Selasa, 09 Januari 2018

Politik ala Gus Dur untuk Bekal Pemilukada Serentak 2018



Sumber gambar: nasional.kompas.com



Pada tahun 1987, Gus Dur diminta Presiden Soeharto untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketika itu, Gus Dur sebenarnya keberatan karena posisinya yang sedang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia juga kesulitan untuk memilih fraksi. Namun, setelah dipanggil Menteri Sekretaris Negara Sudharmono yang bisa memahami kesulitan Gus Dur, putra KH Wahid Hasyim ini akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Pak Harto.

Kala itu, Gus Dur berasumsi, kalau ia menolak maka akan timbul bahaya yang besar bagi NU. Yakni, akan muncul tuduhan bahwa NU menolak kepemimpinan Presiden Soeharto. Prinsip yang Gus Dur pegang dalam berpolitik adalah kaidah mafasid muqoddam ‘ala jalbil-masalih (menghindari kesukaran lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Orientasi utama politik Gus Dur tidak lain adalah karena ingin mewujudkan kemaslahatan di tengah masyarakat dan dengan sendirinya mencerminkan kecintaan pada kemanusiaan.

Untuk mewujudkan kemaslahatan, Gus Dur meyakini bahwa ajaran Islam atau Syariat diturunkan sebagai jalan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebab, prinsip dasar Islam tentang pengaturan kehidupan bernegara (siyasah ad-dunya) adalah mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia secara keseluruhan. Dalam tradisi fiqih, kita mengenal istilah as-siyasah as-syar’iyyah. Yakni, untuk mewujudkan kemaslahatan, penguasa (imam) bisa membuat suatu kebijakan, meskipun kebijakan tersebut tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadits.

Dengan begitu, Islam akan menampakkan wajah universalitas yang gandrung pada penghormatan kepada seluruh manusia. Untuk menguatkan kalau Islam memiliki ajaran universal, yaitu bahwa agama samawi yang turun belakangan ini memiliki lima jaminan dasar (al-kulliyat al-khamsah). Jaminan dasar itu meliputi jaminan atas jiwa, keyakinan, hak milik atau harta, keluarga, dan profesi. Kelima jaminan tersebut diberikan kepada warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok.

Gus Dur pernah menulis dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam bahwa jaminan keselamatan fisik warga negara mengharuskan adanya pemerintahan berdasar hukum, dengan perlakuan adil tanpa terkecuali. Karena hanya dengan kepastian hukum, masyarakat akan mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antar sesame warga. Dengan alur pemikiran politik yang seperti itu, Gus Dur menunjukkan betapa luhur dan mulia ajaran Islam. Kemudian, pada saat yang bersamaan Islam menunjukkan wataknya sebagai sumber nilai yang membebaskan.

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten pada 27 Juni 2018 mendatang tentu menciptakan berbagai harapan baru. Janji-janji politik berhamburan di tiap-tiap rumah warga; mulai dari kesejateraan dalam hal kesehatan, pendidikan, hingga kematian. Kebijakan-kebijakan baru akan segera bermunculan, walau terkadang tidak berdasar pada kebijaksanaan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa saat ini, kehidupan politik di Indonesia hancur-lebur oleh perilaku para pelaku politik itu sendiri.

Sesuatu yang akan tersisa dari pesta demokrasi biasanya adalah kemunafikan. Sebab, kemanusiaan bukanlah menjadi tujuan, melainkan kekuasaan menduduki jabatan tertinggi yang menjadi fokus utama pencapaian. Semua berbondong mendirikan partai politik, mencalonkan diri menjadi pemimpin, mengumbar janji-janji kesejahteraan sosial, sementara perwujudannya entah kemana. Peristiwa semacam itu, yang membuat warga masyarakat menjadi enggan dan bahkan menghukumi dirinya haram (golput, red) untuk memilih pemimpin pada pemilukada serentak mendatang.

Masyarakat mesti berhati-hati dalam memilih. Mengkaji dan melihat rekam jejak calon pemimpin. Tidak silau dengan kegemilangannya di media massa. Kita, sebagai pemilih juga mesti waspada pada wacana pemecah-belahan, adu-domba, dan perselisihan yang mengakibatkan putusnya jalinan silaturrahim. Karena menurut saya, untuk mencapai tampuk kekuasaan yang dibutuhkan bukan soal gaya retoris yang dipertontonkan di layar kaca, tetapi bukti kerja nyata yang telah dilakukan sebelumnya.

“Politik itu mencerdaskan,” demikian ucap Mr Sartono dalam buku MR SARTONO Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.

Maka, hal yang paling penting kita lakukan, menurut hemat saya, adalah dengan terus melakukan pembacaan; baik terhadap teks maupun konteks. Sebab, kita mesti bersedia payung sebelum turun hujan. Kita harus siap siaga menghadapi pertarungan politik di tahun ini. Artinya, kita tidak perlu memilih pemimpin yang orientasinya bukan kemanusiaan. Wajib hukumnya kita meninggalkan orang-orang yang hendak mencapai kekuasaan dengan tidak mengedepankan rasa kemanusiaan.

Sebab, jika tujuan dari politik adalah kemanusiaan, maka terkutuklah orang-orang yang dengan tujuan politiknya menghancurkan rasa kemanusiaan. Orientasi politik yang seperti itu membuat Gus Dur bisa diterima semua golongan, dan menjadi guru bangsa bagi semua agama dan masyarakat. Singkatnya, siapa saja yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan, ia akan dicintai oleh kemanusiaan itu sendiri.

Terakhir, Prof Dr Mahfud MD punya kenangan dalam ingatannya mengenai Gus Dur dan gaya kepemimpinan. Pertama, jadilah pemimpin yang punya karakter. Tegas, jelas, bersih seperti matahari. Kedua, bersikap egaliter seperti rembulan; dan selalu memberi nasihat (Misbah as-shudur) kepada orang-orang yang resah. Gus Dur kalau memberi tahu orang dengan cara yang bijaksana. Tidak mendikte, tapi memberi tahu dengan balutan cerita-cerita lucu.

“Lalu yang ketiga, beliau ini banyak baca shalawat untuk membimbing dirinya dan untuk mendapat sentuhan-sentuhan kerasulan dalam kepemimpinannya,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi asal Madura itu.

Kini, sendi-sendi kemanusiaan sudah agak rapuh. Dengan tulisan ini, semoga kita tercerahkan bahwa ada Gus Dur yang sangat representative untuk dijadikan contoh bagi pemimpin kekinian. Kemudian, kita juga dapat lebih berhati-hati serta waspada dalam memilih. Kita mesti mencari pemimpin yang dekat dan rekat hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, wajib hukumnya meninggalkan orang-orang yang menghancurkan kemanusiaan untuk mencapai kekuasaan. Gus Dur sudah memulai, kita hanya tinggal melanjutkan.





Wallahu A’lam
Bekasi, 9 Januari 2018



Aru Elgete
(Gusdurian asal Kota Bekasi)
Previous Post
Next Post

0 komentar: