Minggu, 14 Januari 2018

Tradisi Pesantren dan Kitab Kuning Mulai Hilang





Akhir pekan kedua di Bulan Januari, sejumlah orang berjilbab, bersarung, dan berpeci hitam menjejakkan kakinya di Hotel Mercure, Lengkong Besar, Kota Bandung. Mereka tidak sama sekali bermaksud untuk melakukan aksi pencegahan atau bahkan pemukulan terhadap pelaku kemaksiatan yang kerap terjadi di hotel. Melainkan, orang-orang itu, bertujuan untuk saling sedia menyamakan persepsi. Mereka membawa kegembiraan dari daerah asal masing-masing. Kemudian, disinergikan agar menjadi kekuatan yang utuh dan kukuh.

Sebab, selama ini sangat banyak pelaku kekerasan; baik yang dilakukan secara fisik, mental, jiwa, bahkan melalui teks atau tulisan. Kegelisahan bersama atas pemahaman yang kaku nan beku itu, disimpulkan menjadi satu kesatuan. Bahwa ternyata, ruh kedamaian di bumi sudah mulai lenyap tersapu angin peradaban yang kian melesat jauh. Orang-orang yang ternyata dalam dunia nyata masuk ke dalam kategori mayoritas, berubah bentuk menjadi minoritas kala hidup di peradaban yang serba digital.

Pertemuan yang berlimpah kebaikan itu digagas oleh NU Online dan Rumah Kebangsaan. Saling tatap wajah, lempar senyum, dan saut salam dilakukan sebagai bentuk silaturrahim yang merupakan bagian dari kristalisasi kasih sayang Tuhan. Mereka, orang-orang yang hadir itu, adalah kader muda NU yang siap melaksanakan jihad fi sabilillah bil qolam di dunia maya. Pasalnya, di era digital ini, dunia bak sampah. Segala macam konten berbau busuk saling bertumpuk. Karenanya, mereka hadir untuk menyelaraskan dan mengarusutamakan konten Islam Moderat di media online.

“Perlahan, baik disadari atau tidak, peradaban akan terus berubah. Zaman saya dulu, untuk membaca informasi itu melalui koran atau surat kabar. Tapi, secara perlahan, zaman berubah. Kini, anak-anak muda lebih senang membaca informasi melalui smartphone. Hal itu, sebagaimana juga yang kita rasakan ketika televisi hitam-putih yang tanpa disadari kini sudah hilang. Maka, kalau NU tidak bisa mengikuti perubahan zaman, NU akan hancur,” ujar Hamzah Sahal, Pengasuh alif.id, Sabtu (13/1/2018).

Para peserta yang hadir, mengamini. Kegiatan temu Penulis Keislaman se-Jawa Barat itu datang dengan latar belakang yang berbeda; mulai dari penulis pemula, hingga yang telah lihai menulis di berbagai media. Nantinya, mereka akan menggempur habis konten negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebab, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang terdapat di Bumi Pertiwi ini merupakan Islam yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai tasamuh, tawassuth, tawazzun, dan i’tidal.

Keberislaman di Indonesia tidak dibawa dengan kekerasan, melainkan melalui cara-cara santun yang mengutamakan adab dan akhlak yang baik. Menjadi tugas bersama bagi para peserta dari pertemuan itulah, untuk membuat konten keagamaan yang damai nan sejuk. Kemudian, memunculkan figur atau tokoh ulama berpengaruh agar diangkat ke permukaan.

Sebab di Jawa Barat sendiri, sebagaimana yang diucapkan Asep Salahudin, seorang kolumnis kenamaan di Bumi Priangan, bahwa yang menduduki peringkat teratas sebagai tokoh keagamaan di Jawa Barat justru bukan ajengan yang punya pengaruh besar bagi kehidupan keagamaan yang sejuk.

“Nama-nama tokoh agama yang muncul di Jawa Barat justru didominasi oleh golongan Islam garis keras. Bukan dari NU; golongan Islam garis ceprut,” kata Wakil Rektor I Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya itu, disambut gemuruh tawa dari penulis.

Ia menyebutkan, bahwa Islam ala NU merupakan gaya keislaman yang santai dan selalu diisi dengan candaan yang lucu-lucu. Lalu, Asep menunjuk simbol tali dalam logo NU. Tali itu tidak diikat secara kuat. Artinya secara keagamaan, NU selalu memberikan kecenderungan atau kemungkinan lain untuk menerima segala macam perbedaan.

“Orang NU (di Jawa Barat) itu santai tapi serius. Selalu bisa menyelesaikan beragam masalah dengan gembira. Selalu menerima pandangan yang berbeda. Tidak kaku. Selalu ada warna lain, tidak hanya hitam dan putih,” ucap Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Wilayah NU Jawa Barat itu.

Di hadapan peserta yang hampir semuanya adalah santri, ia katakan bahwa dunia tulis-menulis di kalangan pesantren itu sudah ada sejak dulu. Karenanya, ada yang dinamakan Kitab Kuning. Namun, dirinya sangat menyayangkan orang-orang kekinian yang lebih suka membaca buku Islam Popular dan menjauh dari kitab kuning.

“Banyak orang sekarang yang lebih suka membaca buku-buku seperti itu, daripada membaca kitab kuning. Ada sebuah penelitian yang kesimpulannya adalah, semakin orang menjauh dari tradisi kitab kuning, maka kemungkinan besar dia akan keluar menjadi orang yang puritan. Dan, semakin dekat dia dengan tradisi kitab kuning, maka akan moderat dia,” ucap Kang Asep, demikian ia akrab disapa,

Dia melanjutkan, semakin seseorang hafal al-quran, akan sangat berpeluang menjadi bagian dari kelompok radikal. Tetapi bagi siapa pun yang mampu membaca dan bahkan menghafal kitab kuning, akan semakin terbuka dan lapang. Sebab, di dalam literatur klasik itu terdapat banyak perspektif dan pandangan, sehingga akan memunculkan sifat keterbukaan bagi orang-orang yang mendekat.

“Saat ini, kita sulit mencari orang-orang yang hafal jurumiyah, imrithi, alfiyah ibnu malik, dan lain sebagainya. Tetapi begitu mudahnya kita menemukan penghapal Al-Quran,” ucapnya.

Maka, NU Online membagi dua kategori penulis. Pertama, penulis warta. Artinya, ia mesti sedia mewartakan berbagai kegiatan dan peristiwa NU di daerah masing-masing. Kedua, penulis keislaman. Yakni, penulis yang menyajikan sebuah tulisan dengan tema-tema keislaman yang sesuai dengan tradisi kitab kuning dan pesantren, tetapi disajikan dengan kemasan menarik agar bisa dibaca oleh semua kalangan.




Bandung, 14 Januari 2018




Previous Post
Next Post

0 komentar: