Senin, 27 Juni 2016

Aku juga pernah Alay


Aku juga pernah alay ini adalah tulisan yang sangat tidak serius, jadi silakan membaca dengan santai; boleh sambil tiduran, makan, atau yang lainnya, terserah. Asalkan jangan sembari sholat atau kebaktian, haram hukumnya. HARAM!!

Sekitar tiga bulan pasca bertualang mencari kesejatian diri di Buntet Pesantren, aku menjadi pusat perhatian warga sekitar. Ketika itu, aku sudah pindah rumah. Maka menurutku, bekal yang didapat dari perantauan haruslah didayagunakan agar mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, minimal orang lain yang mengenalku terlebih dulu.

Aku menjadi terkenal karena gaya busanaku. Sana-sini bertanya soal hukum ini-itu. Mereka menganggap kalau orang yang lulusan pesantren pasti mumpuni soal agama. Orang-orang di akar rumput memang begitu, selalu mendewakan sosok opinion leader dari kalangan agama. Pendapatku, kala itu, selalu dinanti. Salah pun dianggap benar. Aku pernah alay.

Saat itu, 2013 di akhir semester kedua, aku gemar ke Musholla dekat rumah; sekadar adzan, sholawatan, dan mengajar ala kadarnya. Karena ketiga hal itu, aku seperti menjadi dewa. Sanjung tak berbendung. Pujian yang menggairahkan, serta tidak pernah ada cibiran sedikit pun yang datang kepadaku. Ternyata selain pakaian, suara yang setidaknya enak didengar, membuat sebagian besar orang awam menggila. Aku semakin alay.

Seiring burung saling bersaut, pengalaman pengetahuan serta kotak pengetahuanku kian diperluas. Yakinku, Allah yang memperluas. Dia seperti memberi kabar bahwa aku alay, tak pantas seperti itu karena ilmuku masih tak seberapa. Bagiku, ilmu pengetahuan itu seperti meminum air laut, selalu terasa haus ketika semakin banyak air yang terminum.

Setelah sadar bahwa Allah sudah memberi kabar, aku menjadi sangat malu; aku pernah alay. Saat itu, entah kebetulan atau karena takdir, pengetahuan pun silih berganti bertandang ke dalam kotak di otakku. Aku mendapat ilmu tentang kategori manusia menurut Imam Ghozali.

Karenanya, aku menempatkan diri sebagai seorang yang tahu kalau dirinya tidak tahu; itu sebagai pemicu agar tak alay lagi karena senantiasa mencari pengetahuan baru. Di situ aku menyadari bahwa sikap alay, sombong, dan angkuh, bermula dari pujian-pujian yang datang berlebihan.

Pernah suatu ketika, ada seorang teman yang berbagi ilmu kepadaku. Dia katakan bahwa 'ilmu dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf; 'Ain, Lam, dan Mim. Maka kita dapat klasifikasikan manusia dengan menganalogikan ketiga huruf tadi. Hal ini serupa dengan ilmu padi, atau seperti yang dikatakan Tan Malaka; Padi tumbuh tak berisik.

Pertama, orang yang baru saja mendapat pemahaman atau ilmu yang belum pernah ia tahu biasanya seperti huruf 'Ain; yang mulutnya terbuka. Artinya, orang tersebut akan merasakan fase alay tingkat dewa. Orang ini merasa sudah pintar, sehingga gemar bicara dan bahkan senang mengumpat orang lain dengan perkataan yang tidak mengenakkan karena pengetahuan yang baru saja didapat; padahal masih bersifat parsial.

Kedua, setelah melewati tahap 'Ain yang ke sana-sini bicara terus tak berhenti dan rajin merendahkan orang lain, seseorang akan melewati tahap Lam yang tegak. Ia akan merasa sombong, jemawa, bahwa hanya dirinya yang tahu segala-gala. Namun seorang yang berada di fase ini, tidak banyak bicara.

Dan ketiga adalah tahap Mim. Di sini, seorang yang memiliki ilmu sudah terbebas dari kesombongan dan kejemawaan, ia juga terbebas dari perkataan serta ucapan yang tak berguna. Seperti bentuknya, Mim sangat rendah dan ada setitik ruang yang terbuka. Persis dengan salah satu kriteria manusia menurut Imam Ghozali; seorang yang tahu kalau dirinya tahu.

Aku pernah alay. Semoga kealayanku cepat disembuhkan.

Wallah al-hadi ilaa shiroth al-mustaqiim.
Previous Post
Next Post