Rabu, 31 Mei 2017

Argumentum Ad Hominem


Ilustrasi. Sumber: seword.com

Sesat pikir (logical fallacy) masih menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian besar manusia Indonesia. Hal itu mesti segera terselesaikan, agar kita bisa menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Menyatakan sesuatu atau mengeluarkan pendapat, tidak boleh sembarang. Karena dengan itu, sesungguhnya orang lain dapat memahami kualitas diri kita. Terlebih, soal kemampuan daya berpikir dan tata logika yang kita miliki.



Jangan sampai, kita menjadi bahan olok-olok karena bicara yang tak sesuai dengan konteks persoalan. Di lingkungan sekitar, anda akan sering menemukan orang-orang yang memiliki daya nalar sangat rendah. Sehingga, terkadang tidak nyambung saat diajak debat atau diskusi. Sebenarnya hal itu bukan hanya disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang rendah, tetapi juga mungkin karena racun indoktrinasi sudah tertanam kuat di dalam otak. 




Kita sering sekali melihat fenomena bahwa hampir sebagian besar masyarakat Ibu Pertiwi ini memiliki sifat kagetan. Kemudian responsif. Karena kaget dan langsung merespon, maka hasilnya pun sangat jauh dari nilai kebaikan dan estetika. Segala sesuatu yang instan, dadakan, dan tiba-tiba sangat berpotensi menimbulkan penyakit. Nah, instan dalam bersikap dan berpikir, akan menjadikan akal tak sehat. Kalau akal atau tata logika sudah sakit, seluruh laku dan gerak akan rusak. Sila buktikan sendiri.




Amat, pemuda kampung yang gandrung terhadap agama dan penikmat religiusitas di internet, menemukan hal yang menurutnya aneh saat sedang berselancar di media sosial. Sebagai penganut Islam tanpa embel-embel, dia cukup kaget saat melihat pernyataan Ketua Tanfidziah PBNU Said Aqil Siroj beberapa waktu lalu. Amat sama sekali belum pernah bertatap muka langsung dengan Pengasuh Pondok Pesantren Ats-Tsaqofah, Jakarta, itu. Dalam pandangannya, Amat mesti takzim kepada Kiai Said, karena walau bagaimana pun, beliau adalah seorang ulama.


"Melihat film porno lebih baik daripada menonton video ceramah dari teroris. Karena kalau nonton porno, pasti sambil beristighfar," kata kiai asal Cirebon itu, yang sempat viral dengan meme yang bertuliskan, 'kata Said Aqil saat berkelakar dalam pidatonya di Kantor NU, Jakarta Pusat, 22 Mei 2017. (TEMPO)'.

Sebagai seorang yang memiliki cita-cita menjadi tokoh masyarakat, Amat berusaha memaknai pernyataan itu. Dia juga melihat kegaduhan warga sekitar terkait perkataan kontroversial itu. Kebetulan, orang-orang yang tinggal satu komplek dengan Amat merupakan orang NU secara amaliyah, bukan secara organisasi.

Maka, karena merasa sudah menjalankan amaliyah Ahlussunnah wa al-Jama'ah an-Nahdliyah, sekalipun tidak masuk ke dalam organisasi NU, mereka sudah merasa memiliki NU. Dan, menganggap bahwa Kiai Said sudah menyimpang. Tidak lagi pantas menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.

Amat sempat mendengar sebuah umpatan yang sangat menyentak dada, dari seorang warga Nadhliyin untuk Kiai Said, "Saya mah gak heran. Dia itu Ulama Su', liberal, sesat, JIL. Makanya wajar dia ngomong begitu. Semoga dia kena azab, nanti. Macem-macem sama NU dia, kualat sama Mbah Hasyim Asy'ari. Coba aja nanti lihat."

Karena merasa tidak punya kapasitas untuk mengomentari atau menanggapi pernyataan tokoh sekaliber Kiai Said, Amat berkunjung ke salah seorang ustadz atau tokoh agama di lingkungannya. Dia meminta pencerahan terkait asumsi bahwa menonton film porno ternyata lebih baik daripada melihat video ceramah dari teroris. Di sana, seorang ustadz dianggap sebagai bijak bestari. Memberi teladan dan panutan kepada segenap masyarakat. Sementara itu, Amat nampak manggut-manggut dan lirih terdengar kata 'iya', sebagai tanda kalau pesan komunikasi dari ustadz cukup efektif.

"Sebenarnya, kejadian begini tuh udah sering banget. Jauh sebelum Kiai Said, ada Gus Dur yang gak kalah kontroversinya. Ada juga Kiai Sahal Mahfudz yang pernah juga mengeluarkan pendapat yang oleh sebagian orang dinilai nyeleneh. Padahal, kamu harus tahu nih, seorang ulama itu tidak akan mengeluarkan pendapat secara serampangan. Dia sudah melalui tahap pematangan hati dan pendewasaan akal. Nah, kita-kita orang nih yang sebenernya belum maqomnya. Makanya, kalo komentar jangan asal. Bahaya."

"Iya, tadz. Makanya saya ke sini. Mau minta pencerahan. Trus saya harus gimana ya dalam menghadapi situasi seperti ini? Dikit-dikit gaduh. Rakyat kok lama-lama kayak balon. Isinya kosong, gampang meninggi, digesek sedikit, meledak. Heran saya, tadz."

"Nah, itu tugas kamu sebagai mahasiswa. Jangan diem saja melihat kegaduhan itu. Kamu harus banyak belajar. Banyak baca buku. Buku apa aja, dibaca. Kalau bisa sih, jangan anti sama filsafat. Biar gak sesat pikir. Main medsos gak apa-apa, asal ada efek yang baik."

"Siap, tadz. Ngomong-ngomong, Gus Dur dan Kiai Sahal, dulu itu pernah ngomong gimana? Maksud saya, pernyataan beliau-beliau itu yang bikin orang-orang gaduh."

"Secara garis besar sih, Gus Dur pernah menyatakan kalau al-Quran adalah kitab suci paling porno sedunia. Semua orang marah seketika. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Gus Dur itu buta mata buta hati. Kalau Kiai Sahal itu pernah bilang, prostitusi tidak mengapa didirikan. Asalkan terpusat. Supaya kemaksiatan tidak bercecer ke mana-mana. Karena menurut beliau, lebih baik meminimalisir kemudharatan daripada berbuat kebaikan yang justru akan melahirkan kemudharatan yang lebih besar."

"Memang sih, maqom kita belum sampe. Perlu dikaji terus-terusan supaya gak salah paham atau paham yang salah," kelakar Amat sembari pamit untuk pulang. Dia mau mencari sesuatu di internet. Syukur, Amat masih punya kemauan untuk terus belajar. Sekalipun dia tidak mondok, tapi dia sangat suka mencari referensi atau ilmu keagamaan.

Tiba di rumah, Amat membuka layar smartphone-nya. Kemudian dia googling dengan kata kunci 'sesat pikir'. Tidak lama, muncul banyak sekali artikel yang membahas soal sesat pikir. Secara acak, Amat meng-klik salah satu tautan yang ada. Dia membaca dengan sangat hati-hati dan saksama. Amat ingin belajar lebih dalam lagi agar mampu bersikap bijak dan dewasa dalam menghadapi pernyataan kontroversi serta kegaduhan yang menyertainya.

Amat baru tahu, ternyata ada 5 kategori sesat pikir yang seringkali digunakan orang Indonesia dalam mengomentari pernyataan orang lain. Pertama, Appeal to belief. Yaitu, sesat pikir mengenai argumentasi yang digunakan untuk mendukung atau menolak sesuatu didasarkan pada kepercayaan personalnya; pernyataannya subjektif.

Kedua, Argument from Adverse Consequences. Yakni, ketika seseorang merasa bahwa dirinya harus benar dalam perdebatan. Karena kalau dia tidak benar, maka hal-hal (yang ia percaya) tidak baik akan menjadi konsekwensinya. Karena itu, lawan debat harus berada di posisi salah menurut standar yang dia pakai.

Ketiga, Bandwagon fallacy. Yaitu, saat seseorang mendasarkan argumen pada arus mayoritas pendapat yang ada. Hal ini, seringkali terjadi, karena terkadang suatu fenomena telah mendapatkan label kebenaran secara luas, meskipun kebenarannya belum terverifikasi. Dalam hal ini, media juga berperan penting dalam membentuk opini publik sehingga masyarakat menjadi sesat pikir ketika menganalisa peristiwa.

Keempat, Genetic Fallacy. Yakni, saat argumetasi didasarkan pada asal-usul dari hal yang diperdebatkan. Titik kesalahan dari cara berfikir ini adalah, mengambil generalisasi dari satu hal dan menggunakannya untuk menganalisa hal lain yang tidak memiliki korelasi.

Kelima, Ad Hominem. Yakni, lebih kepada menyerang individu daripada argumentasi yang harusnya diperdebatkan. Karena di Indonesia, budaya men-judge dan memberi stigma kepada lawan debat masih sangat sering terjadi. Dan, seringkali poin dari sebuah perdebatan tidak berakar pada argumentasi yang empiris, melainkan serangan terhadap individu.

Setelah tahu kelima jenis sesat pikir. Amat tertarik mempelajari poin terakhir. Karena selama ini, orang-orang masih sangat senang untuk menyerang pribadi seseorang daripada melawan dengan argumentasi yang lebih masuk akal. Kemudian Amat kembali menelusuri mesin pencari. Dia mencari dengan kata kunci Ad Hominem. Alhasil, dia menemukan tiga kategori dari salah satu jenis sesat pikir itu.

Pertama, Abusive ad Hominem. Sebuah bentuk argumentasi yang dikemukakan bukan untuk menyerang pernyataan lawan debat, tapi argumentasi itu justru ditujukan pada pribadi lawan debat yang mengemukakan pernyataan. 

Kedua, Circumstantial ad Hominem. Argumentasi yang dikemukakan bukan untuk menyerang pernyataan lawan debat, tapi argumentasi itu justru ditujukan kepada hubungan antara pribadi lawan debat yang mengemukakan pernyataan dengan situasinya.

Ketiga, Tu Quoque ad Hominem. Sebuah argumentasi untuk menyerang lawan debat yang ditujukan kepada persoalan bahwa, orang tersebut tidak menjalankan apa-apa yang telah disampaikan.

Usai belajar dari Mbah Google, Amat mulai pusing. Namun, dia yakin, bahwa sudah ada ilmu yang mengisi ruang kosong di otaknya. Menurut Amat, Argumentum Ad Hominem jenis ketiga masih sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. 

Keesokan harinya, di kampus, Amat menerangkan secara gamblang kepada teman-temannya mengenai kesesatan dalam berpikir. Kemudian, masing-masing orang atau lawan bicaranya dia tanya, "Coba yuk, kita introspeksi. Kira-kira jenis kesesatan berpikir yang mana yang sering kita lakukan?"


Sekian.


Wallahu A'lam.


Rabu, 5 Ramadhan 1438


Aru Elgete
Bilal di Musala Al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.
Previous Post
Next Post

0 komentar: