Senin, 04 Juli 2016

Menyikapi Ahok dan Takbir Keliling di Jakarta


Menjelang Lebaran Idul Fitri 1437 Hijriyah, banyak berita yang mengabarkan bahwa Ahok, Gubernur DKI yang Kafir itu, melarang umat Islam untuk merayakan takbir (kemenangan) dengan mengelilingi Ibukota. Pasalnya, tradisi takbir keliling itu sudah menjadi budaya dan tradisi sebagian besar warga Jakarta. Lantas, bagaimana langkah kita untuk menyikapi kedua hal itu (Ahok dan larangan takbir keliling)?

Ayyuhal Muslimin Hafidzhokumullah...
Sebelum menilai atau menyikapi kebijakan Ahok, mari jernihkan hati dari keruhnya rasa benci dan dengki. Jangan mendahulukan nafsu amarah, padahal di dalam diri juga ada nafsu Muthmainnah yang harus dikelola, agar senantiasa damai dan jernih dalam melihat fenomena kehidupan yang serba dinamis.

Euforia dan selebrasi atas kemenangan kita selama sebulan penuh itu, pantaskah dirayakan dengan gemuruh yang berlebihan? Pantaskah kita melantunkan kesucian kalimat Takbir, Tahlil, dan Tahmid, yang justru berpotensi melahirkan kerusuhan? Riuhnya suara kembang api dan petasan mewarnai pelafalan kalimat Allah Yang Mahatinggi, sementara membakar petasan dan kembang api berarti merusak alam, merusak ayat Kauniah-Nya, pantaskah kita merayakan kemenangan kita dengan selebrasi yang berlebihan seperti itu?

Ma'asyirol muslimin Rahimakumullah...
Jangan samakan perayaan Tahun Baru Masehi dengan Takbir Keliling, karena keduanya sangat berbeda. Jangan samakan kesucian Ilahi dengan perayaan yang sama sekali tidak merepresentasikan kesucian dan sakralitas esensi ketuhanan. Bagaimana mungkin kita samakan perayaan Takbir Keliling dengan Tahun Baru Masehi, sementara pada malam tahun baru kemarin, kita mengecam dan menolak perayaan itu. Penolakan dan pengecaman perayaan tahun baru Masehi itu dilakukan dengan memberi pemahaman kepada generasi Islam, betul begitu?

Jangan juga samakan perayaan Cap Go Meh dengan Takbir Keliling. Karena keduanya juga sangat berbeda. Takbir Keliling berarti selebrasi ketuhanan, sementara Cap Go Meh adalah perayaan tradisi warga Tionghoa. Di dalam perayaan Takbir Keliling, melibatkan Allah dalam teriakkan dan pekikan suara manusia, sementara kalimat Allah adalah sakral dan mengandung kesucian, dan apakah kita benar-benar mensucikan kalimat Allah itu? Bagaimana jika perayaan Takbir Keliling justru dirayakan dengan pesta minuman keras dan berujung pada tindak anarkisme? Lalu, bolehkah Takbir Keliling tetap dilakukan?

Pembaca yang Budiman...
Takbir Keliling memang sudah membudaya dan menjadi tradisi bagi sebagian besar umat Islam di seluruh Indonesia. Mereka merayakan dengan keliling kampung dan membawa obor sembari bertakbir sesuka hati sebagai tanda kepasrahan kepada Allah. Sebab hakekat pelafalan Takbir adalah perasaan tunduk dan pasrah kita terhadap keesaan Ilahi, bukan ditujukan untuk aksi saling jago, apalagi membuat kerusuhan dengan mengatasnamakan Allah. Itu tentu tidak dibenarkan.

Barangkali, yang Ahok larang adalah perayaan Takbir Keliling secara berlebihan sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan dan kerusuhan di malam yang suci itu. Mungkin juga kebijakan Ahok yang seperti itu sejalan dengan sikap Allah, yakni Innallaha Laa Yuhibbul Musrifuun, bahwa Allah tidak suka dengan orang-orang yang berlebihan. Baik berlebihan dalam proses perayaan Takbir Keliling, maupun berlebihan dalam menyikapi kebijakan Ahok.

Ahok sebagai pemimpin daerah, hanya menginginkan daerah yang dipimpinnya menjadi aman dan tenteram tanpa sama sekali menyinggung atau menghina apalagi mendiskriminasi agama tertentu. Menurut hemat saya, antara politik dan agama jangan dicampuradukkan karena tidak akan pernah ditemukan titik temu. Karena kesucian agama tidak bisa dikotori oleh kebinatangan politik yang kotor. Maka, ketika melihat Ahok sebagai pemimpin daerah, jangan disikapi dengan istilah penistaan atau penghinaan terhadap agama.

Bapak, Ibu, teman-teman, dan adik-adik pembaca yang saya hormati...
Daripada pusing memikirkan kebijakan Ahok soal Takbir Keliling itu, lebih baik mari kita rayakan kemenangan ini dengan bertakbir di Masjid dan Musala terdekat. Karena hanya di rumah-Nya kita dapat menyatukan diri sehingga terjaga dari sikap saling menyalahkan dan ingin benar sendiri.

Sekian dan terimakasih. Wallahu A'lam...
Previous Post
Next Post