Rabu, 14 November 2018

Pengakuan Seorang Kiai Solo Terkait Keislaman Jokowi


Sumber gambar: bikinpinter.com


Tulisan ini berawal dari seringnya mendapat pertanyaan dari teman-teman alumni Pondok Pesantren Langitan perihal sosok Jokowi, tentang bagaimana keislaman dan kiprahnya sewaktu menjadi Walikota Solo.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena mungkin seringnya kampanye hitam yang mereka terima. Baik melalui pesan singkat, transkrip pembicaraan, dan media massa atau pun media sosial.

Awalnya saya jawab, "Menurutku, sepengetahuanku..." Tapi jawaban seperti itu, bagiku, tidak afdhol. Kurang sahih, tsiqoh. Aku ini siapa memangnya?

Kemudian saya berinisiatif untuk mendapatkan info tentang Jokowi dari sumber yang tsiqoh, yang tahu dan kenal dekat dengan Jokowi. Setahuku, ada seorang hafiz Qur'an dan juga Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zayyady, Laweyan, Solo. Beliau adalah KH Abdul Kareem.

Bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, pasti tahu siapa beliau. Beliau itulah sahabat sekaligus mentor Jokowi.

"Pak, keislaman Jokowi niku pripun (bagaimana sebenarnya keislaman Jokowi)?" tanyaku langsung ke inti masalah. Siang itu, Ahad 22 Juni, di ndalem beliau. Tegal Ayu, Laweyan, Solo.

"Islam-imanipun Jokowi miturut kulo sae, saestu sae (keislaman dan keimanan Jokowi menurut saya itu baik, benar-benar baik). Saya kenal Jokowi jauh sebelum ia jadi walikota, yakni ketika dirinya menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo).

"Jokowi punya perusahaan mebel namanya Rakabu. Ia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Lalu, di kemudian hari membentuk majelis pengajian Pengusaha Islam Muda yang namanya Bening Ati. Pengasuhnya saya sendiri, Pak Kiai Nahar (Pengasuh PP Ta'mirul Islam waktu itu) dan Pak Kiai Rozak (Pengasuh PP Al-Muayyad).

"Tapi beberapa tahun majelis pengajian berlangsung, kemudian goyah. Hal itu disebabkan beberapa anggotanya sama-sama mencalonkan diri menjadi walikota. Pak Jokowi, Pak Purnomo (sekarang jadi Wakil Walikota Solo), dan Pak Hardono. Pada saat itulah, saya tahu betul bagainana Pak Jokowi.

"Sebab, selalu bareng ke mana saja. Puasa senin-kamis, tidak pernah ditinggalkan Jokowi. Tahajjudnya luar biasa. Sama sekali tidak pernah tinggal Jum'atan, apalagi cuma salat lima waktu yang memang sudah kewajiban. Keluarga Jokowi juga islamnya taat. Adik-adiknya yang putri, semuanya berjilbab sejak dulu dan diambil mantu oleh orang-orang yang islamnya baik semua.

"Tapi saya ini tidak habis pikir. Kenapa orang yang jelas-jelas keislamannya kok malah diisukan sebagai kafir. Keturunan Nasrani, cina, dan lain-lain, hanya karena perbedaan politik. Sementara yang mengisukan itu ya orang Islam juga.

"Kulo meneng wae opo yo trimo? Opo yo pantes, dulur Islam dikafir-kafirke, kok meneng ora mbelani, opo yo pantes? (saya diam saja apa harus menerima? Apa pantas, saudara Islam dikafirkan-kafirkan tapi diam saja tidak membela, apa pantas?" ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata, sehingga mata beliau memerah. Suaranya sengau menahan isak.

Melihat pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu. Seperti diremas-remas oleh kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama untuk kekuasaan. Saya terdiam lama. Untuk meneruskan pertanyaan rasanya tidak mampu. Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-iris kalbu.

“Ya memang Pak Jokowi bukanlah santri, bacaannya tidak sebagus santri-santri Muayyad, tapi apa terus kekurangan seperti itu menjadikannya pantas dicap abangan, tidak mengerti agama, apalagi kafir?” dengan menahan isak pertanyaan itu terucap.

Memang, isu Jokowi sebagai orang abangan atau kejawen itu dimunculkan sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta dua tahun lalu. Setahuku, Jokowi waktu itu sama sekali tidak menggubris isu-isu tersebut.

Tapi rupanya, isu-isu itu dimunculkan kembali saat Pemilihan Presiden (Pilpres) ini, lebih masif dan dasyhat. Sehingga pada waktu Jokowi sowan ke Pak Dul Kareem (begitu aku biasa menyebut KH Abdul Kareem Ahmad), 6 Juni lalu.

"Kulo kiyambak Gus Kareem, bisa menahan diri difitnah-fitnah seperti itu, tetapi kalau itu ibu saya, ibu saya difitnah kafir, nasrani, kulo sing mboten saget nrimo (tidak apa saya difitnah, tapi kalau ibu saya yang difitnah kafir, nasrani, saya tidak terima),” kata Jokowi ditirukan Pak Dul Kareem. Lah dalah, saya merinding mendengar cerita tersebut.

Mungkin juga, Jokowi dianggap orang abangan karena diusung PDI Perjuangan yang identik dengan abang-abang. Padahal PDI Perjuangan Solo, sangat agamis. Punya masjid sendiri di depan Kantor PDI Perjuangan di Brengosan dan masjidnya makmur.

Setiap minggu, ada kegiatan Semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin. Selain itu, PDI Perjuangan adalah partai yang terkuat di Solo. Partai-partai lain yang berbasis Islam seperti PPP dan PKB sama sekali tidak ada baunya, kecuali PAN dan PKS.

Sebetulnya obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang didawuhkan oleh Pak Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku singkat semua obrolan tersebut dengan sebuah pertanyaan, "Bagaimana kepemimpinan Jokowi selama menjadi Walikota Solo, ketegasan dan juga kebijakannya, terutama pada umat Islam?"

"Kebijakan Pak Jokowi selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu dikonsultasikan dulu pada ulama Solo. Terutama kepada Kiai Durrohim, Mustasyar NU waktu itu. Kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam subtantif.

"Kemudian Pak Jokowi sangat merakyat, umat Islam di Solo itu kan mayoritas dan juga kalangan bawah. Jadi, Pak Jokowi untuk mengangkat ekonomi rakyat kecil dengan membangun banyak pasar tradisional, minimarket tidak boleh buka 24 jam, tidak mengizinkan mall-mall ada lagi. Kata Pak Jokowi, kalau umat Islam sejahtera maka masjid dengan sendirinya akan dipenuhi jama’ah,” jelas Pak Dul Kareem padaku.

Memang yang saya dengar selama ini seperti itu. Bahkan, Jokowi berani menentang kebijakan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang mengizinkan dibangunnya mall di Sari Petojo. Sebab, memang tanah Sari Petojo adalah milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan berhubung itu berada di daerah Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh Jokowi, karena tidak berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.

"Contoh lain, Lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi. Setahun menjadi walikota, ditutup oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar untuk menghidupkan perekonomian warga sekitar. Sementara yang mengisi pasar tersebut adalah para pedagang loak yang di Banjarsari. Di sana itu ada sebuah monumen yang menjadi cagar budaya, kumuh dan kotor karena di tempati oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak teratur.

"Cara memindahkannya pun, masyaallah, sangat manusiawi. Nguwongke uwong tenan (sangat memanusiakan manusia). Perwakilan PKL diundang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan kali. Kalau tidak salah untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan ketika para pedagang menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan. Tapi dipawaikan, dikirab dengan marak, podo ditumpakke jaran, seneng tenan, podo diuwongke mbek walikotane (proses pemindahan tidak dengan kekerasan, semua pihak merasa dihargai),” cerita Pak Dul Kareem panjang lebar.

Saya membayangkan kemeriahan dan kegembiraan warga yang merasa dimanusiakan oleh pemimpinnya. Sebelum era Jokowi, Solo kumuh dan semrawut. Tapi sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun tidak semuanya, tapi itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum Walikota Jokowi. Sedangkan ketika Shilir ditutup, Habib Syekh yang memang tinggal di Semanggi mendirikan majelis Shilir Berdzikir yang menjadi cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.

Solo saat ini jadi lebih hijau dhohiron wa bathinan (lahir batin). Peringatan hari besar Islam juga lebih semarak. Ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan dzikir tahlil dan barzanji yang semakin marak, ada setiap saat. Dilakukan tidak hanya di masjid-masjid, tapi juga di hotel-hotel mewah.

Itu semua sebab kebijakan-kebijakan Jokowi dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat dan juga Spirit of Java. Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang jarang, karena NU di Solo adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang seakan harus hadir dalam setiap momen, sejak Jokowi menjadikan Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu rutin di Balai Kota setiap Rabiul Awwal.

Tidak hanya itu, di rumah dinasnya, di Lodji Gandrung dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23 rakaat beserta witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.

“Ketika Jamuro pertama kali diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan, dalam bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto, tapi jebule stiker (saya kira isinya uang, tapi ternyata isinya stiker) bertuliskan: Jamuro, dengan Bershalawat Kita Semua Selamat Dunia Akhirat," lanjut Pak Dul bercerita.

Aku tertawa mendengar cerita tersebut, sebab kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar uang kertas, dibungkus dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum, bisa menjadikan orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule (ternyata) cuma stiker.

Jamuro, singkatan dari Jama'ah Muji Rosul. Awalnya hanya majelis dzikir tahlil dan pembacaan barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah. Tapi sekarang jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya. Sementara Pak Jokowi adalah salah satu pembina Jamuro.

"Kebetulan, Pak Jokowi setahun jadi walikota, saya jadi ketua PCNU Solo. Jadi bisa bersinergi dengan Pak Wali. Pak Jokowilah yang mengusulkan dan yang menyarankan agar dibentuk Ranting NU di seluruh Solo. Ada 51 ranting dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting. Itu berkat Pak Jokowi. Tidak hanya itu, Pak Jokowi juga membuatkan 51 papan nama untuk Ranting NU itu," cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.

"Di antaranya juga, Salat Idul Fitri bisa terlaksana di balai kota, itu juga kebijakan Pak Jokowi. Pak Jokowi jugalah yang menutupi dua arca yang ada di depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal untuk hal seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa," tambah Pak Dul Kareem.

Saya jadi teringat ketika Jokowi mengangkat gong yang ingin ditabuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Entah dalam pembukaan apa itu, saya lupa. Hal-hal seperti itu tentu tidak pernah kita dengar dari mulut Jokowi sendiri, karena justru yang kita dengar hanyalah pembelaan, “Saya Islam, dan saya meyakini kebenaran Islam saya.”

Pembelaan diri Pak Jokowi ini adalah pengakuan bahwa dirinya berasal dari keluarga muslim yang baik, yang juga telah melakukan rukun Islam kelima, itu juga baru kita dengar setelah begitu gencarnya fitnah yang meragukan keislamannya selama Pilpres 2014 ini.

Selama Pilkada Jakarta, dua tahun lalu, Jokowi membiarkan fitnah-fitnah itu bagai angin lalu, "Islamku yo Islamku, lapo dipamer-pamerke (Islam saya adalah Islam saya, tidak perlu dipamerkan)."

Mungkin seperti itu pikirnya. Padahal sekarang yang lagi naik daun adalah, "Akulah yang paling Islam, akulah yang paling benar". Sedangkan yang lain KW.

Pak Kiai Dul Kareem, memang tidak semasyhur para masyayikh maupun para mursyid. Tapi beliau adalah orang yang ikhlas, dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya didengar Jokowi. Jokowi pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik.

"Gus Kareem, saya minta dikawal sampai selesai, tapi panjenengan hanya bisa menasehati kulo atau memberi usul, tidak bisa mengubah kebijakan saya dalam hal pemerintahan. Kalau dalam hal wudhu atau salat, atau ibadah kulo yang salah, kulo menawi mboten nurut Jenengan, kulo monggo Jenengan sampluk (Kalau dalam urusan wudhu dan salat saya salah, tolong saya diluruskan), itu perkataan Jokowi sendiri ketika dia menjadi Walikota Solo, begitu itu sosok Pak Jokowi, tegas, semua bawahannya pasti tahu itu," Pak Dul Kareem mengakhiri ceritanya. 

Terlepas dari penuturan di atas, Jokowi juga mempunyai banyak kekurangan, baik dalam pemerintahan maupun perilakunya. Dan itu kalau ditulis bisa jauh berlampir-lampir, beredisi-edisi. Sebab mengurai kekurangan orang lain tidak akan ada habisnya. Jokowi hanyalah manusia biasa. Sementara saya hanya fokus untuk menjawab pertanyaan teman-temanku selama ini.

Wallahua'lam...

Gus Irfan Nuruddin, santri Pondok Pesantren Langitan, Khodimul ma’had Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo.
Previous Post
Next Post

0 komentar: