Minggu, 14 Februari 2021

Hari Valentine Embel-embel Islami

 

Ilustrasi. Sumber: NU Online


Hari ini, 14 Februari 2021, disebutnyalah sebagai Valentine's Day. Entah dari mana mulanya, tiba-tiba dimaknai sebagai Hari Kasih Sayang. Umat Islam tentu saja berbondong-bondong menolaknya, karena secara kesejarahan, Valentine's Day tidak bernilai. Namun kalau dimaknai secara positif, tentu saja bisa, dan itu lebih baik. 


Kemudian bagaimana misalnya jika valentine kita beri embel-embel Islami saja? Ini bertujuan agar umat Islam tidak alergi dengan valentine alias mampu berpikir positif dan memanifestasikannya ke dalam laku Islam yang penuh selamat, damai, dan sejahtera. Lagi pula, umat Islam di Indonesia ini kan memang suka sekali dengan embel-embel Islami. Ya, kan?


Saya rasa kalau valentine diberi embel-embel Islami, mungkin saja sebagian umat Islam yang kerap membawa-bawa dalil beserta terjemahannya untuk menolak bisa turut merayakan Hari Valentine Islami ini. Setidaknya, mereka tidak turut dalam kebisingan penghakiman. 


Islam secara substantif tentu berbeda dengan kostum drama, sinetron, dan tayangan-tayangan televisi saat Ramadan. Islam adalah nilai sekaligus metodologi. Ia (Islam) bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari agama lain, dari ilmu-ilmu sosial modern, dan bahkan khazanah tradisional suatu bangsa. Namun secara entitas, Islam hanya sama dengan Islam.


Bahkan, Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang beragam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’ah, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, FPI, dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah. (Najib, 2014)


Semua pemeluk Islam, pasti akan berjuang mempertahankan pandangannya masing-masing untuk mendekati kebenaran dan kesejatian Islam. Namun sungguh, pandangan itu pun bukanlah kebenaran dan kesejatian Islam itu sendiri. Secara otomatis, hal itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mendaku diri bahwa Islam yang benar adalah kelompok Islam yang dianutnya.


Jika ada orang atau sekelompok tengah berjuang melakukan Islamisasi, dakwah Islam, syiar Islam, bahkan perintisan pembentukan Negara Islam, maka yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah (konsep) Islamnya mereka sendiri.


Islamnya setiap orang, tentu tidak bisa diklaim sebagai Islam yang sama persis dengan Islam menurut Allah. Begitulah memang, hakikat penciptaan Allah atas kehidupan sehingga ketika Islam bertamu ke rumah kita, tidak lantas bermaksud untuk memaksa kita agar mau menerimanya.


Ayat Laa ikraha fiddin bermakna bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Termasuk tidak boleh ada pemaksaan dalam menafsirkan Islam. Tafsir populer atas Islam, bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.


Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya dipenuhi pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.


Di samping itu, Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk melakukan kamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi, dan keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja. 


Sebagian umat Islam berpandangan bahwa memeluk Islam itu sama artinya dengan yang penting tidak tampak kafir, bergabung dengan training shalat, terlihat di mata orang lain bahwa dirinya menjadi bagian dari orang yang mencari surga, berdzikir ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagai pasukan Malaikat Jibril.


Sedemikian rupa-lah Islam, sehingga (dapat) diselenggarakan dan dilakukan dengan berbagai formula dunia modern, industri liberal, modeshow, pembuatan film, diskusi pengajian, dan yang terpenting adalah dikasih 'kostum Islam'.


Tapi tentu saja jangan diteruskan hingga ke tingkat penyelenggaraan gosip Islami, peragaan busana renang muslimah, lokalisasi pelacuran Islami, bahkan pertandingan voli wantia muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai-sampai dengan sangat polos dan ahistorisnya, kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagai Hari Valentine Islami.


Lantas apakah ada Hari Kasih Sayang Islam versi Islam? Tentu saja. Ini tak lain dari kisah heroik Nabi Muhammad pada Fathu Makkah yang dalam Al-Quran disebut sebagai Fathan Mubiina (kemenangan yang nyata). Kemenangan ini diraih pada 10 Ramadan tahun ke-8 hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah berhasil merebut kembali Makkah. Atas izin Allah, Islam akhirnya memperoleh kemenangan besar. Lalu tawanan musuh diberi amnesti massal.


Setelah itu, Nabi kemudian berpidato di hadapan ribuan tawanan perang, "hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa."


Artinya: "Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing."


Mendengar pidato itu, pasukan Islam merasa kaget juga. Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman, musuh diminta untuk dibebaskan. 


Itu pun belum cukup.


Nabi memerintahkan agar seluruh harta rampasan perang, seperti berbagai harta benda dan ribuan onta untuk dibagikan kepada para tawanan. Sayangnya, pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sebagian dari mereka mengeluh dan sebagian pasukan Islam yang lainnya mengajukan protes kepada Rasulullah.


Mereka dikumpulkan dan Nabi bertanya: "Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?"


Mereka menjawab: "Sekian tahun, sekian tahun."


"Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”


"Tentu saja sangat mencintai."


Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: ”Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”


Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan, bahkan dengan bumi dan langit.


Maka tentu saja, seumpama kita berada di situ sebagai bagian dari pasukan Islam, sepertinya kita akan menjawab dengan ungkapan yang berbeda: "Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh juga diberi onta dan emas barang segram dua gram."


Hahahahahahahaaha....

Previous Post
Next Post

0 komentar: