Jumat, 21 Februari 2020

JUMATAN: Khutbah Kebencian di Masjid Pondok Pesantren


Ilustrasi. Sumber gambar: alif.id

Sejak April 2013, saya sudah tinggal dan menetap di Bekasi. Kehidupan baru, saya mulai dengan berbagai dinamika yang ada, termasuk budayanya yang berbeda sama sekali dengan budaya Cirebon, yang saya tinggali sejak 2009. Atau pun, Bekasi ini berbeda juga budayanya dengan Jakarta, yang saya tinggali sejak lahir hingga 2009. 

Persis di belakang rumah saya, ada pesantren yang sangat megah. Saya tentu merasa bahagia karena tempat tinggal saat ini, tidak jauh-jauh dari lingkungan pesantren yang lebih religius dan surgawi. Tapi, belakangan saya tahu, sekalipun pesantren yang persis berada di belakang rumah saya itu beramaliyah Ahlussunnah wal Jamaah ala Nahdlatul Ulama, tetapi fikrah, ghirah, dan harakahnya tidak sama sekali mengikuti ulama NU. Pesantren itu lebih cenderung berafiliasi dengan FPI, PKS, dan sejenisnya. 

Hal tersebut saya ketahui saat beberapa kali Jumatan di sana, tentu pada awal-awal saya tinggal di Bekasi. Setiap kali Jumatan, hati saya merasa dongkol, kesal, dan sakit hati lantaran khutbah para khutobanya yang seenaknya saja. Barangkali mereka tak mengindahkan penduduk di sekitar, karena mungkin saja ada nonmuslim yang mendengarkan isi khutbah yang menjengkelkan itu. Sungguh, sebuah potret kesewenang-wenangan kelompok mayoritas di tengah lingkungan yang sangat heterogen. 

Selama setahun, periode 2013-2014, saya Jumatan setiap pekan di sana. Sebab, saya tidak tahu harus ke mana lagi. Maklum, saya ini orang baru yang tak paham medan atau lingkungan di sini. Maka, berkali-kali pula, saya jengkel setiap mendengar khutbah dari seorang kiai, yang ketika itu, saya curigai sebagai pengasuh pesantren. Kini, benar kecurigaan saya itu, bahwa yang gemar menyampaikan khutbah kebencian itu adalah kiai pengasuh pesantren itu yang oleh sebagian besar orang dihormati, lantaran keilmuannya.

Jadi, begini ceritanya.

Ketika itu, sedang santer isu pendirian Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi Utara. Nah, di setiap khutbah Jumat, terseliplah ujaran kebencian menolak pendirian gereja itu. Bahkan, Walikota Bekasi H Rahmat Effendi menjadi bulan-bulanan yang masuk ke dalam pembicaraan khutbah yang penuh dengan kedengkian. Pasalnya, kita ketahui bersama bahwa Walikota Bekasi berani pasang badan atas Santa Clara itu. 

"Lebih baik ditembak kepala saya, daripada harus mencabut izin membangun gereja itu," kira-kira seperti itu kalimat yang dilontarkan kiai pengasuh pesantren dalam khutbah Jumat, meniru ungkapan Walikota Bekasi. Kalimat ini semacam trigger untuk masuk ke pembahasan yang lebih dalam. 

Saya merasa heran, khutbah Jumat yang seharusnya penuh khidmat dan tenang, tapi ini justru menjadi ajang untuk menyerang, melempar kebencian, dan mengajak orang lain untuk bermusuhan. Khutbah seperti ini, jujur saja, baru saya temui di Bekasi, sepanjang saya hidup hingga tahun 2014. Saya betul-betul kaget bukan kepalang. 

Menurut kiai itu, Walikota Bekasi sudah bisa dihukumi halal darahnya untuk dibunuh karena ungkapannya menyakiti hati umat Islam, padahal Rahmat Effendi itu merupakan orang yang juga beragama Islam. Itulah yang disebut sebagai pengkhianat. Secara hukum Islam, kata sang kiai, yang namanya orang berkhianat itu harus dibunuh. Sebab kalau tidak, dia akan menjadi bom waktu untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan beragama bagi umat Islam. Singkatnya, ke depan, dia akan banyak merugikan kelompok Islam. 

Lebih jauh, sepanjang tahun 2013-2014, saya seringkali menjadi saksi betapa kiai dan para asatidz di sana, yang menjadi khotib Jumat secara bergantian, mengajak umat Islam yang ada di dalam masjid itu untuk turun ke jalan, melakukan aksi penolakan terhadap pendirian bangunan gereja pada bakda Jumatan. Mereka akan menggeruduk kantor Walikota Bekasi. Tapi toh, nyatanya, yang turun ke jalan hanya didominasi oleh santri yang masih di bawah umur.

"Hati-hati, kristenisasi akan menjalar di Bekasi yang julukannya adalah kota santri ini. Jangan sampai akidah anak-cucu kita luntur dan akhirnya murtad karena misionaris-misionaris dari gereja itu. Inilah yang harus kita waspadai sebagai muslim," kata kiai itu menggebu-gebu dalam khutbah Jumat, bahkan hampir di setiap Jumatan pada sekitar tahun 2013-2014, begitulah khutbahnya. 

Ketika itu, saya masih belum bereaksi. Hanya menggumam dan menggibahi isi khutbah itu bersama bapak dan abang saya, setiap kali pulang Jumatan. Ini sungguh meresahkan banyak orang. Belakangan, saya juga mendengar banyak keluhan mengenai khutbah Jumat yang seenaknya itu.

Namun, keluhan itu berangkat bukan dari tema pendirian gereja saja, tetapi juga kerap menyinggung hal-hal sensitif. Seperti dengan mudahnya menghukumi seorang muslim menjadi kafir bagi yang mengucapkan selamat natal, masuk ke dalam rumah ibadah agama lain, merayakan tahun baru masehi, merayakan valentine, dan lain sebagainya. 

Gaya khutbahnya pun seperti ceramah biasa. Tangannya berkali-kali menunjuk ke depan, mengajak audiens untuk bercanda, dan khutbahnya lama sekali. Sampai berkali-kali saya tidur pulas dalam keadaan duduk, kemudian bangun, kemudian tidur lagi, kemudian bangun lagi, khutbah belum juga selesai. Ini benar-benar khutbah Jumat yang sangat menjengkelkan dalam hidup saya. 

Sebenarnya, masih ada pengalaman saya mengikuti khutbah Jumat di masjid pesantren ini. Yakni, saat sang kiai itu membahas Basuki Tjahaja Purnama yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, lantaran Joko Widodo mengikuti kontes Pemilihan Presiden 2014. Lebih-lebih saat BTP tersangkut masalah 'penodaan agama'. Pesantren inilah yang paling getol menggibahi BTP setiap Jumatan. Bahkan, di salah satu sudut pesantren ada sebuah banner berukuran 3x1 meter, bertuliskan: Bunuh si Penista Agama.


Tapi saya rasa, untuk kisah BTP yang menjadi tema khusus khutbah Jumat di pesantren dekat rumah saya itu, tidak perlulah saya ungkap lebih lengkapnya dalam tulisan ini. Saya hanya berharap, semoga anda semua, yang membaca tulisan ini, pada Jumat kali ini, tidak salah masuk masjid, sehingga terpaksa harus mendengarkan khutbah dari khotib yang kepala batu, yang isi khutbahnya hanya mencaci, menjelek-jelekkan, dan mengajak untuk membenci sekaligus bermusuhan dengan yang lain. Hati-hati, ya. 

Terakhir, saya ingin menyampaikan, kalau khutbahnya masih begitu-begitu saja, tidak ada kebaruan dalam penyampaiannya, maka itu justru akan merusak Islam. Pertama, umat Islam akan berbondong-bondong meninggalkan Jumatan dan lebih memilih untuk menggantinya dengan salat zuhur di rumah. Kedua, umat non-Islam akan menganggap bahwa salat Jumat adalah ibadah yang penuh dengan nuansa kebencian. 

Dan akhirnya, saya memutuskan untuk pindah ke masjid yang posisinya agak jauh dari rumah, tapi sebenarnya masjid inilah yang masih berada dalam satu lingkungan dengan rumah saya. Kalau masjid di pesantren itu tadi, sebenarnya sudah beda kampung, hanya saja jaraknya yang sangat dekat. Bagaimana kisahnya? 

Bersambung...
Previous Post
Next Post

0 komentar: