Rabu, 18 Januari 2017

Ahok dan Rizieq Sama-sama Santun


Ilustrasi. Sumber: suratkabar.id

Pilkada DKI Jakarta ini memang benar-benar seru. Tak bisa dipungkiri, saya jadi pusing kepalang melihat pesan berantai yang dikirim ke grup-grup WhatsApp. Semuanya membela diri. Bahkan, cenderung memaksa bahwa pendapatnya benar dan cukup rasional untuk diterima.

Di setiap grup yang saya ikuti, anggota-anggotanya pintar semua. Tak bisa dibedakan antara orang yang kaya literatur dengan yang jarang membaca. Setiap orang berpendapat. Entah dibaca atau tidak, diterima atau tidak, yang penting pesannya masuk. Lucu.

Mereka berdebat dengan menyertakan dalil; Firman Tuhan, Sabda Rasul, atau bahkan keduanya. Hal itu guna membuat orang lain percaya atas argumentasi yang disampaikan. Pada akhirnya, diskusi seperti terdistorsi karena argumentasi yang disertai dengan teks suci.

Dunia seolah terpecah menjadi dua kubu. Pembenci Ahok dan kelompok anti-FPI. Kemudian, istilahnya diperlebar menjadi golongan munafik dan golongan orang-orang pembela agama yang sejati. Hitam dan putih adalah warna yang mesti dipilih. Tak ada warna selain itu. Kalau tidak memilih hitam atau putih, berarti golongan setan. Na'udzubillah.

Padahal, selain hitam dan putih terdapat warna lain yang indah. Ada merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pilihan-pilihan itu yang seharusnya dipilih agar tak terjebak dalam ruang fanatisme dan kebencian yang membabi-buta. Pada warna-warna itu, tercipta rongga sedikit untuk memberi kritik membangun dan apresiasi secukupnya.

Ahok dan Rizieq adalah dua sosok yang telah memberikan kontribusi yang cukup baik atas keberlangsungan berpikir bagi manusia Indonesia saat ini. Mereka berdua memberi pelajaran berharga bagaimana menghargai pilihan orang lain tanpa harus memutus jalinan silaturrahim antarsesama. Mari kita membaca, agar tak hilang arah saat kendali otak mulai oleng.

Saya tidak perlu merunut kejadian dari awal; sejak pidato Ahok di Kepulauan Seribu atau Buni Yani yang menyebar video Ahok, seminggu setelahnya. Saya sama sekali tidak akan mengatakan bahwa Buni Yani sengaja mencari titik kesalahan Ahok untuk menjatuhkannya di Pilkada DKI Jakarta. Sama sekali, saya tidak bermaksud seperti itu.

Namun, saya ingin membahas soal penggemar atau simpatisan dari Ahok dan Rizieq yang luar biasa itu. Mereka seperti membabi-buta dalam mendukung dan membenci. Hal tersebut yang sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Terlebih di akar rumput, yang tingkat pengetahuannya masih rendah. Kita seperti sedang diadu domba. Dibenturkan satu dengan yang lainnya.

Kita seperti dibuat bingung dalam memilih. Serba salah. Mendukung Ahok dianggap sama dengan mendukung kekufuran berkuasa di Bumi Pertiwi. Sementara mendukung Rizieq dianggap bodoh, karena beberapa kali Rizieq juga melakukan pelanggaran tapi tidak dihukum. Intinya, Ahok dan Rizieq sama-sama memiliki massa yang tidak sedikit. Kapan pun dibutuhkan, simpatisan siap turun ke jalan. 

Saling sindir mengemuka di media sosial. Kampanye hitam mulai diangkat ke permukaan. Sungguh, mencederai kesepakatan awal; Pemilu damai nan teduh diabaikan sejak video pidato Ahok yang disebar Buni Yani itu. Semuanya panas. Kadang lucu, tapi tak jarang keadaan justru mengerikan. Pendukung kedua orang itu sangar-sangar dan cenderung merasa benar diri, orang lain salah.

Terkadang saya juga merasa lucu saat melihat tingkah laku Rizieq. Dia menolak Ahok karena beragama Kristen, ucapannya yang kasar, dan sikapnya yang angkuh. Namun, dalam proses penolakannya Rizieq justru sering (barangkali) keceplosan mengeluarkan ucapan-ucapan yang tak seharusnya diungkapkan. 

Ahok pun demikian. Sudah terkena 'amuk massa', masih saja bicara yang cenderung menyakitkan. Misalnya seperti menyindir Novel Bamukmin terkait Fitsa Hats. Terlepas itu, saya mengapresiasi Ahok karena keberanian dan keteguhannya dalam membela kebenaran yang diyakininya benar.

Kendati demikian, massa pendukung keduanya tetap menyalahkan pihak lawan yang dianggap melakukan kriminalisasi kepada sosok idolanya itu. Seburuk apa pun sikap dan perilaku sang idola, mereka tetap setia memberi dukungan. Bahkan, memuji layaknya junjungan. Tidak ada cacat sedikit pun pada sosok itu. Akhirnya, Rizieq dan Ahok sama-sama dinyatakan santun oleh pendukungnya masing-masing.

Mereka, simpatisan Ahok dan Rizieq, tentu punya alasan mendasar atas dukungan yang diberikannya secara tulus nan ikhlas itu. Teman Ahok, misalnya, mereka mendukung karena melihat prestasi Ahok yang selama ini nyata. Sementara pendukung Rizieq, barangkali karena merasa Islam perlu dibela dan diperjuangkan. Bahkan, Tuhan pun harus dibela. 


Hemat saya, yang membela tentu lebih perkasa ketimbang yang dibela.

Kita harus memberi apresiasi kepada Teman Ahok dan pendukung Rizieq. Mereka tulus dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Namun, kita perlu beri kritik yang keras, jika menemukan pelanggaran dalam proses perjuangan itu. Bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara ormas. Begitu kata Wiranto.

Aparat tidak boleh tunduk oleh kekuatan massa. Hukum harus tetap digulirkan dan diberlakukan kepada pihak yang terbukti bersalah. Konstitusi dan teks kitab suci tidak bisa ditumpang-tindih. Keduanya memiliki peran masing-masing yang tentu berbeda, tetapi tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan.

Kesimpulannya, Ahok dan Rizieq adalah dua sosok yang sama-sama santun, menurut pendukungnya. Tugas kita saat ini, menjaga persahabatan dan persaudaraan agar tidak terputus hanya karena berbeda pilihan. Silakan bela Islam, silakan bela Ahok.

Terakhir, yang perlu diperhatikan dalam membela sesuatu adalah soal kedewasaan. Kita hanya tinggal menginformasikan segala macam kebaikan yang ada pada seorang yang dibela, daripada harus mencari-cari kesalahan seseorang yang dibela orang lain.

Kalau mau cari pemimpin yang santun, caranya ya kudu santun!



Wallahu A'lam 


Bekasi Utara, 18 Januari 2017


Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: