Sabtu, 03 Juni 2017

Pekan Pancasila: Saya Bukan Siapa-siapa


Ilustrasi. Sumber: kompasiana.com

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Hari pertama di bulan tersebut menjadi libur nasional, kini. Diadakan upacara bendera di berbagai tempat. Bahkan, sehari sebelumnya ada juga yang mengadakan malam renungan. Semua dilakukan demi menghargai dan menghormati perjuangan para pendiri bangsa. Di media sosial tak kalah ramai.

Video pidato 1 Juni Sang Penggali Pancasila tersebar dengan sangat massif di seluruh penjuru media sosial. Dengan sangat lantang dan memukau, dia sampaikan cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia di depan peserta sidang BPUPKI yang pertama, di Jakarta. Sementara pimpinan sidang yang berlangsung selama 3 hari itu (29 Mei - 1 Juni 1945) adalah Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat.

Saya rasa tak perlu panjang lebar bicara sejarah. Karena mengenai pidato 1 Juni 1945 yang menjadi cikal bakal Pancasila sudah menjadi rahasia umum. Silakan cari sendiri sejarahnya karena saya bukan sejarawan.


*****

Sudah dua hari ini, Amat terlihat murung. Padahal, di pengujung Mei kemarin lusa, wajahnya sangat sumringah. Namun sejak Kamis siang, dia tak seperti biasanya. Kalau dibaca dari status terakhirnya, di Facebook, dia semacam sedang kecewa terhadap kondisi bangsa yang kian sengkarut ini. Amat marah. Tapi, entah siapa yang mesti dimarahi.

"Tiba-tiba semua orang cinta sama Pancasila. Cuih. Pakai hestek #PekanPancasila segala dan dengan bangga menyebut diri sebagai Pancasila, sebagai Indonesia. Padahal kemarin-kemarin, hobinya cuma jalan-jalan dan belanja. Atau bahkan, senang-senang di warung makan ala Eropa dan Amerika.

Sekarang ngaku nasionalis, besok ngaku kaum agamais. Padahal Pancasila gak pernah membedakan keduanya. Justru, keduanya terdapat dalam Pancasila. Tapi seolah-olah, akhir-akhir ini, antara kaum nasionalis dengan kaum agamais sedang diadu. Supaya Indonesia pecah kayak di Suriah. Ngeriiiiii," kata Amat panjang lebar dalam status Facebooknya kemarin (2/6) siang.

Pancasila itu menjadi jalan tengah. Sebagai alternatif ideologi. Tidak terlalu ke kanan dan ke kiri. Merangkul semua. Maka, kata Bung Karno, Pancasila itu semua untuk semua. Bukan untuk segelintir orang, sekelompok, apalagi hanya untuk keluarga Bung Karno saja. Pancasila adalah cinta. Sudah ada sejak ratusan tahun silam. Kemudian diotak-atik hingga susunannya menjadi enak dibaca dan dipahami seperti sekarang ini.

Demikian maksud Amat saat ditemui di Masjid KH Hasyim Asy'ari peninggalan ulama terkemuka bernama Tuan Guru Bassuqi Nurul Badri, Jumat (7/9/1438).

Di media sosial, Amat mengamati. Perayaan Pancasila hanya sebatas simbolik dan seremonial belaka. Masing-masing pemilik akun memajang fotonya bersama tulisan 'Aku Pancasila, Aku Indonesia, dengan tagar #PekanPancasila'. Menurut Amat, itu lebay. Berlebihan. Pertanyaannya, untuk apa mengaku sebagai Pancasila dan Indonesia, kalau masih suka berbuat semena-mena terhadap orang lain, sekalipun hanya dalam pikiran?

Amat teringat pernyataan seorang kiai dalam acara hari lahir Nahdlatul Ulama beberapa waktu yang lalu. "Di Timur Tengah itu, gak ada ulama yang nasionalis. Dan, orang yang nasionalis pasti bukan dari kalangan ulama. Sedangkan di Indonesia, ada banyak ulama yang nasionalis. Termasuk Hadlratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Makanya, sampai sekarang NU tetap kokoh menjaga nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan."

Tak perlu mengaku Pancasila, menurut Amat, kalau masih suka memecah-belah persatuan. Karena Pancasila dibuat selain sebagai dasar negara, juga sebagai pedoman hidup bangsa. Karenanya, kalau sudah kuat, negeri yang agraris ini akan kokoh. "Tahu kan perbedaan negara, bangsa, dan negeri?" tanya Amat kepada teman-teman dan pengikutnya di Facebook. 

Mengaku Pancasila, mengaku Indonesia, mengaku Bhinneka Tunggal Ika, dan mengaku anak kandung Ibu Pertiwi, tapi masih suka mengumpat saudara sendiri dengan istilah 'kaum sumbu pendek dan bumi datar' atau 'pengidap virus Sepilis dan kaum munafik sesat ahli neraka'. Aneh, bukan? 

Ada juga yang seringkali bilang, "jangan fanatik terhadap sesuatu, apalagi agama. Bahaya." Tapi sendirinya justru marah-marah kalau idolanya dihina dan dicaci. Satu sama lain saling menghina, saling melempar ujaran kebencian. Singkatnya, pelaku hatespeech adalah mereka yang teriak anti-hatespeech. Atau, korban berita hoax adalah mereka yang juga bertindak sebagai pelaku hoax. 

Kedua pihak saling bertikai. Amat kian bingung. Semuanya merasa paling berhak memegang kebenaran. Semua orang yang berada di luar lingkar dan jangkauannya adalah musuh, harus dijauhi. Padahal di sisi lain mengaku sebagai Pancasila. Mengaku sebagai penganut agama. Dan, sepakat bahwa Pancasila dan agama saling menguatkan, tidak bisa dipertentangkan, apalagi dibentur-benturkan. Kecuali, kata Amat, Hizbut Tahrir Indonesia yang tidak pernah sepakat terhadap konsepsi negara-bangsa.

Usai salat tarawih malam ke delapan, Amat kembali melingkar bersama para ustadz dan jajaran pengurus musala. Kini, dia berani membuka omongan. Membahas soal Pancasila di hadapan tetua. Dia paling muda. Karena remaja musala setempat, kurang gandrung terhadap agama. Remaja di sana hanya sibuk kerja, hidup mewah, dan senang-senang setiap hari. Amat kecewa dengan fenomena anak remaja seperti itu. Mengaku Pancasila, lagi.

Rupanya persoalan 8 rakaat dan 20 rakaat masih saja menjadi perdebatan sengit di sana. Amat kemudian bercerita panjang lebar mengenai sejarah Pancasila sejak Piagam Madinah. Sebuah tata negara yang diciptakan Rasulullah untuk membentuk negara yang berkeadaban. Isinya penuh dengan perjanjian. Kalau melanggar atau khianat, silakan keluar dari teritorial wilayah negara. Namun, yang terpenting adalah, setiap orang memiliki dan mendapat hak, tanggungjawab, serta kewajiban masing-masing.

Hak mereka dijamin. Yakni, untuk melaksanakan segala sesuatu yang bersifat pribadi. Beribadah, misalnya. Kemudian, kewajiban setiap orang di sana adalah menjaga keutuhan negara agar aman, damai, dan sejahtera. Sementara memelihara komitmen persatuan menjadi tanggungjawab bersama yang mesti dipikul secara kekeluargaan. Kiranya itu yang Amat sampaikan guna menciptakan harmoni di dalam tubuh keagamaan. Khususnya di musala tempat dia melaksanakan ibadah sehari-hari.

Tapi, Amat sadar. Dia belum bisa melakukan apa-apa kecuali bicara soal ide dan gagasan. Dia sadar, belum mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian. Pemuda yang satu itu, tak lebih dari sekadar penjual kecap. Maksudnya seperti para politisi dan pejabat pemerintah yang hanya bisa bicara tapi sangat sulit untuk mewujudkan kata-kata menjadi kerja nyata. Amat sadar betul soal itu. 

Kemudian, dia membuat meme sendiri. Hampir mirip dengan kebanyakan orang. Hanya berbeda tulisannya. Di gambar itu tertulis, "#PekanPancasila Saya Bukan Siapa-siapa."



Sekian.



Wallahu A'lam


Sabat, 8 Ramadhan 1438


Aru Elgete
Imam cadangan salat tarawih di musala Al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.
Previous Post
Next Post

0 komentar: