kemudian digantikan oleh KH Ma'ruf Amin. 

Lalu, bisakah kita menanam eksistensi sedalam-dalamnya, padahal berbagai kemudahan tengah ada dan tersedia di hadapan kita? Bisakah kita melawan diri sendiri, melawan ego, melawan berbagai keinginan yang didasari dari syahwat dan hawa nafsu; termasuk riya' dalam beribadah? Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: