Selasa, 18 Februari 2020

Meneladani Nabi Ibrahim untuk Bekal Pemuda Masa Kini


Ilustrasi. Sumber: islami.co

Sahabat saya, Rizki Prayogo, menulis dalam websitenya yang diberi judul: "Teladan Nabi Ibrahim untuk Pemuda Masa Kini". Sebagai pemuda, saya menaruh salut dan bangga terhadap jejak langkahnya selama ini.

Yogo, begitu saya menyapanya, adalah seorang mahasiswa Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Sering saya mengajukan kelakar kepadanya bahwa Yogo ini merupakan mufassir (ahli tafsir) di kemudian hari, yang ilmu dan kecerdasannya sangat mumpuni.

Kepeduliannya terhadap kehidupan pemuda di era sekarang, patut diacungi jempol. Berkali-kali, dia punya gagasan penting untuk kemudian diejawantahkan demi mengubah mindset para pemuda. Bahwa pemuda jangan hanya banyak rebahan, tetapi juga harus berjuang hingga sungguh. 

Keahlian dalam menafsir kitab suci, ditumpahkannya menjadi sebuah tulisan dengan sangat ciamik dalam websitenya: Catatan Prayogo. Menurutnya, hampir setiap individu pasti meyakini tentang keberadaan dan eksistensi pemuda di tengah peradaban umat manusia. Hal tersebut seperti dapat kita lihat melalui berbagai pernyataan dari banyak tokoh besar di dunia mengenai pemuda. 

Imam Syafi'i pernah mengatakan, "Barangsiapa yang tidak belajar pada waktu mudanya, maka bertakbirlah empat kali atas kematiannya." Selain itu, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno pernah mengungkapkan dalam retorikanya yang berapi-api, "Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia." Bahkan dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menyampaikan bahwa segala hal yang dilakukan pada masa muda akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat."

Bagi Yogo, hal tersebut diatas menjadi alasan kuat bahwa optimalisasi peran pemuda menjadi sangat penting. Karenanya, diperlukan berbagai komponen untuk membangkitkan peran pemuda, salah satunya melalui mentalitas. Maka, dalam hal ini, Yogo akan mengulas tentang bagaimana potret pemuda jempolan dalam kajian Al-Quran.

Definisi Mental

Mental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat tenaga atau tenaga. Pada perkembangan psikologi, belum ditemukan secara definitif pengertian mutlak terkait mental. Namun secara umum, mentalitas berkaitan dengan akal pikiran (rasio), jiwa, hati, etika, moral, dan tingkah laku. Kesatuan itulah yang akan membentuk mental dan citra diri setiap manusia.

Yogo yang merupakan santri alumni Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi, mengutip pernyataan KH Noer Ali bahwa dalam diri manusia terdapat tiga dimensi. Ketiga itu adalah ruh, fisik, dan mental. Mental adalah hasil dari perpaduan ruh dan fisik. Sehingga, terbentuklah mental yang membawa pada qalbun salim, yang bisa kita lihat dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 88. Jadi, jika ruh banyak diberikan asupan ruhaniyah dan fisik diajak untuk mempraktikkan ajaran-ajaran kebaikan, maka akan muncul mental hamba yang taat, bermartabat, dan manfaat.

Tak hanya itu, Yogo juga mengutip pendapat Imam Ghazali dalam kitab Al-'Ajaaib Al-Qalb (keajaiban hati). Menurut Imam Ghazali, di dalam diri manusia terdapat berbagai unsur yang halus atau disebut sebagai lathaif. Diantara dari unsur itu adalah ruh, akal, nafsu, dan hati.

Pertama, ruh adalah bagian yang Allah tiupkan kepada manusia sehingga menjadi hidup dan memiliki nyawa. Kedua, ruh merupakan fasilitas yang Allah berikan untuk digunakan sebagai alat pencerna berbagai macam informasi yang diterima. Ketiga, nafsu dimaknai sebagai tempat berkumpulnya kekuatan amarah dan syahwat. Sedangkan nafsu dibagi menjadi tiga, yakni muthmainnah, lawwamah, dan amarah bi al-suu'. Keempat, hati berarti lathaif yang bersifat rabbaniyah (ketuhanan).

Pengertian-pengertian itu, disimpulkan Yogo, bahwa mentalitas yang baik akan terbentuk saat manusia senantiasa berupaya untuk menyelaraskan hablumminallah dan hablumminannas. Yakni menjaga hubungan vertikal dengan beribadah seraya memanifestasikan hasil ibadahnya dalam bentuk kontribusi terhadap sesama atau hubungan horizontal dengan makhluk-Nya.

Pemuda dalam Sorotan Masa Kini

Rizki Prayogo

Menurut Yogo, saat ini Indonesia disebut memiliki angka yang menguntungkan karena punya banyak penduduk yang berusia produktif. Karenanya, Indonesia digadang-gadang bakal mencapai masa keemasan pada 2045, jika dapat mengolah berbagai potensi yang ada dengan maksimal.

Namun demikian, kita tak boleh larut dalam iming-iming yang ada. Kenapa? Sebab, jika pemuda yang sedang dalam masa produktif ini gagal dibina secara optimal, maka yang terjadi adalah sebaliknya: Indonesia tidak akan menggapai masa keemasan pada 2045.

Diantara hal yang memprihatinkan adalah maraknya publikasi kebodohan yang dilakukan oleh pemuda negeri ini. Dengan hanya bermodal mencari popularitas, maka jadilah apa saja yang akan dilakukan pemuda untuk menggapai polularitas itu. Bahkan tak jarang, para pemuda kita membagikan video challange yang mengajak untuk berbuat usil dan menyakiti perasaan. Maka, untuk meminimalisasi hal yang demikian itu, Yogo mengajak kita untuk sejenak menelaah berbagai kisah hikmah dan ayat-ayat suci untuk merekonstruksi mental pemuda bangsa.

Kisah dan Teladan Pemuda dalam Al-Quran

Di Al-Quran terdapat salah satu kisah yang patut kita telaah kembali. Kisah ini cukup memberikan pesan yang dapat memberikan semangat dalam masa muda kita. Yakni kisah Nabi Ibrahim yang tertuang dalam Surat Al-Anbiya ayat 54 hingga 69. Potret kisah ini menarik untuk dipelajari.

Ketika itu, Nabi Ibrahim tidak semata-mata menyampaikan dakwah Tauhid pada kaumnya dengan dalil, tetapi juga dengan rasionalitas. Saat kaum Nabi Ibrahim diingatkan mengenai kesesatan lantaran kerap menyembah berhala-berhala, mereka menolak apa yang disampaikan Ibrahim dan berkata: "Kami menyembah apa yang bapak kami sembah."

Untuk itu, Nabi Ibrahim kemudian merancang aksinya dengan berpura-pura memiliki penyakit yang menular agar orang-orang menjauhinya. Ketika tempat berhala sepi karena masyarakat menjauhi Nabi Ibrahim lantaran khawatir tertular penyakitnya, dia akhirnya mendatangi tempat tersebut dan menemukan s""lesajian untuk berhala-berhala yang menjadi sesembahan itu.

"Untuk apa makanan ini disajikan? Siapa yang akan memakannya?"

Demikian pertanyaan Nabi Ibrahim yang dilontarkan kepada kaumnya yang sesat itu. Namun, satu pun tak ada yang menjawab. Maka, Nabi Ibrahim menghancurkan seluruh patung yang ada dan menyisakan patung paling besar diantara patung-patung yang lain.

Saat orang-orang mengetahui hancurnya berhala yang dituhankan, mereka mencari siapa pelaku dibalik kerusakan itu. Ketika salah seorang dari mereka menyebut seorang pemuda bernama Ibrahim, maka mereka lantas memanggilnya.

Lalu mengajukan tanya: "Apakah kamu yang melakukan ini terhadap Tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?"

"Tidak, tanyakan saja pada patung yang paling besar itu, jika dia dapat berbicara," sahut Nabi Ibrahim.

Mereka termenung sejenak. Lalu memutuskan untuk menghukum Nabi Ibrahim dengan cara dibakar hidup-hidup. Namun, Nabi Ibrahim, kala itu, kembali mengingatkan kaumnya dengan sebuah pernyataan, "Untuk apa kau menyembah (yang kau anggap) Tuhan, tapi tidak membawa kebaikan?"

Akhirnya, Nabi Ibrahim dibawa menuju tempat eksekusi dan kemudian turunlah rahmat (kasih-sayang) Allah yang menjadikan api itu menjadi sejuk. Lalu, apa yang bisa kita petik sebagai hikmah untuk kemudian menjadi daya lecut dan penyemangat bagi hidup dan kehidupan para pemuda kekinian?

Dari kisah yang demikian diceritakan dalam Al-Quran itu, Yogo menyebut bahwa sosok Nabi Ibrahim merupakan seorang yang berani bergerak maju dan memiki keyakinan yang tangguh. Maka, ada beberapa hal yang dapat kita petik sebagai hikmah, pelajaran, dan pembelajaran bagi kita yang merupakan pemuda di era modern seperti sekarang ini. 

Pertama, Nabi Ibrahim memiliki nalar yang kritis. Dia mampu berpikir secara rasional dengan berani menyebut bahwa berhala yang menjadi sesembahan kaumnya itu sama sekali tidak mendatangkan kebermanfaatan.

Kedua, Nabi Ibrahim adalah sosok yang cerdas. Dia menaruh kapak pada berhala yang paling besar. Tujuannya, agar orang-orang yang menyembah patung itu mampu berpikir, bahwa berhala itu tidak dapat berbicara dan memukul. Dengan demikian, kenapa harus disembah dan dijadikan sebagai tuhan?

Ketiga, Nabi Ibrahim memiliki mental yang pemberani dan tangguh. Ketangguhan itu merupakan buah dari keyakinan yang sungguh di dalam hatinya, sekaligus memiliki daya gerak yang dilakukan oleh fisik, sehingga melahirkan keberanian untuk melakukan sebuah kebaikan.

Simpulan

Dari berbagai pemaparan diatas itu, akhirnya Yogo menyimpulkan bahwa sebagai pemuda yang menjadi tumpuan masa depan bangsa dan agama, maka haruslah menyibukkan diri dalam kesehariannya dengan mencari ilmu seraya melakukan ibadah secara tekun agar dapat mengisi kekosongan hati dan pikiran.

Sebab, daya dobrak pemuda tidak akan muncul tanpa bekal dan kapasitas diri yang mumpuni. Perkembangan zaman boleh dijadikan fasilitas untuk kemudahan dalam berbagai akses, tapi itu bukanlah menjadi tujuan kehidupan. Bagi Yogo, pemuda yang besar tidak dilahirkan dengan situasi yang biasa-biasa saja.

Hal ini tercermin dari sepak terjang Nabi Muhammad Saw, yang berjuang tanpa ayah dan ibu di masa muda. Dalam kesehariannya, Nabi hanya menjadi penggembala domba bersama Abu Thalib hingga kemudian tumbuh sebagai sosok pemuda yang dijuluki Al-Amin (dapat dipercaya).

Begitu pun yang patut kita teladani dari Nabi Ibrahim yang mampu mengisi masa muda dengan pengembaraan pemikiran yang mengantarkannya memiliki keyakinan dan keteguhan. Maka, setidaknya sebagai pengampu masa depan agama dan bangsa, pemuda harus punya mentalitas yang berkeyakinan teguh, beramal saleh, dan tentu saja berkontribusi di masyarakat. Sehingga, dengan demikian, pemuda mampu menjadi pemegang komponen etik dan etos sebagai bekal utama menghadapi tantangan.

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: