Senin, 27 Juni 2016

Saipul Jamil dan kedewasaan kita



Sebagian besar masyarakat di Indonesia sangat gemar berkomentar, apalagi komentar yang sifatnya negatif. Sebenarnya komentar-komentar seputar apa pun itu, adalah dampak dari "freedom of speech" atau "freedom of expression". Dalam negara yang demokratis, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berekspresi sangat dihormati. Namun, akan berubah menjadi permasalahan yang kronis ketika kebebasan-kebebasan itu tidak dibarengi dengan tingkat kecerdasan.

Indonesia adalah salah satu negara yang belum lama melepaskan diri dari cengkraman si tangan besi. Selepas runtuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat Indonesia ibarat narapidana yang baru menghirup udara kebebasan. Ada dua kemungkinan ketika narapidana keluar dari jeruji besi; perilakunya menjadi lebih baik lagi, atau malah sebaliknya, justru ia semakin beringas dalam berperilaku dan mengundang kehancuran berikutnya yang lebih dahsyat lagi.

Kran kebebasan yang dibuka oleh tokoh-tokoh reformis bersama aktivis tempo dulu itu kini membuka ruang bagi siapa pun untuk bertindak. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tujuan utama Indonesia didirikan secara politik, bukan untuk memperjuangkan kebebasan, bukan untuk menjadi negara yang seperti tak berarah. Melindungi seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan kedamaian; merupakan tujuan utama dari berdirinya Republik ini.

Pada tulisan kali ini, saya tidak mendukung dan tidak pula menjadi orang yang ikut menghakimi perbuatan Saipul Jamil. Saya juga tidak mempermasalahkan orang-orang yang menghakimi Saipul Jamil. Silakan saja, karena itu adalah bagian dari kebebasan yang sudah dianugrahi untuk kita semua. Kalau saya melarang komentar-komentar yang menghujani Saipul Jamil, itu artinya saya sudah mencederai kebebasan itu sendiri. Saya juga tidak akan melukai pendukung atau penggemar penyanyi dangdut itu, karena saya memang enggan memberi dukungan kepada sebagian besar orang yang larut dalam fanatisme keduniaan. Berkomentar apa pun dipersilakan di negeri ini, tapi kalau sudah mengumbar kebencian dan menghujat sana-sini, itu juga bentuk pencederaan terhadap kebebasan.

Di tengah maraknya isu LGBT, sudah dua kali ada selebriti yang terkena kasus yang sepertinya mirip dengan istilah LGBT. Indra Bekti misalnya, yang digosipkan telah melakukan tindak asusila terhadap kliennya. Namun kasus itu meredup setelah beberapa kali Indra Bekti memberikan klarifikasi kepada masyarakat. Lalu, belakangan ini muncul berita bahwa Saipul Jamil melakukan pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun.

Mari kita fokus ke Saipul Jamil. Terlebih lagi, kita fokuskan pembahasan ini kepada komentar-komentar pedas masyarakat pada umumnya.

Saipul Jamil yang selama ini dikenal sebagai orang yang taat beribadah, dan ketaatan dalam beribadah dinilai mampu menjauhi diri dari perbuatan keji dan kemunkaran, merupakan dampak dari tayangan televisi yang seperti memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk menuhankan dan mengibliskan mantan suami almh. Virginia itu.

Sebagian besar orang menyukai Saipul Jamil karena citranya yang agamais itu, bahkan sampai tidak percaya dan membela mati-matian saat Saipul Jamil tersandung kasus pencabulan. Namun ada juga yang awalnya menyukai sosok pedangdut itu karena citra alimnya, berubah menjadi kekecewaan yang berdampak pada cibiran-cibiran pedas, dan komentar yang tidak manusiawi pun terlontar untuk juri D'Academy Indosiar itu.

Lalu, apa sebenarnya yang menjangkiti Saipul Jamil? Apakah ia memiliki orientasi seksual yang berbeda? Atau mungkinkah dirinya seorang Pedofilia? Mungkin juga, benar yang ia katakan di media, hanya khilaf.

Anda boleh berkomentar apa pun mengenai public figur yang agak "konyol" itu, tapi kalau komentar anda sudah mengarah pada "hate speech" maka berhati-hatilah, karena ujaran kebencian adalah awal dari kekerasan dan kekejaman.

Begini, yang perlu dicatat adalah bahwa Gay atau sebut saja LGBT tentu berbeda dengan Pedofilia. Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender tidak akan menimbulkan permasalahan secuil pun ketika tidak ada penolakan dari salah satu pihak, karena perbuatannya berdasar atas perasaan suka sama suka. Sedangkan pedofilia adalah perbuatan yang tentu merugikan pihak lain, karena pelaku pedofil melibatkan anak di bawah umur untuk melampiaskan hasratnya.

Seburuk apa pun LGBT atas penilaian kita di hadapan sosial, mereka tetap melakukannya tidak dengan paksaan. Sementara Pedofil, ada unsur paksaan dan bahkan dapat menimbulkan trauma bagi pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan LGBT, tidak. Atau, mungkin saja trauma terhadap lawan jenis merupakan awal dari seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Seseorang yang memiliki kecenderungan pedofilia, tidak memandang jenis kelamin untuk menuntaskan hasrat seksnya, dan orientasi seksnya cenderung kepada anak di bawah umur.

Kita tidak pernah merasakan bagaimana perasaan Saipul Jamil ketika dua kali gagal membangun harmoni rumah tangga. Terlebih ketika ia rela menduda karena barangkali belum bisa "move on" dari mendiang istrinya yang meninggal akibat kelalaian Saipul Jamil dalam berkendara. Atau bisa jadi, ia seperti trauma untuk kembali membangun rumah tangga dengan yang lain. Kita tidak pernah tahu, karena pengalaman pengetahuan kita tentang kehidupan Saipul Jamil masih sangat minim.

Mungkin saja benar, yang ia katakan pada media, bahwa kelakuannya itu adalah karena dirinya khilaf. Khilaf karena sudah lama tidak "bergaul" dengan pasangannya sendiri. Barangkali saat itu, hasrat seksnya sedang meletup-letup dan akhirnya terjadilah hal-hal yang kita sebut dengan tindak asusila.

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa Saipul Jamil adalah orang yang taat beribadah dan ia merusak agama karena perbuatannya? Betulkah perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia merupakan perbuatan yang dapat merusak agama?

Begini, agama tidak akan pernah rusak sepanjang zaman, karena agama justru menjadi jalan perbaikan dan kebaikan. Agama juga tidak akan hancur secara esensi, selama agama tidak dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepuasan dunia. Dan manusia pasti memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kecenderungan untuk melakukan kebaikan. Bisa dikatakan, bahwa perbuatan Saipul Jamil itu tidak ada kaitannya dengan merusak agama, atau justifikasi bahwa dirinya adalah manusia yang hina.

Pedofilia memang suatu perbuatan yang tidak manusiawi, karena akan menimbulkan kerusakan. Namun pelaku pedofil tidak selalu berbuat demikian, sampai dianggap tidak ada celah bagi pelaku pedofil untuk berbuat baik.

Agama adalah jalan suci, sekotor apa pun perbuatan manusia tidak akan mampu menghilangkan kesucian dari agama. Dan sesuci apa pun manusia yang sudah berada di dalam kesucian agama sebagai jalan suci, tetap memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan.

Jadi, yang harus ditekankan untuk kita sebagai manusia adalah berhenti mengumbar kebencian terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia lain. Tak perlu membawa agama sebagai upaya untuk mencapai ketenaran dan kepuasan dunia.

Maka, dalam kehidupan yang serba dinamis ini diperlukan adanya kedewasaan dalam menyikapi beragam peristiwa yang terjadi. Bahwa di dalam setiap peristiwa yang terjadi, pasti terdapat kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di dasar keterasingan.


Wallahu a'lam.
Previous Post
Next Post