Rabu, 28 November 2018

Gus Dur Sebagai Representasi Dua Kultur NU


Sumber gambar: kompas.com

Dalam sejarah perjuangan dan gerakan sosial di Indonesia, hampir selalu terjadi kesenjangan antara tradisi dan kemodernan, juga antara kaum tua dan muda.

Karena tidak ditengahi dengan baik, kesenjangan itu seringkali menjadi faktor yang menyuburkan pertentangan antarkelompok dan menunda keberhasilan perjuangan kolektif di setiap generasi.

Namun dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU), kesenjangan itu selalu bisa diatasi dan dikelola dengan munculnya seorang tokoh yang bisa menjembatani kedua belah pihak dengan baik.

KH A Wahid Hasyim merupakan contoh dimana kehadirannya di tengah NU mampu membangun sinergi antara tradisi dan kemodernan, antara kiai-kiai sepuh dan kaum muda NU.

Gagasannya tentang pengembangan sistem pendidikan umum di lingkungan Pesantren Tebuireng Jombang pada 1936. 

Saat ia menjadi Menteri Agama RI (1949-1952), berbagai inovasi ditawarkan sehingga mampu menjembatani secara efektif kesenjangan tradisi pesantren dan dunia modern, serta kaum tua dan muda.

Keduanya sama-sama penting karena bersifat saling melengkapi, sehingga dinamisasi kehidupan pesantren menjadi sesuatu yang diterima tanpa gejolak. Bahkan tanpa kehilangan identitasnya sebagai suatu entitas tradisi yang baik.

Di masa kemudian, berbagai peran yang telah dimainkan Kiai Wahid diteruskan dengan sangat ciamik oleh puteranya: KH Abdurrahman Wahid.

Gus Dur sangat memahami ajaran Islam dan tradisi keilmuan pesantren dengan segala kompleksitasnya. Ia juga menguasai informasi dan pengetahuan dunia modern dengan segala variannya.

Karena itulah, Gus Dur dengan sendirinya mampu menjadi wakil dan penyaring, yang kemudian mempertemukan dua arus itu menjadi kekuatan dinamisasi dan transformasi menyeluruh dalam kehidupan di dalamnya.

Peran dan posisi seperti itu bisa dimainkan Gus Dur secara total, karena ia tidak semata-mata mengajarkan suatu kepiawaian politik saja, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan (wisdom) dalam berperilaku politik yang bersumber pada akumulasi pengetahuan dengan seluruh kompleksitas masalahnya.

Gus Dur adalah representasi paling genuine dari dua kultur yang terus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Pertama, kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi embrio NU. Kedua, kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. 

Dalam konteks gerakan NU, kiai adalah hati dan suluh dalam merebut hak-hak sejarahnya. Sementara kaum muda NU dengan diversifikasi pendidikan dan gerakan sosialnya adalah ujung tombak perjuangan multi sektoral NU.

Dengan demikian, sinergi kiai dengan kaum muda NU menjadi aksioma (keharusan) bagi kemenangan perjuangan politik kebangsaan NU.


(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)
Previous Post
Next Post