Senin, 06 Mei 2019

Ramadan Bulan Idealisme



Puasa hari pertama, kita masih dihadapkan pada situasi pascapilpres yang kian memanas. Masing-masing kubu merasa menang, dan kemudian diperparah dengan salah satu kubu yang merasa dicurangi. Lalu bagaimana seharusnya Ramadan ini berlangsung tanpa konflik?

Memang, konflik politik di negara yang sedang menuju kedewasaan dan pedewasaan berdemokrasi ini masih sulit terbendung. Tapi setidaknya, hemat saya, para politisi dan elit negeri ini mampu menetralisir atau bahkan mengurangi isu yang dilancarkan ke bawah. Sehingga masyarakat akar rumput tak terbakar oleh api amarah dan kebencian.

Baru hari pertama, tentu kita masih beradaptasi. Tak mungkin langsung menjadi sempurna. Namun, memang pada dasarnya, Ramadan adalah pelatihan paling ampuh untuk menahan berbagai hawa nafsu yang menyelimuti raga, dan juga jiwa.

Bagi saya, Ramadan adalah bulan idealisme kaum beriman. Siapa yang teguh berpendirian, ia akan mendapat gelar kemenangan dan memperoleh banyak kebaikan dari Allah. Syaratnya, harus tidak terpengaruh sama sekali oleh berbagai hasutan dan ajakan yang berakibat membatalkan pahala puasa.

Puasa Ramadan merupakan ruang privat yang diberikan Allah agar orang-orang beriman mampu meningkatkan kualitas. Caranya tidak mudah. Bukan hanya sekadar beribadah menahan haus dan lapar. Bukan hanya menahan berbagai perbuatan lahiriah yang kasat mata, yang dapat merusak ibadah, tetapi juga berbagai perbuatan batiniah yang hanya kita sendiri dan Allah yang tahu.

Maka, idealisme keilahian itu harus terus dijaga. Menjaga berarti mempercayakan. Mempercayakan berarti memasrahkan. Memasrahkan berarti sudah tak mempedulikan apa-apa, kecuali dirinya dengan Allah.

Karenanya, Allah sudah tidak lagi menjadi objek yang terpisah sehingga jauh dari diri. Tetapi, kita dan Allah sudah menyatu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam diri, jiwa, raga, pikiran, nurani, dan segala unsur yang terdapat dalam tubuh; lahiriah maupun batiniah. Seluruh aktivitas yang dilakukan, Allah yang memiliki kuasa. Tak ada kekuatan apa pun, kecuali Allah. Hanya Allah di dunia. Tiada yang lain. 

Kalau sudah seperti itu, berarti yang keluar ke luar untuk kehidupan adalah berbagai hal yang baik. Idealisme, memang begitu, apabila terus-menerus dipertahankan, walau pahit dirasa karena harus melewati berbagai tahap rintangan, tapi di kemudian hari akan mendapat tuah yang tidak dimiliki oleh yang lain. Eksklusifitas idealisme akan senantiasa terengkuh bagi siapa pun yang komitmen menjaganya.

Ramadan adalah bulan idealisme, berarti sepakat untuk tidak membuat kerusuhan, baik rusuh secara fisik maupun nonfisik. Fisik berupa penghancuran terhadap bangunan-bangunan, bentrok antarkelompok, dan menggangu aktivitas manusia secara umum. Sedangkan nonfisik berarti melakukan penghancuran pemikiran, memberangus pendapat yang berbeda, atau bahkan memaksakan kehendak pikiran agar orang lain dapat seragam.

Selain itu, kerusuhan nonfisik juga kerap terjadi di media sosial. Kalau kita terhanyut dalam kerusuhan tersebut, maka batal sudah idealisme kita sebagai kaum beriman yang idealis. Sebab sudah terperangkap pada pragmatisme pemikiran yang mudah diterima, baik dikonsumsi untuk kemudian menghancurkan yang lain maupun justru menjadi korban dari penghancuran pemikiran itu sendiri.

Namun, sekali lagi, jika Allah sudah menempati di setiap ruang di dalam diri, maka takkan ada yang mampu menghancurkan keteguhan idealisme itu. Siapa yang dapat menghancurkan Allah? Satu pun sama sekali tidak ada. Kalau sudah kuat, teguh, dan kokoh, maka selama sebulan kita dapat menjaga idealisme itu. Sehingga di akhir Ramadan nanti, kualitas keberimanan kita, berkat idealisme yang dirawat dan dijaga, dapat meningkat menjadi level takwa.

Cara agar mampu menumbuhkan kualitas, utamanya adalah menjaga idealisme. Itu menjadi kunci agar mampu mengejawantahkan berbagai tugas-tugas keilahian yang kemudian terkristal menjadi perilaku kemanusiaan. Sebab tak mungkin, nilai-nilai ilahi yang terus ditingkatkan tetapi justru mengurangi dan bahkan sama sekali tak mampu menciptakan dampak, berupa nilai-nilai kemanusiaan.

Salah satu contoh dari tugas keilahian yang terkristal menjadi perilaku kemanusiaan itu adalah menjalankan berbagai ibadah puasa, seraya tidak merasa lebih baik dan lebih terhormat dsri orang-orang yang tidak berpuasa. Karena ketika sudah terbersit dalam pikiran, merasa diri lebih hebat lantaran melakukan tugas-tugas keilahian, gagal sudah kita meningkatkan kualitas. 

Saya membayangkan, jika para politisi dan elit negeri ini mampu menjaga idealisme di Ramadan kali ini, insyaallah sebentar saja, Indonesia akan menjadi negara yang ideal sebagaimana yang sejak dulu kita cita-citakan. Yakni, alladzii ath'amahum min juu'in, wa aamanahum min khouf. Negeri yang optimis, maju, adil, dan makmur.

Terbebas dari kelaparan, sehingga seluruh rakyat sejahtera, juga aman dari berbagai ancaman, sehingga orang-orang beriman dapat terhindar dari rasa takut yang dapat membahayakannya.

Pascapilres atau puasa di tengah hiruk-pikuk politik yang memecah-belah ini, menjadi penting untuk masing-masing diri melakukan sosialisasi perdamaian kepada manusia lainnya yang masih menginginkan negeri ini berjalan damai. Di masjid-masjid, musala-musala, dan majelis taklim adalah tempat-tempat yang cocok untuk menyejukkan masyarakat akar rumput dari konflik yang membabi-buta selama ini.

Mari menjadi penyejuk. Mari menjaga idealisme. Mari menjaga kesucian Ramadan. Mari untuk tidak jemawa karena beribadah. Mari beribadah seraya berkemanusiaan. Mari bersama-sama membangun Indonesia. Mari gotong-royong, bekerja sama, bahu-membahu mendirikan harga diri dan martabat bangsa yang semula jatuh karena permusuhan, menjadi terangkat oleh persatuan dan kesatuan yang solid. Mari kita jaga Indonesia. 

Bersatulah, wahai cebong dan kampret; wahai para pendukung militan Jokowi dan Prabowo, Sandiaga Uno dan Ma'ruf Amin; wahai para tim sukses atau relawan 01 dan 02; wahai bangsa Indonesia.

Sebab politik itu fana, Indonesia yang abadi. 
Previous Post
Next Post