Selasa, 02 Januari 2018

Sebuah Obrolan Renyah, Menikah Bukan Soal Ekonomi


Bersama KH Masrur Ainun Najih dalam perjalanan menuju Kabupaten Kuningan, 31 Desember 2017


Akhir tahun lalu, 31 Desember 2017, saya dan rekan semasa di pondok Muhammad Ammar berkesempatan menghadiri kegiatan temu alumni Buntet Pesantren di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Ahad-Senin (31/12/17-1/1/18). Dalam perjalanan menuju ke lokasi, kami berada dalam satu mobil bersama Wakil Ketua Pengurus Pusat (PP) Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) yang sekaligus Ketua Umum PP Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) KH Masrur Ainun Najih.

Kami menikmati lengangnya tol Cipali. Sepanjang jalan, kami mendapat petuah dan nasihat berharga. Diantaranya mengenai kepribadian santri zaman now yang mesti menyelaraskan modernitas dengan tradisi masa lalu. Juga, menyoal kehidupan yang lebih global. Kami menyimak dengan saksama. Berharap ada hal yang bisa kami lakukan di kemudian hari untuk menjadi diri yang lebih baik.

Ia menanyakan kesibukan kami saat ini. Kemudian mencoba memberi solusi untuk bekal di masa depan. Persis seperti orang tua kepada anaknya sendiri. Banyak sekali yang disampaikan. Dengan sesekali guyon dan pernyataan-pernyataan yang mengocok perut, ia tetap semangat memberi nasihat.

Perjalanan sudah agak melelahkan. Kami bertiga memutuskan untuk melepas lelah di salah satu rest area tol Cipali. Di sana, Kiai Masrur, mulai membuka sisi lain dari kehidupannya. Ia seorang aktivis, yang merantau ke Jakarta dengan bermodal keilmuan. Kuliah di IKIP Jakarta sembari beraktivitas di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kramat Raya, Jakarta Pusat. Menikah di usia yang sudah tidak muda, 31 tahun.

"Mas Aru, Mas Ammar, sekarang sibuk apa? Saya saran supaya mulai dari sekarang, kamu punya target untuk menikah. Untuk masa depan. Gak perlu takut gak ada biaya. Menunda pernikahan karena alasan keterbatasan ekonomi, itu sama sekali tidak benar. Saya sudah merasakan. Saya merintis sejak awal. Bahkan, saya tidak punya penghasilan tetap. Tapi syukur Alhamdulillah, saya tetap berpenghasilan," ungkap Kiai Masrur di rest area, tol Cipali, Jawa Barat, pada Ahad (31/12) siang.

Rasulullah saja, ia mengimbuhkan, berani mengambil keputusan untuk menikah di usia belia. Beliau tidak punya apa-apa. Menikah dengan seorang janda kaya. Kemudian kekasih Allah itu jadi pengusaha. Membantu perdagangan yang dikelola Siti Khadijah. Keduanya, saling mengisi. Merintis bersama-sama.


"Jangan terlena dengan aktivitas. Idealisme perlu. Tapi realistis penting. Keduanya mesti terjaga. Tetapi, mulailah merancang untuk masa depan. Minimal, punya target nikah umur berapa, biar ketika usia sudah mulai senja, kamu tinggal santai melihat hasil anak-anak," lanjutnya.

Kalau khawatir soal rezeki dan persoalan ekonomi, Kiai Masrur menyarankan kepada kami untuk membuka Al-Quran surat An-Nisa ayat 33. Agar tidak merasa cemas, kami diperintah untuk membaca, memahami, dan mengamalkan kandungan firman Allah itu.

"Secara leterlek saja, ayat itu sudah mudah dipahami. Maka, saya rasa, menikah itu soal regenerasi dan penyebaran gagasan keilmuan. Bukan soal ekonomi, derajat, status sosial, dan lain sebagainya," ungkapnya sembari mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.


Dalam cerita itu, saya merasa tergugah untuk tetap menjomblo. Bukan karena persoalan ekonomi, tetapi persoalan siapa yang akan menjadi pasangan saya nanti?


Tabik,

Aru Elgete, Jomblo fii Sabilillah asal Kota Bekasi.
Previous Post
Next Post

0 komentar: