Senin, 27 Juni 2016

Membela gaya kepemimpinan yang Qurani


Di tengah hiruk-pikuk jelang pilkada, sebagian besar orang Indonesia disibukkan dengan firman Tuhan yang sakral dan tak bisa diganggu gugat. Mereka berebut soal penafsiran ayat yang Made in Allah katanya.

Bukan hanya soal pemimpin yang harus beragama Islam saja, tetapi juga soal pemimpin berdasarkan jenis kelamin. Alasannya bahwa di satu kesempatan, Tuhan melarang perempuan menjadi pemimpin. Sebab yang cocok menjadi pemimpin ialah laki-laki.

Islam pada masa awal, hampir tidak pernah terjadi beragam penafsiran yang membuat ribut sana-sini. Itu karena sumber kebenaran masih hidup; yakni Rasulullah. Lalu, bagaimana pesan Rasulullah untuk sebuah kepemimpinan?

Saat itu, pernah ada pernyataan yang kurang lebih seperti ini; bahwa kepemimpinan (Islam) harus dipegang orang-orang Quraisy, dan jika ada yang meyakini kebolehan kepemimpinan di luar suku Quraisy, ia termasuk orang sesat dan keluar dari kelompok yang selamat.

Saat ini, sumber kebenaran sudah tiada. Maka, upaya penafsiran pun kian dilakukan. Tafsir tidak pernah lepas dari konteks pengetahuan, kondisi sosial dan politik.

Ibnu Khaldun mengkritik konsepsi kepemimpinan yang harus dari suku Quraisy. Menurutnya, kepemimpinan Quraisy tidak berarti harus dari suku Quraisy tetapi pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik, tegas, dan kuat.

Nah, dalam konteks Indonesia yang bukan Darul Islam dan Darul Harb. Bukan juga negara agama dan negara sekuler. Tetapi, ulama dari kalangan NU menyatakan bahwa Indonesia adalah Darussalam, sementara pendiri bangsa dari kalangan non-ulama menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila.

Maka agama haruslah sebagai jalan yang menunjukkan betapa pentingnya sebuah moral, sedangkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai perjalanan sebuah negara yang berlandaskan hukum. Namun dengan begitu, tentu tidak ada yang bertentangan dengan agama.

Lantas, bagaimana kepemimpinan ala Indonesia dan menurut Quran?

Dikarenakan Indonesia bukan negara Islam, maka tidak ada pembeda dari sisi agama. Siapa pun yang lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, dan orang asing sekalipun yang sudah sekian tahun tinggal di Indonesia kemudian memilih untuk pindah kewarganegaraan, itulah warga negara Indonesia yang memiliki kewajiban menjaga keutuhan NKRI dan memiliki hak yang sudah diatur dalam Undang-undang.

Nah dengan begitu, maka siapa pun, asal warga negara Indonesia tulen, maka bisa menjadi seorang pemimpin. Sila lihat UUD 1945 Bab 3 Pasal 6 poin 1. Jadi, tidak ada permasalahan soal agama dalam memilih pemimpin di Indonesia ini. Namun tugas agama adalah menjadikan kitab suci sebagai sumber moralitas dalam memilih pemimpin.

Di dalam negara Pancasila yang tidak mengesampingkan peran Islam dan Al-Qurannya, yang kita butuhkan dalam memilih pemimpin ialah dengan melihat dan menafsir ulang ayat-ayat tentang kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Pertimbangan berdasar dalil naqli memang harus diperlukan, tetapi jangan menghilangkan peran rasionalitas. Jangan sampai akal dikalahakan oleh teks, atau teks dikalahkan oleh akal. Untuk itu, keduanya harus sejalan dalam membangun peradaban.

Penafsiran teks suci tidak bisa hanya harafiyah tanpa melihat dinamika kehidupan sosial yang terus berubah. Maka, penafsiran yang dewasa ini dilakukan bersifat dinamis dan relatif. Dinamis artinya bergerak mengikuti tuntutan realitas; dan relatif berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, tetapi berkaitan dengan konteks sosial tertentu.

Ayat tentang kesetaraan gender, bisa kita lihat dalam pembukaan (ayat 1) surat Annisa. Kemudian Al-Hujurat ayat 31 yang memberi kabar kalau kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, yang menjadi pembeda hanyalah kualitas kiprahnya.

Kemudian Tuhan mengajarkan kepada kita soal kemanusiaan (QS. Al-Israa ayat 70). Dia tidak membeda-bedakan anak cucu Adam, siapa pun akan diberi rizki tanpa melihat jenis kelamin. Hemat saya, seorang pemimpin haruslah seperti itu. Pemimpin yang memandang seluruh warganya sama. Tidak membeda-bedakan berdasar apa pun, apalagi agama.

Lalu, Tuhan mendidik kita (pemimpin) agar memberikan reward dan punishment kepada bawahan. Lihat An-Nahl: 97. Maka itu, pemimpin pun harus yang seperti itu. Kita harus memilih pemimpin yang sportif dalam memberikan penghargaan dan hukuman bagi warganya.

Dalam surat At-Taubah ayat 71, Tuhan memberi isyarat bahwa laki-laki dan perempuan harus bahu membahu dalam berbuat kebaikan. Dalam sebuah negara, antara pemerintah (baik pusat mau pun daerah) dan warganya harus sejalan dalam menjalankan berbagai kebaikan untuk kepentingan bersama.

Selanjutnya seperti yang sudah diisyaratkan oleh Tuhan dalam Al-Ahzab ayat 35, seorang pemimpin harus tidak pilih kasih dalam memberi balasan terhadap warganya; baik laki-laki mau pun perempuan, dan baik yang seagama atau pun yang berbeda agama. Pemimpin harus adil.

Jadi, dalam memilih pemimpin di negeri Pancasila ini, kita harus melihat Al-Quran sebagai sumber moralitas dan akal sebagai penyeimbang dalam memilih pemimpin yang adil dan kuat.

Wallahu al-hadi ilaa shirot al-mustaqim
Previous Post
Next Post