Minggu, 02 Februari 2020

Menjadi Moderat Menurut Ihya Ulumiddin



Sekalipun manusia tidak bisa benar-benar, seratus persen, menjadi seperti malaikat, tapi setidaknya manusia bisa bisa mendekati malaikat. Lalu, situasi yang seperti apa dan bagaimana manusia bisa mendekati malaikat? 

Sebelum melanjutkan baca artikel ini, silakan baca terlebih dulu tulisan sebelumnya, karena tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, yakni: Pola Makan yang Dianjurkan Imam Ghazali

Menurut Imam Ghazali, paling dekatnya kondisi atau keadaan manusia terhadap malaikat adalah ketika jauh dari lingkaran syahwat. Namun, menjauh dari lingkaran api (syahwat) itu adalah perilaku yang serba salah. 

Apabila kita menjauh dari sisi kanan, sangat menjauh dari sisi kanan, maka secara otomatis kita justru akan lebih dekat dengan sisi sebelah kiri. Begitu pula sebaliknya, saat kita menjauh dari sisi kiri, kita justru akan dekat dengan sisi sebelah kanan.

Dilematis, memang. Sebab, ketika kita ingin jauh dari sisi kiri, justru kita malah mendekat dengan sisi kanan. Sementara saat kita ingin menjauh dari sisi kanan, nanti malah dekat dengan sisi kiri. 

Jadi, menurut Imam Ghazali, jauh (dari lingkaran syahwat) yang ideal adalah ketika kita berada di titik tengah. Sisi tengah itulah yang akan menjauhkan kita dari sisi kanan, kiri, depan, dan belakang. Menjadi amanlah kita dari api yang menyala-nyala di setiap sudut lingkaran syahwat itu.

Hal yang demikian itulah, disebut oleh Imam Ghazali sebagai wasath (moderat). Sebagaimana yang jamak kita ketahui, bahwa umat Kanjeng Nabi Muhammad ini adalah umatan wasathan

Namun demikian, moderat itu bukan hanya digunakan untuk menjauh dari radikalisme, liberalisme, dan ideologi-ideologi lainnya, tetapi moderat itu juga berlaku dalam hal makanan, berpakaian, menggunakan sumber daya alam, membangun rumah, dan dalam hal kepemilikan. 

Jadi, yang dimaksud wasathan (moderat) oleh Imam Ghazali itu adalah titik tengah dalam segala hal. Itulah ciri-ciri umat Nabi Muhammad, yakni umat yang mencoba selalu berada di titik tengah, menjauhi segala sisi yang ekstrem. 

Demikian, terjemahan dari wasathan menurut Kitab Ihya Ulumiddin. Wasathan bisa diterjemahkan bukan hanya dalam aspek-aspek politik dan kebangsaan, tetapi juga aspek kebutuhan dan kehidupan personal manusia: seperti makan.

Khoirul umuri awsathuha. Sebaik-baik perkara adalah segala sesuatu yang ada di tengah.

Ketika manusia tidak merasakan lapar yang ekstrem ataupun kenyang yang ekstrem, maka secara otomatis, dia akan mudah beribadah dan berpikir. Namun, begitu kita makan berlebihan, efeknya akan jadi malas berpikir, karena hawanya ngantuk. Begitu pula sebaliknya, kalau lapar yang berlebihan kita juga tidak bisa berkonsentrasi dan berpikir.


Noted: Tulisan diatas disarikan dari Ngaji Kitab Ihya Ulumiddin #172 halaman 982 yang diampu oleh Gus Ulil Abshar Abdalla.
Previous Post
Next Post

0 komentar: