Jumat, 01 November 2019

Islam Bukan Hanya Persoalan Akidah dan Syariat


Gambar ini diambil dari history.com

Dalam sebuah diskusi santai bersama KH Nurul Huda (Ayah Enha), di Pesantren Motivasi Indonesia, Burangkeng, Setu, Bekasi, saya mendapat banyak pelajaran tentang sebuah cara memahami Islam dari sudut pandang yang baru. 

Pola kaum beragama sebagian besar umat Islam kekinian, terutama di perkotaan-perkotaan, memang sedang mengalami peningkatan secara simbolik dan kuantitas ibadah atau intensitas perjalanan pergi-pulang ke rumah ibadah.

Kemudian juga ada banyak sekali peraturan-peraturan daerah, yang misalnya diterapkan sebagai upaya (atau bertujuan) untuk menerapkan syariat Islam sekaligus menjaga akidah umat Islam. Hanya sebatas itu.

Tentu saja, semua hal tersebut bermula dari kampanye keagamaan, "Kembali kepada Al-Quran dan Hadits". Memangnya sejak kapan, sebagian umat Islam keluar dari inti sumber hukum Islam itu, sehingga harus ada kalimat kampanye yang demikian? Apakah Islam dipandang hanya sebatas akidah, syariat, dan berbagai hal yang serba rumit dimengerti?

Begini, Ayah Enha pernah menjelaskan kepada saya bahwa apabila Islam itu dipahami bukan hanya sekadar akidah dan syariat, maka kita akan dapat merasakan betapa Islam memiliki positioning yang begitu luas. Ya, Islam memang lebih luas dari pada sekadar akidah dan syariat.

Islam itu sebagai ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Jadi seluruh perdebatan, misalnya, soal halal-haram atau sesat-menyesatkan tidak lagi menempati posisi teratas dalam kehidupan keberagamaan kita sebagai muslim.

Walau demikian, diskursus soal itu, halal-haram dan sesat-menyesatkan, biar diletakkan di wilayah internal saja. Tergantung pada istidlal dan istinbath masing-masing.

Lalu pada skala makro, umat Islam juga harus bergerak pada pengejawantahan keislaman yang rahmatan lil 'alamin. Maka kemudian bergulirlah berbagai ide pengetahuan, sains, konsep moral dan budaya, yang akan mewujud pada persaudaraan-kemanusiaan tanpa pandang ras, suku, dan golongan atau bahkan agama.

Nah sayangnya, sebagian dari muslim yang ada di tengah masyarakat kita, terlalu takut memasuki ranah tersebut. Mungkin saja, beberapa orang beranggapan bahwa jika bersentuhan pada ide-ide kesetaraan dan perdamaian-kemanusiaan tanpa pandang bulu itu, akan menodai akidah dan keyakinan kepada Allah. Benarkah demikian? Saya rasa tidak. Itu hanya ekspresi dari dosis beragama yang terlalu tinggi.

Padahal, jutaan umat yang dalam doktrin keagamaannya mengusung spirit kemanusiaan ini tetap tidak akan kehilangan identitas akidahnya sebagai mukmin. Yakni sebagai orang-orang yang mampu memberikan kemananan terhadap sesama saudaranya, bahkan keamanan untuk negeri ini dan semesta.

Karena sesungguhnya, ketakutan terhadap akan bergeser akidah lantaran mengusung ide-ide kesetaraan atau perdamaian-kemanusiaan, merupakan sebuah kekeliruan dalam beragama. Alih-alih menyelamatkan akidah, tapi justru sikap dan tindakan yang muncul di kemudian waktu adalah arogansi, radikal, dan ekstrem.

Bukankah dengan kita selalu memelihara ketakutan itu, justru mengecilkan nilai tauhid yang diyakini?

Konsistensi tauhid itu sejatinya berada pada sikap pembebasan terhadap segala bentuk penindasan atau penghambaan, baik kepada makhluk atau bahkan kepada pikiran sendiri (dan kelompok). 

Sebenarnya, dalam konsep Islam, tauhid merupakan pemurnian hingga pada batas ketidakmampuan pikiran kita memberikan balasan atas hakikat, esensi, dan substansi Dzat Ilahi. 

"Tauhid kita bukan sekadar perkataan yang diucapkan lisan. Bukan juga sekadar persepsi falsafah hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Tapi tauhid kita adalah potensi pembebasan," kata Ayah Enha dengan semangat menjelaskan. 

Potensi pembebasan itu yang kemudian mampu memerdekakan manusia dengan segala kekuatannya dari menghambakan diri kepada sesama makhluk, ketika dengan tulus menghambakan diri kepada Allah dengan sangat sempurna.

Hal tersebut, bagi Ayah Enha merupakan realisasi total dari hubungannya dengan Allah. Yakni hubungan yang akan melindungi manusia itu sendiri dari segala macam kelemahan yang akan menyeretnya ke jurang keterasingan.

Lalu, kenapa kita berdebat soal teks suci dengan pemaknaan yang dipaksakan, padahal sejak dulu makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai? Ini berkaitan dengan ucapan simbolik dan kesucian.

"Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir, tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan," kata Ayah Enha.

Dikatakan, ribuan kitab tafsir Al-Quran dan prosesi martabat kesahihan hadits nabi yang disusun para ulama, menjadi indikasi paling signifikan mengenai ambiguitas persepsi atas dalil keagamaan. Karenanya, semua keyakinan terhadap penerimaan atas ajaran agama, akan segera berpulang kepada keyakinan penganutnya masing-masing.

Maka, sampai kiamat kita tidak akan bisa memaksakan terciptanya wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran). Arah wihdatul fikrah, seperti digagas oleh sekelompok umat, benar-benar ahistoris atas keragaman makna yang faktanya diakomodir oleh banyak dokumentasi nash dalam risalah Islam.

Perbedaan cara pandang dan proses memaknai risalah harus benar-benar disikapi dengan tenang, damai, dan berorientasi pada produktivitas karya kemanusiaan yang nyata. Bukan justru mengedepankan arogansi kelompok dan golongan, sehingga membuat Islam semakin terpuruk dalam kejatuhannya.

Mari bangkit menuju keberagamaan yang tasamuh dan padat karya manfa'at. Aamin. Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: