Jumat, 14 Mei 2021

Sebuah Catatan: Melupakan Pesan Ramadan


Foto: Syakir Niamillah Fiza

Puasa Ramadan sudah usai. Hari Raya Idulfitri telah tiba. Kini, segala kebaikan, mulai dan sedang dipertaruhkan. Kualitas ibadah pada sebulan penuh, akan dipertontonkan di hari-hari ke depan.

Sudah tidak ada lagi santunan anak yatim, yang digelar tak ubahnya hanya sebatas seremonial dan formalitas, bahkan tidak menyentuh ke akar substansi sama sekali.

Tayangan islami; mulai dari perlombaan menghafal Al-Qur'an, kontestasi ceramah agama, pesantren kilat, kultum Ramadan, tabligh akbar di televisi, hingga iklan sirup di siang hari, sudah habis kontraknya.

Masjid dan musala kembali ditinggalkan. Kotak amal tak lagi dihiraukan keberadaannya, kecuali saban jum'at di masjid-masjid. Al-Qur'an, lagi-lagi menjadi pajangan dan penghuni paling atas di lemari atau rak buku.

Diskotik, hotel esek-esek, warung remang-remang, pekerja seks, pria hidung belang, dan segala macam kemaksiatan bersuka-cita menyambut kepergian Ramadan. Para penceramah dan ustaz-ustaz kampung, kehilangan 'honorarium' berupa uang beserta kain sarung.

Barangkali, hal-hal itulah yang menjadi kesedihan setiap kali Ramadan pergi. Parahnya, sedih pun hanya di mulut dan kata-kata, sementara perilaku sama sekali tidak menggambarkan kesedihan. 

Pada kenyataannya, orang-orang justru berbahagia menyambut datangnya Hari Raya Idulfitri. Bukan karena mengembalikan diri pada kesucian atau lantaran puasa dan tarawih yang tak pernah absen sekali pun, juga bukan karena khatam Al-Qur'an lebih dari tiga kali.

Namun, karena Idulfitri menawarkan segala macam kebebasan. Karena selepas Ramadan, segala hal yang semula ditutup-tutupi, kini terbuka lagi secara gamblang. Lebaran menawarkan kenikmatan yang tidak ada pada Ramadan.

Menengok ke belakang, beberapa hari lalu.

Saat-saat menjelang Ramadan berakhir, orang-orang sibuk menyiapkan (dan bahkan memaksa untuk membawa) segala macam kebutuhan untuk pulang ke kampung halaman. Menemui orang tua, handai taulan, dan kerabat semasa kecil. Bersilaturahmi serta menjalin kembali persaudaraan yang telah renggang selama setahun.

Beberapa hari yang lalu, sebelum tiba lebaran, orang-orang yang memiliki kedudukan di perusahaan dan organisasi, melancarkan aksi pamer jabatan. Mereka membuat desain pamflet dengan diterangkan nama dan jabatannya, sembari dibubuhi kata-kata indah nan manis.

Saat tiba lebaran, usai menemui sanak saudara dan kerabat (silaturahmi), linimasa media sosial dipenuhi sukacita yang (barangkali) sangat berlebihan. Sebab terlalu bahagia, sebagian besar orang (termasuk saya), tidak lupa untuk mengunggah foto ke beranda akun pribadi.

Narsisme terpampang jelas. Bahkan, kuburan pun diajak untuk berswafoto. Semua sibuk merunduk. Mengetik keterangan (caption) foto semenarik mungkin agar disukai dan dikomentari banyak orang. 

Barangkali ada beberapa pesan Ramadan yang kurang mematri jiwa. Pesan mendalam tentang hidup yang harus terus melihat ke bawah. Merasakan lapar sebagaimana saudara kita yang susah-payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya di atas rumah gerobak, atau di teras-teras ruko pinggir jalan. Tujuannya, agar kita mampu rendah hati, selalu merasa kecil, dan tak memiliki kekuatan apa pun jika tanpa pertolongan Allah.

Barangkali ada yang lupa, kalau ternyata ibadah ritual adalah tonggak dari berdirinya bangunan sosial. Ramadan juga berpesan agar hidup tak korup. Berlaku jujur, sederhana, amanah, dan tidak riya' atau menampilkan kepongahan.

Sebab, apa yang menjadikan puasa sebagai sesuatu yang pantas disombongkan? Toh, puasa adalah ibadah privat, antara Allah dan seorang hamba. Nilai pahala yang diberikan, diterima atau tidak ibadah selama Ramadan, dan seberapa tingginya kualitas amal saleh yang dilakukan, hanya Allah-lah yang tahu.

Barangkali juga ada yang tertinggal dari Ramadan, yakni soal menyembunyikan keburukan karena ada rasa malu di dalam diri. Bahasa positifnya, bukan munafik, tapi menutupi aib.

Kini, semua terpampang jelas dan kembali mengemuka. Bahkan, lebih dekat dari mata dan telinga. Keburukan atau kemaksiatan kini telah terdigitalisasi. Sejak bangun tidur hingga tertidur lagi, semuanya hadir dalam genggaman.

Lalu, pesan Ramadan apa yang akan kita bawa untuk bekal menuju perjalanan yang jauhnya hingga menempuh kurang lebih 330 hari?

Wallahua'lam...


*Catatan ini pertama kali ditulis pada Juni 2019

Previous Post
Next Post

0 komentar: